PENDAHULUAN
‘Polisi itu melihat orang. Kalau
kita mengerti hukum itu, kita tidak dipukuli. Kalau yang tidak mengerti,
diperas habis, dipukuli”.(Ali, 24, ditangkap karena memiliki marijuana pada
bulan Januari 2008)[1]
Sejak jatuhnya rezim otoriter Presiden Suharto pada tahun 1998,
Indonesia telah memulai serangkaian reformasi strategis penting, yang telah
ikut menyumbang pada peningkatan norma hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM) yang lebih baik. Langkah-langkah ini mencerminkan meningkatnya komitmen
terhadap perlindungan dan pemajuan HAM yang lebih baik pada tingkat nasional
dan internasional. Namun masih ada celah besar antara kebijakan dan praktik.
Undang-undang dan penerapannya masih belum bisa melindungi hak-hak rakyat
Indonesia. Dalam hal ini, Amnesty International masih terus menerima banyak
laporan pelanggaran HAM yang terjadi di negara itu, termasuk yang dilakukan
personel kepolisian.
Pengalaman Ali adalah ciri khas yang terjadi pada banyak tertuduh
pidana di tangan polisi. Meskipun adanya proses reformasi dewasa ini dan upaya
untuk membuat Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) lebih profesional
dan menghormati HAM, Amnesty
International mengamati adanya pola pelanggaran polisi terhadap kelompok
tertentu dalam masyarakat. Para tersangka kriminal yang hidup dalam komunitas yang
miskin dan tersisihkan, terutama kaum perempuan dan pelaku pelanggaran berulang
kali, menderita pelanggaran HAM secara tak proporsional termasuk penggunaan
kekuatan berlebihan yang dalam sejumlah
kasus menyebabkan terjadinya penembakan mematikan; penyiksaan, dan perlakuan
buruk lainnya pada saat penangkapan, interogasi, dan penahanan; serta akses tak
memadai terhadap perawatan medis pada saat berada dalam tahanan polisi.
Amnesty International mengakui banyaknya tantangan yang dihadapi
polisi dalam pekerjaan mereka[2]
sehari-hari. Namun, sebagaimana ditetapkan dalam hukum dan standar HAM
internasional, polisi memiliki hak-hak, tetapi juga ada batasan terhadap
kekuasaan polisi.[3]
Polisi di Indonesia memiliki kewajiban menghormati ketetapan yang tercantum dalam
traktattraktat HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia[4]
serta standar HAM lain yang telah diakui secara internasional yang membentuk
customary international law (kebiasaan internasional yang terbukti dalam
praktik umum dan diterima sebagai hukum).[5]
Personel kepolisian juga memiliki tugas untuk menghormati ketetapan HAM dalam
perundangundangan nasional.[6]
Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia telah membuat kemajuan
penting dengan menjadi badan yang efektif dan independen sejak memisahkan diri
dari Angkatan Bersenjata satu dasawarsa lalu, di bawah kepemimpinan Presiden
Bacharuddin Jusuf Habibie. Pemerintah-pemerintah berikutnya telah memberlakukan
sejumlah reformasi legislatif dan struktural penting guna memperkuat
efektivitas polisi dalam mencegah dan mendeteksi kejahatan; menjaga ketertiban
umum; dan mempromosikan norma hukum. Lebih dari itu, sejumlah bagian dalam
lembaga kepolisian telah mendapatkan pelatihan hukum serta standar HAM
internasional. Prakarsa perpolisian masyarakat juga telah dilaksanakan guna
mengembangkan profesionalisme polisi dan akuntabilitas kepada masyarakat.
Walaupun adanya hal-hal positif tersebut, polisi di Indonesia
dewasa ini masih dipandang sebagai lembaga yang sangat korup[7]
dan tak dipercayai.[8]
Meskipun petugas kepolisian bertugas mempromosikan norma hukum, dalam
kenyataannya mereka sering kali berperilaku seolah-olah mereka berada di atas
hukum. Situasi ini ditunjang oleh tidak adanya mekanisme akuntabilitas yang
efektif, baik secara internal maupun eksternal.
