Tuesday, September 11, 2012

AKUNTABILITAS POLRI


PENDAHULUAN
‘Polisi itu melihat orang. Kalau kita mengerti hukum itu, kita tidak dipukuli. Kalau yang tidak mengerti, diperas habis, dipukuli”.(Ali, 24, ditangkap karena memiliki marijuana pada bulan Januari 2008)[1]

Sejak jatuhnya rezim otoriter Presiden Suharto pada tahun 1998, Indonesia telah memulai serangkaian reformasi strategis penting, yang telah ikut menyumbang pada peningkatan norma hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang lebih baik. Langkah-langkah ini mencerminkan meningkatnya komitmen terhadap perlindungan dan pemajuan HAM yang lebih baik pada tingkat nasional dan internasional. Namun masih ada celah besar antara kebijakan dan praktik. Undang-undang dan penerapannya masih belum bisa melindungi hak-hak rakyat Indonesia. Dalam hal ini, Amnesty International masih terus menerima banyak laporan pelanggaran HAM yang terjadi di negara itu, termasuk yang dilakukan personel kepolisian.
Pengalaman Ali adalah ciri khas yang terjadi pada banyak tertuduh pidana di tangan polisi. Meskipun adanya proses reformasi dewasa ini dan upaya untuk membuat Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) lebih profesional dan menghormati HAM, Amnesty  International mengamati adanya pola pelanggaran polisi terhadap kelompok tertentu dalam masyarakat. Para tersangka kriminal yang hidup dalam komunitas yang miskin dan tersisihkan, terutama kaum perempuan dan pelaku pelanggaran berulang kali, menderita pelanggaran HAM secara tak proporsional termasuk penggunaan kekuatan berlebihan yang dalam  sejumlah kasus menyebabkan terjadinya penembakan mematikan; penyiksaan, dan perlakuan buruk lainnya pada saat penangkapan, interogasi, dan penahanan; serta akses tak memadai terhadap perawatan medis pada saat berada dalam tahanan polisi.
Amnesty International mengakui banyaknya tantangan yang dihadapi polisi dalam pekerjaan mereka[2] sehari-hari. Namun, sebagaimana ditetapkan dalam hukum dan standar HAM internasional, polisi memiliki hak-hak, tetapi juga ada batasan terhadap kekuasaan polisi.[3] Polisi di Indonesia memiliki kewajiban menghormati ketetapan yang tercantum dalam traktattraktat HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia[4] serta standar HAM lain yang telah diakui secara internasional yang membentuk customary international law (kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktik umum dan diterima sebagai hukum).[5] Personel kepolisian juga memiliki tugas untuk menghormati ketetapan HAM dalam perundangundangan nasional.[6]
Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia telah membuat kemajuan penting dengan menjadi badan yang efektif dan independen sejak memisahkan diri dari Angkatan Bersenjata satu dasawarsa lalu, di bawah kepemimpinan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Pemerintah-pemerintah berikutnya telah memberlakukan sejumlah reformasi legislatif dan struktural penting guna memperkuat efektivitas polisi dalam mencegah dan mendeteksi kejahatan; menjaga ketertiban umum; dan mempromosikan norma hukum. Lebih dari itu, sejumlah bagian dalam lembaga kepolisian telah mendapatkan pelatihan hukum serta standar HAM internasional. Prakarsa perpolisian masyarakat juga telah dilaksanakan guna mengembangkan profesionalisme polisi dan akuntabilitas kepada masyarakat.
Walaupun adanya hal-hal positif tersebut, polisi di Indonesia dewasa ini masih dipandang sebagai lembaga yang sangat korup[7] dan tak dipercayai.[8] Meskipun petugas kepolisian bertugas mempromosikan norma hukum, dalam kenyataannya mereka sering kali berperilaku seolah-olah mereka berada di atas hukum. Situasi ini ditunjang oleh tidak adanya mekanisme akuntabilitas yang efektif, baik secara internal maupun eksternal.
