Latar belakang
Sistem Kepolisian suatu Negara sangat
dipengaruhi oleh Sistem Politik serta control social yang diterapkan.
Kepolisian Negara RI berdiri semenjak 1 Juli 1946 yang berbentuk Jawatan
tersendiri berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 11/S.D Kepolisian beralih status
menjadi Jawatan tersendiri dibawah langsung Perdana Mentri. Ketetapan
Pemerintah tersebut menjadikan kedudukan Polisi setingkat dengan Departemen dan
kedudukan Kepala Kepolisian Negara (KKN) setingkat dengan Menteri. Dengan
Ketetapan itu, Pemerintah mengharapkan Kepolisian dapat berkembang lebih baik
dan merintis hubungan vertical sampai ketingkat kecamatan-kecamatan. Kepolisian
Republik Indonesia sebelumnya telah mengeluarkan Proklamasi Kepolisian untuk
menyatakan sikap setia kepada Proklamasi Bangsa Indonesia 1945.
Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17
Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer,
Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab
kepada perdana menteri/presiden. Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta,
karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene
Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan
kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan
sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas
Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran
termegah setelah Istana Negara.[1]
Sampai periode ini kepolisian berstatus
tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji
tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik
Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak
zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan
nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi.
Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara
demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di Konstituante
dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan
perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan
Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding
dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah
kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam
pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana
Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih
tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959,
tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri
Negara ex-officio. Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959
Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran.
Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No.
1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri
Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari
Djawatan Kepolisian Negara).[2]
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan
membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S.
Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme
kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri
setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karir
Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959.
Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas
Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan
Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian
Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan
nasional. Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No.
13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur
ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri,
Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan
Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan.
Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf
Angkatan Kepolisian (Menkasak). Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi
Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab
kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada
tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean.
Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat
menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan
perang. Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan
Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian
Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan
ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969. Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969
sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala Staf Angkatan. Pada
kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai tanda TNI di kerah leher,
sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk menegaskan perbedaan antara
Angkatan Perang dan Polisi.
Saat ini, setelah adanya Ketetapan MPR No.
X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April
1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri dan TNI karena
dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil
society. Untuk sementara, waktu itu, Polri masih diletakkan di bawah
Menteri Pertahanan Keamanan. Akan tetapi, karena pada waktu itu Menteri
dan Panglima TNI dijabat orang yang sama (Jenderal TNI Wiranto), maka
praktis pemisahan tidak berjalan efektif. Sementara peluang yang lain adalah
Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan secara nyata
adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya diikuti pula oleh Ketetapan MPR
No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri secara tegas. Sementara itu,
sebelum ketetapan-ketetapan tersebut di atas digulirkan, pada HUT Bhayangkara 1
Juli 2000 dikeluarkan Keppres No. 89/2000 yang melepaskan Polri dari Dephan dan
menetapkan langsung Polri di bawah presiden.[3]
Kendati Keppres ini sering disoroti sebagai
bahaya karena Kepolisian akan digunakan sewenang-wenang oleh presiden, namun
sesungguhnya ia masih bisa dikontrol oleh DPR dan LKN (Lembaga Kepolisian
Nasinal) yang merupakan lembaga independen. Adapun tantangan yang dihadapi
Polri dewasa ini dan ke depan, terutama adalah perubahan paradigma pemolisian
yang sesuai dengan paradigma baru penegakan hukum yang lebih persuasif di
negara demokratis, di mana hukum dan polisi tidaklah tampil dengan mengumbar
ancaman-ancaman hukum yang represif dan kadang kala menjebak rakyat, melainkan
tampil lebih simpatik, ramah, dan familier.
Reformasi Polri yang dimulai sejak tahun 1998 dikukuhkan dengan TAP MPR No.
VI dan VII tahun 1999 dan sangat penting adalah UU No. 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai landasan operasional dan
pembinaan Polri yang mengatur fungsi, tugas pokok, tugas-tugas dan
wewenang yang harus dilaksanakan setepat
mungkin dan sebaik mungkin.
Kerangka Berpikir
Keberadaan lembaga kepolisian dalam suatu negara mutlak diperlukan. Tidak
ada satu pun negara di dunia ini yang tidak mempunyai lembaga kepolisian. Namun
demikian, antara satu lembaga kepolisian pada suatu negara belum tentu
menggunakan sistem kepolisian yang sama pula dikarenakan adanya pengaruh dari
faktor sistem politik/pemerintahan yang dianut serta mekanisme sistem kontrol
sosial yang berlaku dalam negara tersebut. Bahkan dengan sistem pemerintahan
yang sama-sama menganut paham demokratis pun, belum tentu menggunakan sistem
kepolisian yang sama.
William
Doener dan M.L. Dantzker, dalam bukunya ” contemporary Police Organization
and Management, Issues and Trends“, menyatakan bahwa “Ketika pengamat
membandingkan Sistem Kepolisian Amerika bagaimana penegakaan hukum dijalankan
di lain Negara, satu kunci perbedaan segera dapat dilihat bahwa Kepolisian
Amerika sangat terpisah, desentralisasi organisasi. Sebagai contoh, banyak
Negara mengadopsi satu organisasi,biro, atau departemen untuk menegakkan hukum
secara nasional.”
Pemahaman
Konsep Sistem, adalah suatu kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan
bagian-bagian yang saling berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama
berdasarkan aturan tertentu, untuk mencapai tujuan dari system. ( Prof. Djoko
Sutono, C.W. Churchman, Matheus, Lempiro). Di dunia ada 3 ( tiga ) kelompok
sistem yaitu:
1. Fragmented System of Policing ( Sistem kepolisian terpisah atau berdiri
sendiri) Disebut juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system,
dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi
yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh
Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.