Amnesty International percaya bahwa pendekatan berbasis HAM dalam
perpolisian bisa sangat meningkatkan profesionalisme polisi (lihatlah kolom
mengenai perpolisian berbasis HAM, h15).[9]
Perpolisian dan HAM sangat erat terkait karena peran polisi adalah untuk
melindungi HAM.14 Dalam pendekatan semacam itu, HAM tidak bertentangan dengan
perpolisian yang efektif, tapi malah mendukungnya. Sehubungan hal ini, Kode dan
Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai perpolisian telah
mengembangkan tiga prinsip dasar: 1) polisi perlu memastikan bahwa mereka
menjalankan pekerjaan mereka secara responsif terhadap masyarakat yang mereka
layani; 2) bahwa mereka merupakan perwakilan penduduk; 3) bahwa mereka
bertanggung gugat atau berakuntabilitas dalam struktur mereka, dan secara
eksternal sesuai dengan hukum serta standar HAM internasional.
AKUNTABILITAS OPERASIONAL POLRI
Akuntabilitas operasional Polri adalah akuntabilitas atas
pelaksanaan tugas operasional kepolisian dilapangan secara langsung.
Akuntabilitas Operasional Kepolisian dilakukan secara berjenjang secara
internal organisasi Polri mulai dari anggota terdepan, pimpinan unit/tim,
Kapolsek, Kapolres, Kapolda, dan seterusnya hingga Kapolri. Disamping itu
terdapat akuntabilitas Polri yang diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan.
Sistim Peradilan Pidana, KUHAP, dan berbagai peraturan lainnya
mengatur akuntabilitas operasional Polri kepada Sistim Peradilan Pidana,
Kejaksaan, dan Pengadilan. Pada tingkat Polda dan Polres, DPRD setempat maupun
Kepala Daerah setempat dapat meminta Kapolda dan Kapolres setempat untuk
menjelaskan berbagai hal dibidang pemolisian. Untuk lebih memperkuat
akuntabilitas Polri di daerah Pemda perlu memberi kontribusi dukungan
operasional kepolisian terutama terhadap berbagai prioritas daerah setempat.[10]
AKUNTABILITAS POLRI DIBIDANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
Akuntabilitas (accountability) adalah ukuran yang menunjukkan
apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah
sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah
pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang
sesungguhnya dengan demikian akuntabilitas terkait dengan falsafah bahwa
lembaga eksekutif pemerintah yang tugas utamanya adalah melayani rakyat harus
bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung kepada rakyat. Starling (1998:164) mengatakan bahwa akuntabilitas
ialah kesediaan untuk menjawab pertanyaan publik.
“A good synonym for the term accountability is answerability. An
organization must be answerable to someone or something outside itself. When
things go wrong, someone must be held responsible. Unfortunately a frequently
heard charge is that government is faceless and that, consequently, affixing
blame is difficult.”
Kesulitan untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah terhadap
kualitas pelayanan publik terutama disebabkan karena sosok pemerintah itu
sendiri tidak tunggal. Untuk itu proses akuntabilitas bagi lembaga pemerintah
atau birokrasi publik yang memadai merupakan prasyarat penting bagi peningkatan
kualitas pelayanan publik.
Ferlie (1997:202-216) membedakan beberapa model akuntabilitas
yakni: akuntabilitas ke atas (accountability upwards), akuntabilitas
kepada staf (accountability to staff), akuntabilitas ke bawah (accountability
downwards), akuntabilitas yang berbasis pasar (market-based forms of
accountability) dan akuntabilitas kepada diri sendiri (self
accountability). Wahyudi Kumorotomo (2005:4).Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai bagian dari pelaksana fungsi pemerintahan negara juga tidak
luput dari tuntutan akuntabilitas atas pelaksanaan tugas-tugasnya.