Amnesty International percaya bahwa pendekatan berbasis HAM dalam perpolisian bisa sangat meningkatkan profesionalisme polisi (lihatlah kolom mengenai perpolisian berbasis HAM, h15).[9] Perpolisian dan HAM sangat erat terkait karena peran polisi adalah untuk melindungi HAM.14 Dalam pendekatan semacam itu, HAM tidak bertentangan dengan perpolisian yang efektif, tapi malah mendukungnya. Sehubungan hal ini, Kode dan Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai perpolisian telah mengembangkan tiga prinsip dasar: 1) polisi perlu memastikan bahwa mereka menjalankan pekerjaan mereka secara responsif terhadap masyarakat yang mereka layani; 2) bahwa mereka merupakan perwakilan penduduk; 3) bahwa mereka bertanggung gugat atau berakuntabilitas dalam struktur mereka, dan secara eksternal sesuai dengan hukum serta standar HAM internasional.
AKUNTABILITAS OPERASIONAL POLRI
Akuntabilitas operasional Polri adalah akuntabilitas atas pelaksanaan tugas operasional kepolisian dilapangan secara langsung. Akuntabilitas Operasional Kepolisian dilakukan secara berjenjang secara internal organisasi Polri mulai dari anggota terdepan, pimpinan unit/tim, Kapolsek, Kapolres, Kapolda, dan seterusnya hingga Kapolri. Disamping itu terdapat akuntabilitas Polri yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Sistim Peradilan Pidana, KUHAP, dan berbagai peraturan lainnya mengatur akuntabilitas operasional Polri kepada Sistim Peradilan Pidana, Kejaksaan, dan Pengadilan. Pada tingkat Polda dan Polres, DPRD setempat maupun Kepala Daerah setempat dapat meminta Kapolda dan Kapolres setempat untuk menjelaskan berbagai hal dibidang pemolisian. Untuk lebih memperkuat akuntabilitas Polri di daerah Pemda perlu memberi kontribusi dukungan operasional kepolisian terutama terhadap berbagai prioritas daerah setempat.[10]

AKUNTABILITAS POLRI DIBIDANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
Akuntabilitas (accountability) adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya dengan demikian akuntabilitas terkait dengan falsafah bahwa lembaga eksekutif pemerintah yang tugas utamanya adalah melayani rakyat harus bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung kepada rakyat. Starling  (1998:164) mengatakan bahwa akuntabilitas ialah kesediaan untuk menjawab pertanyaan publik.
A good synonym for the term accountability is answerability. An organization must be answerable to someone or something outside itself. When things go wrong, someone must be held responsible. Unfortunately a frequently heard charge is that government is faceless and that, consequently, affixing blame is difficult.
Kesulitan untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah terhadap kualitas pelayanan publik terutama disebabkan karena sosok pemerintah itu sendiri tidak tunggal. Untuk itu proses akuntabilitas bagi lembaga pemerintah atau birokrasi publik yang memadai merupakan prasyarat penting bagi peningkatan kualitas pelayanan publik.
Ferlie (1997:202-216) membedakan beberapa model akuntabilitas yakni: akuntabilitas ke atas (accountability upwards), akuntabilitas kepada staf (accountability to staff), akuntabilitas ke bawah (accountability downwards), akuntabilitas yang berbasis pasar (market-based forms of accountability) dan akuntabilitas kepada diri sendiri (self accountability). Wahyudi Kumorotomo (2005:4).Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari pelaksana fungsi pemerintahan negara juga tidak luput dari tuntutan akuntabilitas atas pelaksanaan tugas-tugasnya. Akuntabilitas Polisi menurut Loughlin (1988) merupakan ukuran bagaimana berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas Polisi tersebut dilakukan secara terbuka sehingga dapat diteliti dengan cermat oleh publik. Dari pendapat itu jelas bahwa akuntabilitas Polri dapat dipakai untuk menilai profesionalisme polisi dalam melakukan tugas-tugasnya dan dapat diukur secara terbuka oleh masyarakat. Akuntabilitas bukan hanya dilaksanakan secara internal dalam tubuh Polri tetapi yang lebih penting adalah dilakukan secara eksternal kepada publik.