2. Centralized System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpusat) . Berada
langsung dibawah kendali pemerintah. Negara-negara yang menganut system ini
adalah Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia,
Denmark, Swedia.
3. Integrated System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpadu), disebut juga
system desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system
control yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari
penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam
dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut hal ini adalah Jepang, Australia,
Brasilia, Inggris dan Indonesia.
Masing-masing sistem kepolisian
tersebut memiliki kelebihan serta kelemahan tersendiri sehingga memang benar
apabila disebutkan bahwa ”tidak ada satu sistem kepolisian yang sempurna”. Oleh
karena itulah dalam praktik kepolisian dipandang perlu untuk menelaah lebih
lanjut terkait dengan berbagai kelemahan maupun kelebihan dimaksud melalui
suatu metode perbandingan antar sistem kepolisian dalam rangka mendapatkan
pemahaman secara integral tentang perbedaan yang terdapat antara suatu sistem
kepolisian pada suatu negara tertentu dengan sistem kepolisian negara lain.
Outcome yang hendak
dicapai dari hasil perbandingan sistem kepolisian dimaksud antara lain agar
dapat diambil suatu manfaat dari suatu sistem kepolisian negara tertentu bagi
negara lainnya, antara lain berupa penataan dan pengembangan organisasi (organizational development) serta
pengembangan potensi kerjasama kerjasama antar lembaga kepolisian beberapa
negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis hendak menulis tentang
perbandingan sistem kepolsian di Amerika Serikat, Jepang dan Indonesia, dalam
rangka menelaah berbagai kelebihan serta kelemahan yang terdapat pada sistem
kepolisian yang di ketiganegara tersebut dan selanjutnya mengambil
manfaat-manfaat terutama yang terdapat dalam sistem kepolisian Amerika Serikat
dan Jepang guna dijadikan sebagai faktor pembanding terhadap sistem kepolisian
di Indonesia. Manakala faktor pembanding dimaksud dipandang dapat diterapkan
pada sistem kepolisian di Indonesia serta memiliki prospek positif dalam
peningkatan profesionalisme lembaga kepolisian di Indonesia, maka dapat
diupayakan suatu strategi terkait dengan aplikasinya.
Permasalahan
Kedudukan sistem Kepolisian
Indonesia saat ini dapat dikategorikan sebagai Integrated System of policing
telah menjadikan posisi Kepolisian menjadi kekuatan yang bersifat Nasional
sebagai intstitusi namun juga berkapasitas fragmented ( kedaerahan). “Apakah
sistem yang sekarang ini merupakan sistem Kepolisian yang tepat untuk
diterapkan di Indonesia?”
Sebelum kita membahas system
apa yang terbaik bagi negara kita, sebelumnya kita akan membahas system yang
digunakan oleh beberapa negara, diantaranya adalah Amerika Serikat.
Sistem Kepolisian di Amerika Serikat
Sistem kepolisian di Amerika
Serikat menggunakan paradigma Fragmented
System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpisah atau
berdiri sendiri, disebut juga sebagai sistem desentralisasi yang ekstrim atau
tanpa sistem. Oleh karena itu di dalam sistem tersebut terjadi kekhawatiran
terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi polisi yang otonom sehingga dalam
penerapan paradigma sistem dimaksud senantiasa diiringi dengan dilakukannya
pembatasan kewenangan polisi. Negara-negara yang menganut sistem ini selain
Amerika Serikat, antara lain : Belgia, Kanada, Belanda dan Swiss.
Sistem kepolisian dengan
paradigma tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain yaitu :
a) Kewenangan yang dimiliki lembaga
kepolisian bersifat terbatas, yaitu hanya sebatas pada daerah di mana suatu
badan kepolisian berada. Hal ini dikarenakan secara umum lembaga kepolisian di
setiap daerah di Amerika Serikat, baik di tingkat negara bagian sampai dengan
tingkat propinsi maupun kabupaten, memang dibentuk oleh pemerintah daerah
setempat dan diatur dengan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh
pemerintah daerah setempat pula sehingga tugas pokok dan wewenang lembaga
kepolisiannya pun hanya menjangkau
daerah tersebut. Oleh karena itu, guna menangani kasus-kasus tindak pidana
tertentu, terutama yang melibatkan lebih dari satu yurisdiksi maupun yang
termasuk dalam kategori transnational
crime, Amerika Serikat membentuk badan-badan kepolisian federal dengan
wewenang meliputi seluruh daerah di Amerika Serikat, seperti halnya FBI, DEA
maupun US Homeland Security.
b) Pengawasan terhadap lembaga kepolisian
sifatnya lokal, artinya yaitu pengawasan yang dilakukan terhadap pelaksanaan tugas-tugas serta
wewenang kepolisian dilakukan oleh tiap-tiap struktur lokal yang ditentukan
dalam suatu lembaga kepolisian, termasuk dalam hal ini pengawasan terutama
dilakukan secara melekat oleh publik daerah setempat dimana suatu lembaga
kepolisian tersebut berada. Hal ini
cenderung memang dipengaruhi oleh basic model
penerapan hukum yang dianut di Amerika Serikat, yaitu model anglo saxon atau common law yang memang dalam sistem
tersebut lembaga kepolisian tumbuh dari adanya kepentingan dalam masyarakat
sendiri sehingga representasi polisi dalam model tersebut dapat dikatakan
sebagai representasi dari masyarakat itu sendiri atau dengan kata lain bahwa
polisi adalah sebagai milik masyarakat karena munculnya lembaga kepolisian pada
awalnya bukan dikarenakan oleh adanya kepentingan negara, melainkan kepentingan
masyarakat, sebagaimana filosofi yang dikemukakan oleh Sir Robert Peel, yaitu ”The police are the public and the public are
the police; the police being only members of the public
who are paid to give full time attention to duties which are incumbent on every
citizen in the interests of community welfare and existence”[4].