Akuntabilitas Polisi menurut Loughlin (1988) merupakan ukuran bagaimana
berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas Polisi tersebut dilakukan secara
terbuka sehingga dapat diteliti dengan cermat oleh publik. Dari pendapat itu
jelas bahwa akuntabilitas Polri dapat dipakai untuk menilai profesionalisme
polisi dalam melakukan tugas-tugasnya dan dapat diukur secara terbuka oleh
masyarakat. Akuntabilitas bukan hanya dilaksanakan secara internal dalam tubuh
Polri tetapi yang lebih penting adalah dilakukan secara eksternal kepada
publik.
Pada hakekatnya tugas pokok Polri tersebut mengandung makna bahwa
Polri adalah pelayan masyarakat. Pelaksanaan tugas dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat turut mempengaruhi citra atau image Polri di mata masyarakat.
Diantara tugas pokok Polri yang banyak mendapat perhatian publik/ masyarakat
adalah tugas penegakan hukum di bidang penyidikan tindak pidana. Dalam rangka
penegakan hukum Polri melakukan tugas-tugas penyidikan tindak pidana yang
diemban oleh penyidik/penyidik pembantu oleh fungsi reserse kriminal maupun fungsi operasional Polri lain
untuk melakukan penyidikan dan dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan secara
profesional dan proporsional. Undang Undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penyidikan
tindak pidana sekaligus menegaskan eksistensi Polri sebagai penyidik utama.
Pelaksanaan penyidikan itu menuntut adanya akuntabilitas publik, hal ini
berkaitan dengan penggunaan dana publik dalam proses penyidikan sesuai Inpres
No 7 tahun 1999.
Tuntutan akuntabilitas dalam proses penyidikan juga dipertegas oleh
penjelasan pasal 1 angka 7 Undang-undang RI No.28 tahun 1999 dimana penyidik
dikategorikan sebagai pejabat lain yang memiliki fungsi strategis, yang
dimaksud disini adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan
penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek-praktek korupsi, kolusi dan
Nepotisme. Polri dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum sebenarnya telah
mengimplementasikan akuntabilitas di bidang penyidikan tindak pidana namun
masih perlu adanya peningkatan seiring dengan perkembangan situasi yang dinamis
ditandai dengan meningkatnya tuntutan masyarakat atas akuntabilitas pelayanan
publik para aparatur penyelenggara negara. Implementasi akuntabilitas yang
telah dilakukan Polri antara lain; Menindaklanjuti kasus-kasus Pidana yang
dilaporkan masyarakat dan terpenuhi unsur-unsur pidananya ke Kejaksaan,
menyampaikan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) kepada
korban atau pelapor, memberikan keterangan pers terhadap kasus-kasus yang
ditangani melalui media massa secara terbuka kepada masyarakat umum, menyajikan
laporan kemajuan penanganan kasus ke kesatuan atas. Namun akuntabilitas publik
tersebut dilakukan penyidik belum didasari sikap bahwa hal tersebut merupakan
tanggung jawab atau sebagai wujud kewajiban. Padahal akuntabilitas penyidikan
dapat menjadi sarana yang efektif untuk menilai kinerja penyidik sehingga
mengetahui kelemahan dan kekurangan penyidik serta sekaligus membuka peluang
bagi publik untuk memberikan kontrol sosial berupa koreksi guna perbaikan
kinerja Polri di bidang penyidikan tindak pidana.
Semenjak berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tahapan proses peradilan pidana
terbagi secara nyata, yaitu penyelidikan dan penyidikan dimana sebagai “centre
figure” adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penuntutan menjadi
wewenang Kejaksaan dan Pemeriksaan di depan sidang menjadi wewenang Hakim.
Proses penyidikan diawali dari penyelidikan, penindakan, pemberkasan dan
penyerahan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum. Dalam rangka
proses peradilan pidana Polri mempunyai sejumlah kewenangan antara lain
melakukan: penangkapan, penahanan,penggeledahan dan penyitaan dan lain
sebagainya (Lihat Pasal 16 Ayat 1 huruf a s/d l UU No 2 Tahun 2002 ). Seluruh
rangkaian kegiatan penyidikan tersebut rentan terhadap Korupsi,Kolusi dan
Nepotisme serta setiap wewenang tersebut diatas bila dilaksanakan secara tidak
benar dan adil, serta wajar (reasonable) dapat mengakibatkan pelanggaran Hak
Asasi Manusia karena petugas Kepolisian diberi kewenangan oleh undang-undang
untuk mengekang sementara kemerdekaan seseorang. Untuk menjamin pelaksanaan tugas
penyidikan agar tidak menyimpang dan sesuai dengan rule of law maka penyidik
dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan segala tindakan yang dilakukannya
atau dengan kata lain untuk dapat memberikan akuntabilitas publik.