Pada hakekatnya tugas pokok Polri tersebut mengandung makna bahwa Polri adalah pelayan masyarakat. Pelaksanaan tugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat turut mempengaruhi citra atau image Polri di mata masyarakat. Diantara tugas pokok Polri yang banyak mendapat perhatian publik/ masyarakat adalah tugas penegakan hukum di bidang penyidikan tindak pidana. Dalam rangka penegakan hukum Polri melakukan tugas-tugas penyidikan tindak pidana yang diemban oleh penyidik/penyidik pembantu oleh fungsi reserse  kriminal maupun fungsi operasional Polri lain untuk melakukan penyidikan dan dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan secara profesional dan proporsional. Undang Undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penyidikan tindak pidana sekaligus menegaskan eksistensi Polri sebagai penyidik utama. Pelaksanaan penyidikan itu menuntut adanya akuntabilitas publik, hal ini berkaitan dengan penggunaan dana publik dalam proses penyidikan sesuai Inpres No 7 tahun 1999.
Tuntutan akuntabilitas dalam proses penyidikan juga dipertegas oleh penjelasan pasal 1 angka 7 Undang-undang RI No.28 tahun 1999 dimana penyidik dikategorikan sebagai pejabat lain yang memiliki fungsi strategis, yang dimaksud disini adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek-praktek korupsi, kolusi dan Nepotisme. Polri dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum sebenarnya telah mengimplementasikan akuntabilitas di bidang penyidikan tindak pidana namun masih perlu adanya peningkatan seiring dengan perkembangan situasi yang dinamis ditandai dengan meningkatnya tuntutan masyarakat atas akuntabilitas pelayanan publik para aparatur penyelenggara negara. Implementasi akuntabilitas yang telah dilakukan Polri antara lain; Menindaklanjuti kasus-kasus Pidana yang dilaporkan masyarakat dan terpenuhi unsur-unsur pidananya ke Kejaksaan, menyampaikan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) kepada korban atau pelapor, memberikan keterangan pers terhadap kasus-kasus yang ditangani melalui media massa secara terbuka kepada masyarakat umum, menyajikan laporan kemajuan penanganan kasus ke kesatuan atas. Namun akuntabilitas publik tersebut dilakukan penyidik belum didasari sikap bahwa hal tersebut merupakan tanggung jawab atau sebagai wujud kewajiban. Padahal akuntabilitas penyidikan dapat menjadi sarana yang efektif untuk menilai kinerja penyidik sehingga mengetahui kelemahan dan kekurangan penyidik serta sekaligus membuka peluang bagi publik untuk memberikan kontrol sosial berupa koreksi guna perbaikan kinerja Polri di bidang penyidikan tindak pidana.
Semenjak berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tahapan proses peradilan pidana terbagi secara nyata, yaitu penyelidikan dan penyidikan dimana sebagai “centre figure” adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penuntutan menjadi wewenang Kejaksaan dan Pemeriksaan di depan sidang menjadi wewenang Hakim. Proses penyidikan diawali dari penyelidikan, penindakan, pemberkasan dan penyerahan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum. Dalam rangka proses peradilan pidana Polri mempunyai sejumlah kewenangan antara lain melakukan: penangkapan, penahanan,penggeledahan dan penyitaan dan lain sebagainya (Lihat Pasal 16 Ayat 1 huruf a s/d l UU No 2 Tahun 2002 ). Seluruh rangkaian kegiatan penyidikan tersebut rentan terhadap Korupsi,Kolusi dan Nepotisme serta setiap wewenang tersebut diatas bila dilaksanakan secara tidak benar dan adil, serta wajar (reasonable) dapat mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia karena petugas Kepolisian diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengekang sementara kemerdekaan seseorang. Untuk menjamin pelaksanaan tugas penyidikan agar tidak menyimpang dan sesuai dengan rule of law maka penyidik dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan segala tindakan yang dilakukannya atau dengan kata lain untuk dapat memberikan akuntabilitas publik.