c) Penegakan hukum dilaksanakan secara
terpisah atau berdiri sendiri, maksudnya yaitu bahwa dalam pelaksanaan
penegakan hukum tersebut, suatu lembaga kepolisian pada daerah tertentu tidak
bisa memasuki wilayah hukum daerah yang lain. Hal ini disebabkan karena
setiap lembaga kepolisian di Amerika
Serikat diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan tersendiri yang
ditentukan oleh pemerintah daerah setempat, termasuk dalam hal teknis
pelaksanaan penegakan hukumnya, berbeda halnya dengan negara yang sistem
kepolisiannya menggunakan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), seperti di Indonesia, dalam
pelaksanaan penegakan hukum dilaksanakan tidak secara terpisah atau berdiri
sendiri tetapi secara menyeluruh sebagai suatu lembaga kepolisian yang terpusat
sebagaimana ditentukan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Tentunya dalam penerapan
sistem kepolisian dengan paradigma Fragmented
System of Policing tidak lepas dari kelebihan dan kelemahan yang
dimilikinya. Kelebihan
dimaksud, antara lain :
a) Polisi relatif dapat menyesuaikan dengan
situasi dan kondisi masyarakat setempat.
b) Polisi otonom di dalam hal melakukan
pengaturan terhadap segala kegiatannya, baik dalam bidang administrasi maupun
operasional sesuai dengan struktur masyarakatnya.
c) Kecil kemungkinan terjadinya
penyalahgunaan organisasi polisi oleh penguasa secara nasional dikarenakan
sifat pengawasannya lokal[5].
d) Birokrasinya bersifat praktis, dalam arti
lebih pendek, terutama dalam hal pengusulan dana atau anggaran operasional
kepolisian karena langsung ditujukan kepada pemerintah daerah setempat.
Sementara itu, kelemahan yang dimiliki dalam Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing) , antara lain :
a) Pelaksanaan penegakan hukum yang
dilaksanakan secara terpisah atau berdiri sendiri serta terbatasnya kewenangan
lembaga kepolisian hanya sebatas pada daerah dimana lembaga kepolisian tersebut
berada atau lokal saja.
b) Tidak adanya suatu standar profesionalisme
di bidang kepolisian akibat dari terjadinya fragmentasi sistem kepolisian di
masing-masing daerah.
c) Pengawasan yang bersifat lokal menyebabkan
tidak terlaksananya mekanisme kontrol dengan baik karena pengawasan hanya
terjadi dalam satu level organisasi, tidak terdapat kontrol lagi diatasnya
dengan wewenang yang lebih tinggi dalam hal pengawasan.
Sistem Kepolisian di Jepang
Sistem kepolisian
di Jepang menggunakan paradigma Integrated
System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpadu atau sering
disebut juga sistem desentralisasi moderat atau sistem kombinasi (Terri, 1984)
atau sistem kompromi (Stead, 1977), artinnya bahwa dalam sistem kepolisian yang
demikian terdapat sistem kontrol /pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah
pusat dan daerah dengan tujuan agar dapat dihindari berbagai penyalahgunaan
organisasi polisi nasional serta guna mencapai efektivitas, efisiensi dan keseragaman
dalam hal pelaksanaan pelayanan kepada publik. Negara-negara yang menganut
sistem kepolisian tersebut selain Jepang, antara lain : Inggris, Australia dan
Brasilia (Bayley, 1985). Oleh karena itu, terkait dengan kelebihan maupun
kelemahan yang terdapat dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing) dapat berasal baik dari Sistem
Kepolisian Terpisah (Fragmented System of
Policing) dan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing). Polisi
Jepang banyak menggunakan teknologi komunikasi baik kabel, radio dan satelit
untuk komando dan kendali saling tukar informasi. Teknologi maju juga
diterapkan dalam mengidentifikasi penjahat seperti : sidik jari, analisa modus
operandi dan identifikasi sasaran. Kepolisian Jepang disusun dengan struktur
organisasi yang terdiri dari NPA (sebagai badan koordinasi dan pembuat
kebijaksanaan kepolisian) dan Badan Kepolisian Prefektur (sebagai kesatuan
penegak hukum). Sistem kepolisian Jepang utamanya mengedepankan Kepolisian
Prefektur. Untuk menjamin netralitas politik dan mencegah penyalahgunaan
kekuasaan oleh polisi maka dibentuk Komisi Keselamatan Publik pada tingkat
nasional dan prefektur.
Di Jepang terdapat sistem ”koban”. Koban
didasari pada prinsip bahwa keselamatan seluruh bangsa didasarkan pada
keselamatan dan ketenteraman masing-masing warga. Sistem ini terdiri dari dari
”Police Boxes/koban kota” di mana petugas polisi warga masyarakat bekerja dalam
perondaan shift dan ”Police Boxes (Chuzoisho)/ tempat tinggal”. Di Jepang
terdapat kira-kira 15.000 Koban dan Chuzoisho di seluruh negeri. Sistem ini
berperan besar dalam pemeliharaan keselamatan publik karena petugas polisi
terbiasa hadir di tengah-tengah warga yang menimbulkan kepercayaan dari warga
masyarakat kepada polisi. Pertangungjawaban dan tugas polisi di Jepang adalah
melindungi kehidupan, orang dan harta benda individu dan melakukan pencegahan,
penanggulangan, dan penyidikan kejahatan dan lainnya yang berkaitan dengan
pemeliharaan keselamatan dan ketertiban masyarakat. Kegiatan kepolisian
dibatasi secara ketat. Sesuai dengan undang-undang Jepang dalam melaksanakan
tugas polisi harus memegang prinsip tidak berpihak, tidak berprasangka dan
adil, tidak menyalahgunakan kewenangan dengan berbagai cara yang melanggar HAM
dan kemerdekaan individu. Prinsip-prinsip tersebut dikuatkan dalam bentuk
”Sumpah Polisi”.