Pelaksanaan memberikan akuntabilitas publik merupakan kewajiban
penyidik Polri sebagai wujud pertanggungjawaban penyidik Undang Undang yang
telah memberikan kewenangan kepadanya. Undang-undang dibuat oleh DPR yang
notabene adalah perwakilan rakyat, jadi pertanggungjawaban penyidik kepada Undang
Undang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban penyidik kepada rakyat.
Akuntabilitas penyidikan Polri juga dapat ditinjau dari perspektif
pertanggungjawaban keuangan publik sebagaimana dimaksud Inpres No 7 tahun
1999.Sementara itu penyidik sebagai salah satu pejabat penyelenggara negara
harus berpedoman pada asas akuntabilitas yang bertujuan pada sikap dan perilaku
penyidik yang bebas KKN.[11]
Dukungan berupa komitmen politik yang diberikan oleh Presiden SBY
kepada kepolisian untuk mengungkap kasus pajak, dengan menempatkan kepolisian
berada di garis depan, kelihatannya berhasil menghentikan tarik-menarik
penanganan kasus korupsi yang melibatkan Gayus P Tambunan, tapi hanya untuk
sejenak. Lantaran dukungan yang diberikan Istana, tidak digunakan secara baik
oleh kepolisian untuk mengungkap tidak hanya mereka yang selama ini telah
diseret ke meja hijau, tapi juga para penyuap. Desakan berbagai kalangan
masyarakat agar kasus tersebut diambil alih oleh KPK, belakangan malah menguat.
Harapan bahwa dengan dukungan politik yang besar, dan penyelesaian
kasus kakap, bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Polri, kembali
pupus. Muatan politis pada kasus pajak ini, ketidakseriusan penanganannya, dan
polisi yang masih terpolitisasi dianggap sebagai penyebab kebuntuan bagi aparat
penegak hukum untuk menyentuh semua pihak yang terlibat dalam kasus ini.
Dalam konteks reformasi Polri, kelemahan seperti ini menggambarkan
harapan tentang hadirnya polisi yang professional dan akuntabel, masih jauh
dari harapan publik. Masyarakat sipil bahkan mengungkapkan bahwa reformasi
Polri kini mengalami stagnasi. Kredibilitas institusi ini tak henti-hentinya
dipertanyakan oleh publik. Daripada menampilkan diri sebagai lembaga yang
transparan, kepolisian menurut politisi Senayan adalah institusi publik yang
dipenuhi ketertutupan, hingga menghambat pembersihan kepolisian dari
penyelewengan. Hal ini selanjutnya mendorong meluasnya tuntutan agar polisi
tidak menangani kasus korupsi. Sejumlah upaya yang sudah ditempuh, misalnya
penerapan sanksi yang diberikan kepada anggota Polri yang menyalahgunakan
kewenangan pun belum bisa mengubah persepsi masyarakat terhadap bobroknya penegakan
hukum. Belum lagi polisi masih menggunakan pendekatan kekerasan dalam menangani
berbagai masalah keamanan di masyarakat, makin mendiskreditkan posisi Polri di
mata masyarakat. Bahkan dampak dari ketidakseriusan penanganan kasus-kasus di
kepolisian kini meluas, telah mengganggu kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
Untuk membenahi kepolisian, peneliti IDSPS, Sri Yunanto mengatakan
bisa menempuhnya dengan dua pendekatan. Sayangnya, karena pendekatan pertama
yaitu pendekatan parsial; melakukan perubahan manajemen, prosedur dan
ketentuan, yang digantungkan kepada efektivitas kepemimpinan di Polri, yang
dinilai tidak terlalu berhasil. Untuk
itu Polri seharusnya punya kemauan untuk melakukannya dengan pendekatan yang radikal;
merombak struktur organisasi, mengubah sistem kepolisian yang saat ini langsung
dibawah presiden, ke dalam organisasi kepolisian yang berada di salah satu
departemen dan melakukan desentralisasi fungsi kepolisian[12]
Walau tampaknya beberapa tahun terakhir, tampak Polri juga berupaya
untuk membuka ruang transparansi, komunikasi dan kerjasama dengan masyarakat
sipil yang selama ini melakukan pengawasan terhadap kinerja Polri untuk
mendorong pembenahan reformasi Polri. Hal ini tampak pada kegiatan yang dilakukan
dalam merespon cita-cita pemolisian yang ideal, yaitu “Seminar Good Policing
serta Lokakarya Penanganan Hate Speech dan Deradikalisasi”.