Pelaksanaan memberikan akuntabilitas publik merupakan kewajiban penyidik Polri sebagai wujud pertanggungjawaban penyidik Undang Undang yang telah memberikan kewenangan kepadanya. Undang-undang dibuat oleh DPR yang notabene adalah perwakilan rakyat, jadi pertanggungjawaban penyidik kepada Undang Undang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban penyidik kepada rakyat. Akuntabilitas penyidikan Polri juga dapat ditinjau dari perspektif pertanggungjawaban keuangan publik sebagaimana dimaksud Inpres No 7 tahun 1999.Sementara itu penyidik sebagai salah satu pejabat penyelenggara negara harus berpedoman pada asas akuntabilitas yang bertujuan pada sikap dan perilaku penyidik yang bebas KKN.[11]
Dukungan berupa komitmen politik yang diberikan oleh Presiden SBY kepada kepolisian untuk mengungkap kasus pajak, dengan menempatkan kepolisian berada di garis depan, kelihatannya berhasil menghentikan tarik-menarik penanganan kasus korupsi yang melibatkan Gayus P Tambunan, tapi hanya untuk sejenak. Lantaran dukungan yang diberikan Istana, tidak digunakan secara baik oleh kepolisian untuk mengungkap tidak hanya mereka yang selama ini telah diseret ke meja hijau, tapi juga para penyuap. Desakan berbagai kalangan masyarakat agar kasus tersebut diambil alih oleh KPK, belakangan malah menguat.
Harapan bahwa dengan dukungan politik yang besar, dan penyelesaian kasus kakap, bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Polri, kembali pupus. Muatan politis pada kasus pajak ini, ketidakseriusan penanganannya, dan polisi yang masih terpolitisasi dianggap sebagai penyebab kebuntuan bagi aparat penegak hukum untuk menyentuh semua pihak yang terlibat dalam kasus ini.
Dalam konteks reformasi Polri, kelemahan seperti ini menggambarkan harapan tentang hadirnya polisi yang professional dan akuntabel, masih jauh dari harapan publik. Masyarakat sipil bahkan mengungkapkan bahwa reformasi Polri kini mengalami stagnasi. Kredibilitas institusi ini tak henti-hentinya dipertanyakan oleh publik. Daripada menampilkan diri sebagai lembaga yang transparan, kepolisian menurut politisi Senayan adalah institusi publik yang dipenuhi ketertutupan, hingga menghambat pembersihan kepolisian dari penyelewengan. Hal ini selanjutnya mendorong meluasnya tuntutan agar polisi tidak menangani kasus korupsi. Sejumlah upaya yang sudah ditempuh, misalnya penerapan sanksi yang diberikan kepada anggota Polri yang menyalahgunakan kewenangan pun belum bisa mengubah persepsi masyarakat terhadap bobroknya penegakan hukum. Belum lagi polisi masih menggunakan pendekatan kekerasan dalam menangani berbagai masalah keamanan di masyarakat, makin mendiskreditkan posisi Polri di mata masyarakat. Bahkan dampak dari ketidakseriusan penanganan kasus-kasus di kepolisian kini meluas, telah mengganggu kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
Untuk membenahi kepolisian, peneliti IDSPS, Sri Yunanto mengatakan bisa menempuhnya dengan dua pendekatan. Sayangnya, karena pendekatan pertama yaitu pendekatan parsial; melakukan perubahan manajemen, prosedur dan ketentuan, yang digantungkan kepada efektivitas kepemimpinan di Polri, yang dinilai tidak terlalu berhasil.  Untuk itu Polri seharusnya punya kemauan untuk melakukannya dengan pendekatan yang radikal; merombak struktur organisasi, mengubah sistem kepolisian yang saat ini langsung dibawah presiden, ke dalam organisasi kepolisian yang berada di salah satu departemen dan melakukan desentralisasi fungsi kepolisian[12]