Pemerintah Nasional Jepang membentuk organisasi
”Polisi Pusat” untuk mengontrol dan melayani organisasi ”Polisi Prefektur”.
Undang-Undang Kepolisian menetapkan bahwa Pemerintah Nasional akan
memberdayakan masing-masing prefektur untuk melaksanakan tugas sebagai
perlindungan kehidupan, orang, benda milik individu dan pemeliharaan
keselamatan dan ketertiban warga masyarakat dalam yurisdiksi prefektur.
A. Organisasi Kepolisian Nasional/National
Police Organization (NPO)
Di Jepang terdapat organisasi kepolisian yang
berskala nasional yaitu National Public
Safety Commission (NPSC) dan National
Police Agency (NPA).
NPSC (National
Public Safety Commission)
Merupakan suatu badan pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang supervisi administratif terhadap NPA. Meskipun NPSC
ini berada di bawah Perdana Menteri namun Perdana Menteri tidak berwenang untuk
memerintah atau mengendalikan langsung komisi keselamatan publik nasional ini.
Komisi bersifat otonom dan menjamin netralitas Polisi. Komisi ini bertanggung
jawab terhadap semua operasional dan kegiatan kepolisian berkenaan dengan
keselamatan publik, latihan komunikasi, identifikasi penjahat, statistik
kriminil dan peralatan serta berbagai hal yang berkaitan dengan administrasi
kepolisian. Komisi hanya dapat melakukan supervisi terhadap NPA, tetapi tidak
berwenang melaksanakan supervisi terhadap Polisi Prefektur karena kepolisian
prefektur memiliki aturan sendiri yang diawasi oleh komisi keselamatan publik
prefektur. Anggota NPSC terdiri atas 1 orang ketua yang merangkap sebagai
menteri negara ditambah 5 orang anggota yang ditunjuk oleh Perdana Menteri
dengan persetujuan Dewan. NPSC dalam melaksanakan tugasnya memelihara hubungan
yang erat dengan PPSC (Prefectural Public Safety Commission) sebagai komisi
keselamatan publik di tingkat prefektur.
NPA (National
Police Agency)
Organisasi ini di bawah supervisi dari NPSC.
Kepala NPA adalah seorang Commissioner General of NPA yang ditunjuk dan
diberhentikan oleh NPSC dengan persetujuan Perdana Menteri. Commissioner
General (CG) bertanggung jawab terhadap subjek supervisi NPSC, mengendalikan
urusan-urusan NPA, menunjuk dan memberhentikan personel bawahannya, mengontrol
dan mengawasi kinerja urusan masing-masing Biro Lokal maupun Tingkat Pusat. NPA
bertanggung jawab terhadap perencanaan perundang undangan kepolisian, standart
kegiatan Polisi dan sistem kepolisian. NPA melakukan koordinasi kegiatan serta
memberikan dukungan kepada Polisi Prefektur baik hardware maupun softwarenya.
Organisasi NPA di tingkat regional adalah
”Regional Police Bureau” (RPB). RPB ini berada di bawah NPA yang bertugas
melaksanakan fungsi kepolisian di masing-masing regio. Ditempatkan di kota-kota
besar kecuali Tokyo dan Hokkaido. Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo
mempunyai fungsi khusus dikarenakan karakteristik wilahnya. Demikian juga di
Hokaido di mana Markas Besar Kepolisian Prefektur Hokkaido mempunyai yurisdiksi
seluruh wilayah Hokkaido. Direktur Jenderal dari masing-masing Regio
bertanggung jawab terhadap tugas-tugas Regio dan supervisi personel Regio.
Direktur Jenderal Regio juga melakukan kontrol dan supervisi Markas Besar
Prefektur yang ada di bawah yurisdiksinya atas perintah Commissioner General
NPA. Di samping Tokyo Metropolitan Police Department dan Hokkaido Prefectural
Police Department di Jepang terdapat 7 RPB lainnya yaitu Tohoku RPB, Kanto RPB,
Kinki RPB, Chubu RPB, Chugoku RPB, Shikoku RPB dan Kyushu RPB.
B. Organisasi Kepolisian Prefektur
Berdasarkan Undang-Undang Kepolisian Kota
Jepang bahwa masing-masing pemerintahan prefektur mempunyai kesatuan/organisasi
kepolisian sendiri yang mengemban tugas-tugas kepolisian di wilayahnya. Di
tingkat prefektur terdapat Komisi Keselamatan Publik Prefektur/ Prefectural Public Safety Commission
(PPSC) dan Markas Besar Kepolisian Prefektur termasuk Departemen Kepolisian
Metropolitan Tokyo.
PPSC (Prefectural
Public Safety Commission)
PPSC adalah badan pemerintah prefektur yang
bertanggung jawab supervise administrative terhadap Kepolisian Prefektur.
Walaupun PPSC berada di bawah yurisdiksi Gubernur Prefektur tetapi Gubernur
tidak berwenang untuk memerintah dan mengendalikan secara langsung komisi ini.