Kegiatan ini di satu sisi bisa dimaknai bahwa Polri berkomitmen untuk
mewujudkan cita-cita reformasi Polri sesuai dengan standar universal
akan pemolisian ideal. Di sisi lain kegiatan itu juga bisa dimaknai bahwa
segala kinerja dan perilaku Polri baik di tingkatan personel individual maupun
institusional akan dievaluasi lewat standar pemolisian ideal tersebut. Artinya tuntutan
terhadap kinerja dan perilaku Polri yang ideal akan semakin besar. Selain itu,
hal ini merupakan bentuk sensitivitas Polri dalam mendengarkan keluhan dari
kelompok masyarakat sipil yang mempertanyakan kinerja Polri dalam menghadapi
kekerasan yang berbasis pada suatu kebencian terhadap kelompok minoritas agama
atau kepercayaan. Namun demikian, komitmen para petinggi Polri ini akan sia-sia
bila kegiatan tersebut hanya berhenti hanya sebagai forum diskusi dan tidak
direalisasikan sebagai strategi mendisiplinkan dan memperkuat kapasitas
personel Polri yang akan menghadapi tantangan serupa ke depan, khususnya
tindakan penegakan hukum kepada kelompok kekerasan (vigilante). Selain
itu ‘engagement’ Polri dengan masyarakat sipil harus diperluas hingga ke
daerah-daerah pada semua level kepolisian sesuai dengan semangat doktrin
‘pemolisian masyarakat’ dan strategi partnership building.
PENUTUP DAN REKOMENDASI
Akuntabilitas Polri merupakan sebuah keharusan yang harus dimiliki
Polri sehingga Polri dapat melaksanakan tugas yang diemban tanpa ada intervensi
dari pihak manapu. Adanya suatu instansi yang membawahi kinerja polri hanyalah
sebagai pengawas sehingga polri tidak melenceng dari tugas yang telah
diamanatkan seperti adanya kompolnas. Adanya Kompolnas dan adanya warga
independen sebagai anggota Kompolnas merupakan hal yang positif, namun masih
perlu dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan dalam tugas dan werwenang
Kompolnas. Kehadiran Kompolnas diharapkan akan dapat menagwasi dan meningkatkan
legitimasi dan kepercayaan masyarakat kepada Polri.
Reformasi yang utuh dalam tubuh Polri tentu membutuhkan waktu yang
panjang dan komitmen yang kuat dari Kapolri dan institusi Polri sendiri. Hal
ini tentu juga harus didukung lewat komitmen politik Presiden, Pemerintah dan DPR
untuk tidak mempolitisir insitusi ini untuk kepentingan praktis semata. Polri
harus berani menolak intervensi dari berbagai pihak dan menunjukkan bahwa upaya
pelayanan dan perlindungan bagi masyarakat adalah hal yang utama. Hari
Bhayangkara ini menjadi titik pijak bagi momentum pemajuan agenda akuntabilitas
Polri yang lebih komprehensif dengan mendorong Kapolri agar :
Membuat terobosan kreatif (crative breakthrough) dengan
membuat kebijakan tertulis yang aplikatif untuk tidak melakukan kekerasan atau
penyiksaan kepada para tersangka di kantor polisi (seperti poster, banner,
spanduk dll). Berbagai kasus kekerasan dan penyiksaan sering terjadi karena
ketidakmampuan penyelidik atau penyidik akan teknik investigasi yang memadai
sehingga mereka mencari jalan pintas dalam mengumpulkan bukti dan kesaksian
lewat praktik penyiksaan. Polri harus meningkatkan kapasitas personelnya dalam
kegiatan penyelidikan dan penyidikan serta tidak memaksimalkan pemberian
penghukuman efektif dan efek jera kepada pelaku kekerasan.