Walau tampaknya beberapa tahun terakhir, tampak Polri juga berupaya untuk membuka ruang transparansi, komunikasi dan kerjasama dengan masyarakat sipil yang selama ini melakukan pengawasan terhadap kinerja Polri untuk mendorong pembenahan reformasi Polri. Hal ini tampak pada kegiatan yang dilakukan dalam merespon cita-cita pemolisian yang ideal, yaitu “Seminar Good Policing serta Lokakarya Penanganan Hate Speech dan Deradikalisasi”. Kegiatan ini di satu sisi bisa dimaknai bahwa Polri berkomitmen untuk mewujudkan cita-cita reformasi Polri sesuai dengan standar universal akan pemolisian ideal. Di sisi lain kegiatan itu juga bisa dimaknai bahwa segala kinerja dan perilaku Polri baik di tingkatan personel individual maupun institusional akan dievaluasi lewat standar pemolisian ideal tersebut. Artinya tuntutan terhadap kinerja dan perilaku Polri yang ideal akan semakin besar. Selain itu, hal ini merupakan bentuk sensitivitas Polri dalam mendengarkan keluhan dari kelompok masyarakat sipil yang mempertanyakan kinerja Polri dalam menghadapi kekerasan yang berbasis pada suatu kebencian terhadap kelompok minoritas agama atau kepercayaan. Namun demikian, komitmen para petinggi Polri ini akan sia-sia bila kegiatan tersebut hanya berhenti hanya sebagai forum diskusi dan tidak direalisasikan sebagai strategi mendisiplinkan dan memperkuat kapasitas personel Polri yang akan menghadapi tantangan serupa ke depan, khususnya tindakan penegakan hukum kepada kelompok kekerasan (vigilante). Selain itu ‘engagement’ Polri dengan masyarakat sipil harus diperluas hingga ke daerah-daerah pada semua level kepolisian sesuai dengan semangat doktrin ‘pemolisian masyarakat’ dan strategi partnership building.

PENUTUP DAN REKOMENDASI
Akuntabilitas Polri merupakan sebuah keharusan yang harus dimiliki Polri sehingga Polri dapat melaksanakan tugas yang diemban tanpa ada intervensi dari pihak manapu. Adanya suatu instansi yang membawahi kinerja polri hanyalah sebagai pengawas sehingga polri tidak melenceng dari tugas yang telah diamanatkan seperti adanya kompolnas. Adanya Kompolnas dan adanya warga independen sebagai anggota Kompolnas merupakan hal yang positif, namun masih perlu dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan dalam tugas dan werwenang Kompolnas. Kehadiran Kompolnas diharapkan akan dapat menagwasi dan meningkatkan legitimasi dan kepercayaan masyarakat kepada Polri.
Reformasi yang utuh dalam tubuh Polri tentu membutuhkan waktu yang panjang dan komitmen yang kuat dari Kapolri dan institusi Polri sendiri. Hal ini tentu juga harus didukung lewat komitmen politik Presiden, Pemerintah dan DPR untuk tidak mempolitisir insitusi ini untuk kepentingan praktis semata. Polri harus berani menolak intervensi dari berbagai pihak dan menunjukkan bahwa upaya pelayanan dan perlindungan bagi masyarakat adalah hal yang utama. Hari Bhayangkara ini menjadi titik pijak bagi momentum pemajuan agenda akuntabilitas Polri yang lebih komprehensif dengan mendorong Kapolri agar :
Membuat terobosan kreatif (crative breakthrough) dengan membuat kebijakan tertulis yang aplikatif untuk tidak melakukan kekerasan atau penyiksaan kepada para tersangka di kantor polisi (seperti poster, banner, spanduk dll). Berbagai kasus kekerasan dan penyiksaan sering terjadi karena ketidakmampuan penyelidik atau penyidik akan teknik investigasi yang memadai sehingga mereka mencari jalan pintas dalam mengumpulkan bukti dan kesaksian lewat praktik penyiksaan. Polri harus meningkatkan kapasitas personelnya dalam kegiatan penyelidikan dan penyidikan serta tidak memaksimalkan pemberian penghukuman efektif dan efek jera kepada pelaku kekerasan.