Komisi PPSC ini melakukan supervise terhadap Kepolisian Prefektur utamanya
berkenaan dengan operasi kepolisian, tetapi bukan pengendalian terhadap
penanganan kasus-kasus atau kegiatan penegakan hukum khusus. Komisi ini membuat
peraturan-peraturan tentang hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya seperti
delegasi wewenang menurut undang-undang, peraturan-peraturan. PPSC terdiri dari
5 anggota untuk prefektur besar dan 3 anggota untuk prefektur kecil. Anggota
PPSC ditunjuk oleh Gubernur dengan persetujuan Dewan Prefektur yang masa
jabatannya selama 3 tahun dan dapat dipilih kembali.
Di setiap prefektur terdapat Kepolisian
Prefektur. Organisasi Kepolisian yang terdapat di prefektur terdiri dari
“Departemen Kepolisian Metropolitan” (MPD) dan “Markas Besar Kepolisian
Prefektur”(PPH). Kepolisian Prefektur bertanggung jawab terhadap tugas-tugas di
wilayah prefektur. Kepolisian Prefektur berada di bawah supervise dari PPSC.
Departemen Kepolisian Metropolitan dikepalai oleh seorang Superintendent
General yang diangkat dan diberhentikan oleh NPSC dengan persetujuan Perdana
Menteri, sedangkan Markas Besar Kepolisian Prefektur dikepalai oleh seorang
Chief Respectively yang diangkat dan diberhentikan oleh NPSC dengan persetujuan
PPSC.
MPD dan PPH dibagi ke dalam wilayah distrik
yang masing-masing merupakan Yurisdiksi Police Station (PS). Kepala Polisi PS
di bawah perintah dan kendali Superintendent General MPD dan Chief Respectievly
PPH. Sebagai unit terdepan di masing-masing prefektur PS melaksanakan tugas dan
menjalin hubungan yang erat dengan masyarakat. Police Boxes (Koban) dan
Residental Police Boxes (Chuzaisho) berada di bawah PS. Koban dan Chuzaisho
ditempatkan di dalam yurisdiksi PS dan berperan sebagai pusat keselamatan
masyarakat bagi penduduk setempat.
Masing-masing badan kepolisian prefektur
merupakan suatu badan yang otonom yang satu sama lain dapat saling berhubungan.
Bila kepolisian prefektur tidak mampu menangani kasus-kasus tertentu maka dapat
meminta bantuan NPA atau kepolisian prefektur lainnya. Dalam menghadapi
kejahatan terorganisir antar Polisi Prefektur dapat melakukan kerjasama dengan
cara meningkatkan patroli malam, meningkatkan fasilitas, memperbaiki
perlengkapan dan kerjasama yang erat antara Polisi dan Masyarakat.[6]
Sistem Kepolisian di Indonesia
KOD sebagai penjabaran Desentralisasi
Administratif Polri.
Kepolisian Indonesia bukan
Kepolisian yang total sentralistis. Semenjak 20 tahun yang lalu, Polri
melakukan desentralisaai administrative dengan menetapkan Polres sebagai
Kesatuan Operasional Dasar ( KOD), yaitu kesatuan yang paling dekat berhubungan
dengan masyarakat bertugas sepenuhnya bertanggung jawab atas seluruh tugas
pokok Kepolisian.. Sedangkan Polsek adalah Kesatuan terkecil yang setingkat
dengan Kecamatan / Desa, yang bertugas untuk mengemban seluruh tugas pokok
Kepolisian samapai ke tingkat Desa, terutama untuk melindungi dan melayani
masyarakat. Desentralisasi Administrratif akan memberi lebih banyak otoritas
kekuasaan kepada Polres. Kejahatan sekarang sudah semakin canggih, tidak
mengenal batas wilayah, bahkan Negara ( transnasional crime), Maka ada
kejahatan yang ditangani oleh Polda samapi Mabes Polri secara berjenjang.
Tetapi fungsi utama dari kesatguan atasan adalah memberikan bantuan tekhnis
kepada satuan bawah untuk menerbitkan petunjuk tekhnis dan petunjuk lapangan
karena dalam sistem peradilan pidana kita, sesuai deliknya, tindak pidana hanya
dapat ditangani dengan menyesuaikan tempat kejadian perkaranya ( locus
delicti).
Desentralisasi ini diatur Pasal 10
UU No.2/2002, yang mengatur konsep tentang pendelegasian wewenang Polri yang
menganut pengertain “desentralisasi administrative“. Pasal 10 (1) ini
mengatakan bahwa : “Pimpinan Negara Republik Indonesia di daerah hukum,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat(2), bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugas dan weweang kepolisian secara hierarkhie. Dalam rangka menetapkan
strategi dan kebijakan pembangunan kekuatan untuk meningkatkan kemampuan
operasional satuan kewilayahan agar mampu melaksanakan tugas pokoknya secara
professional, maka Mabes Polri dijadikan pusat pengembangan dan penetapan kebijakan
strategis secara nasional, polda seabagi kesatuan yang memiliki kewenangan
penuh,polres sebagai basis pelayanan masyarakatdan polsek sebagai ujung tombak
operasional yang langsung mengendalikan anggotanya di lapangan sebagai
pengemban diskresi kepolisian.
Terkait dengan otonomi daerah,
strategi pembinaan kekuatan sangat berhubungan erat dengan kemampuan
operasional kewilayahan polda, polres dan polsek yang berada di lapangan untuk
melakukan tindakan kepolisian secara penuh dan jelas. Penggunaan kekuatan ini
sangat tergantung kepada kemampuan professional anggota polri di lapangan.