Memperkuat mekanisme akuntabilitas internal dengan membuat
mekanisme pengawasan berkala dan berlapis hingga ke tingkat Polda, Polres dan
Polsek. Polri juga harus menempatkan personel yang memiliki integritas sebagai
penjaga nilai dan pengawas kinerja anggota Polri dan membuka sidang etik,
disiplin dan pidana secara cepat dan terbuka. Itwasum dan Propam harus
ditempatkan sebagai mekanisme kontrol yang independen di bawah Kapolri dan
bekerja secara mandiri, termasuk bebas dari hak prerogatif Kapolri yang rawan
intervensi.
Menyediakan ruang effective remedy sebagai sebuah mekanisme
pertanggungjawaban pemulihan hak-hak para korban jika terjadi kesalahan
tindakan anggota Polri yang mengakibatkan pelanggaran HAM. Jaminan ini sejalan
dengan semangat Perkap HAM No 8/2009. Jaminan ini harus diterapkan secara
merata tanpa politik diskriminasi, khususnya pada minoritas. Ketertundukan
Polri terhadap mekanisme criminal justice system, termasuk RUU KUHP
menjadi ukuran atas komitmen penguatan effective remedy.
Melakukan penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok yang melakukan
kekerasan dan mengambil tindakan tegas terhadap tindakan-tindakan penyebaran
kebencian (hate speech) yang menjadi bibit dari radikalisme. Jika perlu,
Polri harus melakukan pendidikan HAM yang intensif sampai kepada anggota dalam
lini terbawah, termasuk mengintegrasikan nilai-nilai HAM, penghormatan kepada
kelompok, agama dan ras yang berbeda dalam kerja keseharian anggota Polri.
Mengefektifkan dan membuka diri terhadap ruang kontrol pengawasan
eksternal yang efektif, dengan mengefektifkan kerjasama dengan Kompolnas,
Komnas HAM dan Ombudsman. Keterbukaan dan dukungan ini harus juga menjadi
komitmen bagi Polda, Polres dan Polsek di mana pelanggaran HAM lebih banyak
terjadi.
Membuka diri terhadap kontrol institusi demokratik yang merupakan
representasi kepentingan publik, dan membuka partisipasi masyarakat luas.
Pengawasan masyarakat sipil (civil society oversight) – termasuk
media – dapat menjadi mitra strategis sebagai institusi pengawas dan kontrol
dalam mendorong pengambilan keputusan dan kebijakan melalui sistem yang juga
memenuhi prasyarat proses yang transparan dan akuntabel.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
“Memahami
Perpolisian – Buku pegangan bagi para pegiat hak asasi manusia” Anneke Osse, Amnesty International Belanda, 2006,
2.
“Apakah
perpolisian berbasis HAM itu?”, h.15 dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM
(UDHR).
3.
UUD
Indonesia dan amendemen keempatnya, Undang-undang Hak Asasi Manusia (UU
No39/1999),
4.
Undang-undang
tentang Pengadilan Ham (UU No 26/2000) dan KUHP.
5.
http://www.ti.or.id/en/publication/all/tahun/2009/bulan/01/tanggal/21/id/3845/,
diakses 23 Maret 2009.
6.
The
Jakarta Post, “The National Police: Between Idealism and Reality”, 1 Juli 2008.
7.
Diskusi
“MENYOAL KINERJA POLRI” oleh Ronny LIHAWA, 7 Agustus 2007. Diakses pada tanggal
29 Maret 2012 dari:
http://ebookbrowse.com/akuntabilitas-politik-dan-profesional-polri-ronny-lihawa-pdf-d57549900
8.