Memperkuat mekanisme akuntabilitas internal dengan membuat mekanisme pengawasan berkala dan berlapis hingga ke tingkat Polda, Polres dan Polsek. Polri juga harus menempatkan personel yang memiliki integritas sebagai penjaga nilai dan pengawas kinerja anggota Polri dan membuka sidang etik, disiplin dan pidana secara cepat dan terbuka. Itwasum dan Propam harus ditempatkan sebagai mekanisme kontrol yang independen di bawah Kapolri dan bekerja secara mandiri, termasuk bebas dari hak prerogatif Kapolri yang rawan intervensi.
Menyediakan ruang effective remedy sebagai sebuah mekanisme pertanggungjawaban pemulihan hak-hak para korban jika terjadi kesalahan tindakan anggota Polri yang mengakibatkan pelanggaran HAM. Jaminan ini sejalan dengan semangat Perkap HAM No 8/2009. Jaminan ini harus diterapkan secara merata tanpa politik diskriminasi, khususnya pada minoritas. Ketertundukan Polri terhadap mekanisme criminal justice system, termasuk RUU KUHP menjadi ukuran atas komitmen penguatan effective remedy.
Melakukan penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan dan mengambil tindakan tegas terhadap tindakan-tindakan penyebaran kebencian (hate speech) yang menjadi bibit dari radikalisme. Jika perlu, Polri harus melakukan pendidikan HAM yang intensif sampai kepada anggota dalam lini terbawah, termasuk mengintegrasikan nilai-nilai HAM, penghormatan kepada kelompok, agama dan ras yang berbeda dalam kerja keseharian anggota Polri.
Mengefektifkan dan membuka diri terhadap ruang kontrol pengawasan eksternal yang efektif, dengan mengefektifkan kerjasama dengan Kompolnas, Komnas HAM dan Ombudsman. Keterbukaan dan dukungan ini harus juga menjadi komitmen bagi Polda, Polres dan Polsek di mana pelanggaran HAM lebih banyak terjadi.
Membuka diri terhadap kontrol institusi demokratik yang merupakan representasi kepentingan publik, dan membuka partisipasi masyarakat luas. Pengawasan masyarakat sipil (civil society oversight) – termasuk media – dapat menjadi mitra strategis sebagai institusi pengawas dan kontrol dalam mendorong pengambilan keputusan dan kebijakan melalui sistem yang juga memenuhi prasyarat proses yang transparan dan akuntabel.


DAFTAR PUSTAKA
1.      “Memahami Perpolisian – Buku pegangan bagi para pegiat hak asasi manusia” Anneke Osse, Amnesty International Belanda, 2006,
2.      Apakah perpolisian berbasis HAM itu?”, h.15 dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM (UDHR).
3.      UUD Indonesia dan amendemen keempatnya, Undang-undang Hak Asasi Manusia (UU No39/1999),
4.      Undang-undang tentang Pengadilan Ham (UU No 26/2000) dan KUHP.
5.      http://www.ti.or.id/en/publication/all/tahun/2009/bulan/01/tanggal/21/id/3845/, diakses 23 Maret 2009.
6.      The Jakarta Post, “The National Police: Between Idealism and Reality”, 1 Juli 2008.
7.      Diskusi “MENYOAL KINERJA POLRI” oleh Ronny LIHAWA, 7 Agustus 2007. Diakses pada tanggal 29 Maret 2012 dari: http://ebookbrowse.com/akuntabilitas-politik-dan-profesional-polri-ronny-lihawa-pdf-d57549900
8.      Akuntabilitas Polri dibidang Penyidikan Tindak Pidana diakses  pada tanggal 15 Maret 2012 dari http://www.jalurberita.com/2011/12/akuntabilitas-polri-dibidang-penyidikan.html
9.      Newsletter | Edisi VI/November/2010


[1] Bukan nama sebenarnya.