Ketika hal ini terjadi, dimana sejak otonomi daerah dijalankan, dan Pemda
memiliki kewenangan penuh atas penegakan hukum perda melalui Polisi pamong
prajanya dan dishub untuk penertiban parkir, Polri terbentur dengan perbedaan
pendapat dan paham masalah penegakan hukum perda dengan peraturan nasional (
undang-undang)
Dalam konteks ini, Polri sudah
harus memberikan sedikit dari sekian banyak wewenangnya, kepada para perusahaan
penjual jasa keamanan ( dalam konteks ini adalah perusahaan-perusahaan yang
mampu secara kuantitas dan kualiatas) untuk turut serta menjaga aset-aset yang
ada di wilayah operasional polsek, dengan demikian maka pelaksanaan bidang
oprasional bisa lebih fokus dalam pencapaian program-program mabes polri yang
berkelanjutan misalnya melalui operasi-operasi kepolisian yang bersifat umum
dan khusus. Polres dan Polda sendiri, saat ini sudah dapat melakukan operasi
Kepolisian mandiri kewilayahan sendiri, yaitu jenis operasi kepolisian khusus,
yang dapat dilakukan oleh kekuatan polres atau polda, disesuaikan dengan
tantangan dan kebutuhan dalam hal keamanan dan perkembangan situsi di
wilayahnya masing-masing, misalnya operasi kepolisian mandiri adalah di Polda
Sumatera Selatan melakukan operasi kepolisian yang dilakukan dengan target
sasaran kebakaran hutan baik yang disengaja maupun yang tidak. Hal ini tentunya
disesuaikan dengna karakteristik wilayah sumatera selatan, yang pada musim
kemarau seringkali terjadi kebakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat
maupun perusahaan-perusahaan perkebunan yang mengakibatkan terjadi polusi udara
yang parah sampai merepotkan Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Selain itu, dapat dilakukan
kerjasama dengan pihak pemerintah daerah setempat, ketika dalam periode
pemilihan umum daerah yang sejak masa pentahapan sudah harus diproses dan
membutuhkan keamanan, maka polda atau polres dapat membantu secara mandiri
ataupun meminta backup bantuan dari kesatuan yang ada di atasnya dalam rangka
terciptanya kondisi keamanan yang stabil dan menjamin agar proses tersebut
berjalan dengan lancara. Namun dalam hal ini, seringkali terbentur oleh masalah
penggunaan kekuatan yang tidak seimbang karena terbatasnya angagran, sehingga
yang terjadi adalah seringkali pihak otonomi daerah di pemda yang mempunyai
kekuasaan dan ingin juga terlibat sebagai calon dalam pemilukada ( incumbent),
melakukan upaya-upaya agar pihaknya diberikan privilege, atau keleluasaan
bergerak dan perlindungan khusus, dimana mereka dapat melakukan praktek-praktek
yang sebenarnya tidak boleh dilakukan atau bahkan melanggar tata tertib
pemilihan umum daerah , namun mereka seringkali menawarkan dan pengamanan yang
cukub besar untuk, sehingga resikonya terjadi ketidak objektifan target
pengamanan pemilukada.
Kinerja Polri di bawah Presiden
Sesuai dengan pengalaman 10 tahun
pemisahan dengan ABRI, Polri terus membenahi diri. Sudah sekitar 6 tahun Polri
melakukan tugasnya mereformasi diri, dan kesempatan untuk kembali dibawah presiden.
Sebagai privilege yang luar biasa, kedudukan Kapolri di bawah Presiden telah
menjadikan Polri lebih oprtimal dan maksimal dalam menjalankan tugasnya. Hal
ini disebabkan karena posisi Kapolri yang langsung mengetahui
permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, keamanan dan politik melalui rapat
dalam sidang Kabinet sehingga dapat menyampaikan juga permasalahan Polri yang
ada saat ini.
Secara Politik, Polri bisa langsung
menyampaikan kebutuhan-kebutuhan institusi dalam rangka menjalankan tugasnya .
Dalam hal ini, diperlukan pemimpin yang sangat professional dalam hal ini
Kapolri, yang dapat memisahkan kepentingan, antara kepentingan Negara maupun
kepentingan pribadi. Hal ini menjadi bias, karena apabila hasil dari demokrasi
mejadikan seorang pemimpin Negara yang otoriter / diktator, maka secara
politik, kapolri akan langsung dibawah kendali seorang diktator dan menjadikan
institutional sebagai alat kekuasaan. Hal ini bisa saja terjadi karena dalam
proses politik, untuk hal ini pemilihan presiden, semua hal bisa terjadi dan
tidak ada hal yang tidak mungkin dalam politik.
Pelaksanaan UU No.2 tahun 2002
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
Kepolisian, perlu ditata
dahulu rumusan tugas pokok, weweang Kepolisian RI dalam Undang-undang No.2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
1. Fungsi Kepolisian
Pasal 2 :” Fungsi Kepolisian adalah
salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan
masyarakat”. Sedangkan Pasal 3: “(1) Pengemban fungsi Kepolisian adalah
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian khusus,
b. pegawai negri sipil dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. (2)
Pengemban fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,b, dan
c, melaksanakan fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum masing-masing.
2. Tugas pokok Kepolisian
Pasal 13: Tugas Pokok Kepolisian
Negara Rrepublik Indonesia dalam UU No.2 tahun 20002 adalah sebagai berikut:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2. Menegakkan hukum
3. Memberikan perlindungan,pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat. “, penjabaran tugas Kepolisian di jelaskan lagi
apada Pasal 14 UU Kepolisian RI.
3. Kewenangan Kepolisian
Pada Pasal 15 dan 16 UU Kepolisian
RI adalah perincian mengenai tugas dan wewenang Kepolisian RI, sedangkan Pasal
18 berisi tentang diskresi Kepolisian yang didasarkan kepada Kode Etik
Kepolisian.