Akuntabilitas
Polri dibidang Penyidikan Tindak Pidana diakses
pada tanggal 15 Maret 2012 dari
http://www.jalurberita.com/2011/12/akuntabilitas-polri-dibidang-penyidikan.html
9.
Newsletter
| Edisi VI/November/2010
[1] Bukan nama sebenarnya.
[2] “Memahami Perpolisian – Buku pegangan bagi para pegiat hak
asasi manusia” Anneke Osse, Amnesty International Belanda, 2006,
[3] “Apakah
perpolisian berbasis HAM itu?”, h.15 dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM
(UDHR).
[4] Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR),
Konvensi PBB Menentang Penganiayaan dan Perlakuan Kejam Lain, Tidak Manusiawi
atau Hukuman yang Merendahkan (UNCAT), Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD), Konvensi tentang
Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) dan Konvensi
tentang Hak-hak Anak (CRC).
[5] Peraturan internasional yang berasal dari praktik-praktik yang
dilakukan negara-negara secara konsisten menjadi peraturan yang mengikat atas
negara-negara dengan mengabaikan apakah negara itu sudah meratifikasi atau belum
traktat yang relevan.
[6] UUD Indonesia dan amendemen keempatnya, Undang-undang Hak Asasi
Manusia (UU No39/1999), Undang-undang tentang Pengadilan Ham (UU No 26/2000)
dan KUHP.
[7] Transparency
International, “Measuring Corruption in Indonesia: Indonesia Corruption Perception Index 2008
and Bribery Index”. Laporan ini mengatakan bahwa “Indeks penyuapan menunjukkan
bahwa polisi masih dianggap yang paling rentan terhadap suap” h24. Tautan web:
http://www.ti.or.id/en/publication/all/tahun/2009/bulan/01/tanggal/21/id/3845/,
diakses 23 Maret 2009. Indeks penyuapan berdasarkan pada persepsi terhadap
polisi yang dimiliki mereka yang diwawancara . Survei ini dilakukan di 50 kota
di Indonesia antara September dan Nopember 2008 dengan mewawancarai 3841
orang..
[8] The Jakarta
Post, “The National Police: Between Idealism and Reality”, 1 Juli 2008.
Dalam jajak pendapat yang diselenggarakan surat kabar harian besar Kompas ,
50.6% peserta menyatakan citra polisi masih buruk. Lebih dari 75% beranggapan
bahwa polisi tidak menangani dengan benar kasus-kasus korupsi dan HAM. Bacalah
juga survei Institut ProPatria, “Evaluasi Publik atas Keamanan Nasional”, dalam
“Nasional Security Framework – Police Reform: Taking the Heart and Mind”, T
Hari Prihatono dan Jessica Evangeline, Januari 2008, h250. Dalam survei
internasional yang dilangsungkan bulan Mei 2007, 49,8% dari mereka yang
diwawancarai menyimpulkan bahwa pekerjaan polisi tidak memuaskan.
[9] ‘Perpolisian
berbasis HAM’dan perpolisian yang ‘profesional’ merupakan konsep yang bisa
saling ditukarkan. Untuk tujuan laporan ini, Amnesty International dengan
sengaja menggunakan kata-kata ‘perpolisian berbasis HAM’ untuk menunjukkan
sampai sejauh mana hukum dan standar HAM
nternasional merupakan kunci untuk melakukan reformasi kepolisian yang
efektif dan mengembangkan profesionalisme polisi di Indonesia.
[10] Diskusi
“MENYOAL KINERJA POLRI” oleh Ronny LIHAWA, 7 Agustus 2007. Diakses pada tanggal
29 Maret 2012 dari:
http://ebookbrowse.com/akuntabilitas-politik-dan-profesional-polri-ronny-lihawa-pdf-d57549900
[11] Akuntabilitas
Polri dibidang Penyidikan Tindak Pidana diakses pada tanggal 15 Maret 2012 dari
http://www.jalurberita.com/2011/12/akuntabilitas-polri-dibidang-penyidikan.html
[12] Newsletter | Edisi
VI/November/2010 | 1
No comments:
Post a Comment