[2] “Memahami Perpolisian – Buku pegangan bagi para pegiat hak asasi manusia” Anneke Osse, Amnesty International Belanda, 2006,
[3]Apakah perpolisian berbasis HAM itu?”, h.15 dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM (UDHR).
[4] Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan  Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Konvensi PBB Menentang Penganiayaan dan Perlakuan Kejam Lain, Tidak Manusiawi atau Hukuman yang Merendahkan (UNCAT), Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD), Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) dan Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC).
[5] Peraturan internasional yang berasal dari praktik-praktik yang dilakukan negara-negara secara konsisten menjadi peraturan yang mengikat atas negara-negara dengan mengabaikan apakah negara itu sudah meratifikasi atau belum traktat yang relevan.
[6] UUD Indonesia dan amendemen keempatnya, Undang-undang Hak Asasi Manusia (UU No39/1999), Undang-undang tentang Pengadilan Ham (UU No 26/2000) dan KUHP.
[7] Transparency International, “Measuring Corruption in Indonesia:  Indonesia Corruption Perception Index 2008 and Bribery Index”. Laporan ini mengatakan bahwa “Indeks penyuapan menunjukkan bahwa polisi masih dianggap yang paling rentan terhadap suap” h24. Tautan web: http://www.ti.or.id/en/publication/all/tahun/2009/bulan/01/tanggal/21/id/3845/, diakses 23 Maret 2009. Indeks penyuapan berdasarkan pada persepsi terhadap polisi yang dimiliki mereka yang diwawancara . Survei ini dilakukan di 50 kota di Indonesia antara September dan Nopember 2008 dengan mewawancarai 3841 orang..
[8] The Jakarta Post, “The National Police: Between Idealism and Reality”, 1 Juli 2008. Dalam jajak pendapat yang diselenggarakan surat kabar harian besar Kompas , 50.6% peserta menyatakan citra polisi masih buruk. Lebih dari 75% beranggapan bahwa polisi tidak menangani dengan benar kasus-kasus korupsi dan HAM. Bacalah juga survei Institut ProPatria, “Evaluasi Publik atas Keamanan Nasional”, dalam “Nasional Security Framework – Police Reform: Taking the Heart and Mind”, T Hari Prihatono dan Jessica Evangeline, Januari 2008, h250. Dalam survei internasional yang dilangsungkan bulan Mei 2007, 49,8% dari mereka yang diwawancarai menyimpulkan bahwa pekerjaan polisi tidak memuaskan.
[9] ‘Perpolisian berbasis HAM’dan perpolisian yang ‘profesional’ merupakan konsep yang bisa saling ditukarkan. Untuk tujuan laporan ini, Amnesty International dengan sengaja menggunakan kata-kata ‘perpolisian berbasis HAM’ untuk menunjukkan sampai sejauh mana hukum dan standar HAM  nternasional merupakan kunci untuk melakukan reformasi kepolisian yang efektif dan mengembangkan profesionalisme polisi di Indonesia.
[10] Diskusi “MENYOAL KINERJA POLRI” oleh Ronny LIHAWA, 7 Agustus 2007. Diakses pada tanggal 29 Maret 2012 dari: http://ebookbrowse.com/akuntabilitas-politik-dan-profesional-polri-ronny-lihawa-pdf-d57549900
[11] Akuntabilitas Polri dibidang Penyidikan Tindak Pidana diakses  pada tanggal 15 Maret 2012 dari http://www.jalurberita.com/2011/12/akuntabilitas-polri-dibidang-penyidikan.html
[12]  Newsletter | Edisi VI/November/2010 | 1

No comments:

Post a Comment