Sesuai dengan rumusan fungsi, tugas
pokok, tugas dan weweang Polri sebagaimana diatur dalam UU No2.tahun 2002, maka
dapat dikatakan fungsi utama kepolisian meliputi : 1)Pre-emtif, 2) Preventif, dan 3)Represif.
Fungsi utama itu bersifat universal
dan menjadi ciri khas Kepolisian, dimana dalam pelaksanaannya Polri lebih
mengutamakan Preventif dari pada represif. Adapun perumusan dari fungsi utama
tersebut adalah :
·
Tugas
Pembinaan masyarakat (Pre-emtif): Segala
usaha dan kegiatan pembinaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan.
·
Tugas di
bidang Preventif: Segala usaha dan kegiatan di
bidang kepolisian preventif untuk memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, memelihara keselematan orang, benda dan barang termasuk memberikan
perlindungan dan pertolongan , khususnya mencegah terjadinya pelanggaran hukum.
·
Tugas di
bidang Represif: Di bidang represif terdapat
2 (dua) jenis yaitu represif justisiil dan non justisiil. UU No. 2 tahun 2002
memberi peran Polri untuk melakukan tindakan-tindakan represif non Justisiil
terkait dengan Pasal 18 ayat 1(1) , yaitu weweang ” diskresi kepolisian” yang
umumnya menyangkut kasus ringan.
Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas)
Lembaga Kepolisian Nasional yang
disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan di bawah Presiden.
Komisi Kepolisian Nasional dalam Undang-Undang Kepolisian No.2 tahun 2002,
merupakan akomodasi aspirasi masyarakat yang berkembang tentang perlunya
transparansi, pengawasan dan akuntabilitas Kepolisian Negara RI yang dilakukan
oleh suatu lembaga independen. Selain itu diharapkan adanya lembaga yang
objektif dan konsisten memperhatikan kebijakan-kebijakan untuk Presiden
berkenaan dengan tugas pokok Polri.
Menurut UU No.2 tahun 2002 Tugas
Kompolnas adalah : 1) Membantu Presiden dalam
menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan 2) Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam
pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri.
Wewenang Kompolnas sebagaimana
dimaksud ayat (1) adalah : Mengumpulkan dan menganalisa datam seabagai bahan
pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan denganj anggaran Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Pengembangan Sumber daya manusia Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Memberikan saran dan pertimbangan lain Kepada Presiden
dalam rangka mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang professional
dan mandiri, dan Menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai Kinerja
Kepolisian dan menyampaikan ke presiden.
Melihat komposisi tugas dan
wewenang Kompolnas, hal ini menjadi jelas dan kelihatan sekali, bahwa
pengawasan kinerja Kepolisian dengan indikator keluhan masyarakat sudah resmi
dan efisien sebenarnya, namun saat ini Sosialisasi Kompolnas ke daerah-daerah
lain tidak maksimal dan kurang diketahuui keberadaannya oleh masyarakat.
Masyarakat di kabupaten-kabupaten banyak yang belum mengetahui, karena
Kompolnas tidak pernah melakukan sosialisasi dan memberikan keterangan kepada
media massa akan keberadaannya. Justru Lembaga-lembaga lain yang sebenarnya
boleh dikatakan tidak mempunyai landasan hukum uyang kuat untuk menilai Polri
secara objektif seperti lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Survey,
yang sering mempublikasikan hasil temuannya di media massa yang terkadang
diragukan keobjektifitasannya. Untuk itu, sebaiknya dalam proses pengawasan
Polri di masa mendatang, sebaiknya Kompolnas melakukan tugasnya dan berperan
dalam pembuatan opini public yang dipercaya dan diterima oleh hukum dan
masyarakat. Kompolnas harus selalu terdepan dalam memberikan informasi yang
berkaitan dengan Kinerja Polri dan dapat dijadikan tolak ukur atau indikator
keberhasilan pelaksanaan tugas pokok Polri.
Dari penjelasan diatas Sistem kepolisian di Indonesia menggunakan
paradigma Centralized System of Policing,
yaitu suatu sistem kepolisian yang terpusat / sentralisasi di mana sistem
kepolisian berada di bawah kendali atau pengawasan langsung oleh pemerintah
pusat. Sistem ini dahulunya dianut oleh sistem pemerintahan yang totaliter
seperti Jerman pada era Nazi. Negara-negara yang menganut sistem kepolisian ini
selain Indonesia, antara lain : Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand,
Taiwan, Irlandia, Denmark dan Swedia. Kelemahan dari sistem ini, antara lain :
a) Cenderung dijauhi / kurang didukung
masyarakat karena cenderung lebih memihak kepada penguasa.
b) Birokrasinya juga terlalu panjang, mulai
dari level paling bawah hingga paling atas terletak dalam satu rangkaian sistem
birokrasi.
c) Kurang dapat menyesuaikan dengan situasi
dan kondisi masyarakat, karena panjang dan gemuknya rentang struktural dalam
sistem kepolisian tersebut.
d) Terdapat kerentanan yang tinggi terhadap
munculnya intervensi penguasa serta penyalahgunaan organisasi maupun wewenang
kepolisian untuk kepentingan penguasa.
Sedangkan kelebihan dari
sistem kepolisian terpusat tersebut, antara lain yaitu :
a) Mudahnya sistem komando dan pengendalian
karena dapat dilaksanakan secara terpusat.
b) Wilayah kewenangan hukumnya lebih luas
dibandingkan dengan sistem desentralisasi, karena kewenangan tersebut bersifat
nasional.
c) Terdapat standarisasi profesionalisme,
efisiensi dan efektivitas baik dalam bidang administrasi maupun operasional.
d) Ruang lingkup pengawasan dalam sistem ini
sifatnya lebih luas dibandingkan dengan sistem desentralisasi karena pengawasan
tidak hanya pada tataran lokal tapi secara berjenjang sampai dengan level
nasional.
KESIMPULAN
Melalui pemahaman konsep
sistem, maka akan didapatkan suatu pandangan tentang suatu kesatuan himpunan
yang utuh menyeluruh dengan bagian-bagian yang saling berkaitan, saling
ketergantungan, saling bekerjasama berdasarkan aturan tertentu, untuk mencapai
tujuan dari sistem ( Prof. Djoko Sutono, C.W. Churchman, Matheus, Lempiro).
Oleh karena itu, termasuk pula dalam hal perbandingan atas sistem-sistem
kepolisian yang digunakan dalam negara-negara demokratis tersebut diatas, maka
didapatkan suatu pemahaman bahwa tidak ada suatu sistem kepolisian yang
sempurna karena masing-masing sistem kepolisian tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan tersendiri.
Dengan adanya kelebihan yang
dimiliki dalam suatu sistem kepolisian tertentu, maka
selayaknya dapat difungsikan sebagai kekuatan (strength) dan peluang (opportunity)
yang harus dioptimalkan eksistensinya guna menutupi atau mengeliminasi
kelemahan (weakness) yang dimiliki dalam
sistem kepolisian tersebut. Kelebihan dimaksud harus dikelola dengan baik
sehingga tidak justru menjadikan timbulnya ancaman (threat) tersendiri bagi operasionalisasi sistem kepolisian
tersebut karena tidak ada satu pun sistem kepolisian yang paling sempurna di
dunia, melainkan setiap siste kepolisian pasti memiliki kelebihan dan
kelemahan.
Walaupun semua system tidak
ada yang sempurna, akan tetapi, Kepolisian
Indonesia saat ini sudah hampir mendekati sistem Kepolisian ideal yang
diharapkan oleh anggotanya sendiri maupun masyarakat, kemandirian Polri sudah
dilaksanakan dan terpisah dari ABRI, dan sekarang yang perlu dilakukan Polri
adalah melakukan peningkatan sumber daya manusianya serta melakukan pembenahan
secara maksimal. Program-program yang dilaksanakan dalam tugas kepolisian di
kewilayahan sudah dapat dilihat hasilnya, sementara yang perlu dan wajib
dilakukan adalah adanya penyederhanaan sistem birokrasi untuk pelayanan kepada
masyarakat.
Pelayanan Masyarakat melalui
langsung maupun tidak langsung bisa dilakukan dan disederhanakan dengan
melakukan efisensi dan efektifitas yang terkait dengan penggunaan tekhnologi
Kepolisian yang maksimal dan up to date. Pengawasan juga diperlukan dalam
rangka menjaga supaya tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan
dalam praktek-praktek kerja di lapangan.
[1] __________, Sejarah Kepolisian Indonesia, ( MABES POLRI, 1999), h. 45
[2] __________, Sejarah Kepolisian Indonesia, ( MABES POLRI, 1999), h. 141
[3] Awaloeddin Djamin, Sistem Administrasi Kepolisian; Kepolisian Negara Republik Indonesia,
(YPIK, Jakarta), h. 69-71
[4] Diakses
dari situs : http://en.wikipedia.org/wiki/Peelian_Principles dan http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/r/robertpee
l260231.html, pada
tanggal 20 November 2011.
[5] Diakses
dari situs : http://www.governance-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=74, pada tanggal 20 November 2011.
Prinsip-prinsip dalam good governance
yaitu : Partisipasi Masyarakat, Tegaknya Supremasi Hukum, Transparansi, Peduli
pada Stakeholder, Berorientasi pada Konsensus, Kesetaraan, Efektifitas dan
Efisiensi, Akuntabilitas dan Visi Strategis.
[6] Yade
setiawan ujung, Sistem Kepolisian Jepang,
diupload tanggal 07 desember 2011 dari http://ys-ujung.com/?p=84
DAFTAR PUSTAKA
1. __________, Sejarah Kepolisian Indonesia, ( MABES POLRI, 1999
2.
Awaloeddin Djamin, Sistem Administrasi Kepolisian; Kepolisian Negara Republik Indonesia,
(YPIK, Jakarta)
3. Lutan, Ahwil,
Dkk, Perbandingan Sistem
Kepolisian di Negara-Negara Demokratis,
Materi Kuliah Mahasiswa PTIK, Jakarta, 2000.
4. Pasaribu, Arman,
Perbandingan Sistem Kepolisian : Sistem
Kepolisian Ideal di Indonesia, diakses
dari situs : http://armanpasaribu.wordpress.com/2009/02/12/108/, pada tanggal
22 November 2011.
6. http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/r/robertpee
l260231.html, diakses
pada tanggal 20 November 2011.
7. http://www.governance-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&
id=74, diakses pada tanggal 21 November 2011.
8.
Diakses dari situs : http://en.wikipedia.org/wiki/Peelian_Principles dan http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/r/robertpee l260231.html, pada
tanggal 20 November 2011.
9. Diakses
dari situs : http://www.governance-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=74, pada
tanggal 20 November 2011.
10. Diakses
dari situs: http://polisikita.wordpress.com/2008/06/24/sejarah-polri/, , pada
tanggal 22 November 2011.
11.
Yade
setiawan ujung, Sistem Kepolisian Jepang,
diupload tanggal 07 desember 2011 dari http://ys-ujung.com/?p=84
No comments:
Post a Comment