Biografi Al-Farrabi
Nama asli beliau adalah Abu Nashr Ibnu Audagh bin
Thorhan Al-Farabi. Ia dilahirkan dikota Farrab
tahun 257 H (870 M). sejak kecil Al-Farabi adalah anak yang tekun dan rajin
dalam belajar . dalam berolah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan yang
luar biasa dan menguasai bahasa Iran,
Turkistan, dan Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan
Suryani, yaitu bahasa-bahasa ikmu pengetahuan pada masa itu.
Setelah besar Al-Farabi dalam memulai karirnya
pertama-tama beliau hijrah dari kota
kelahirannya kekota Baghdad
yang saat itu menjadi pusat ilmu pengetahuan. Dia belajar disana selama kurang
lebih dua puluh tahun. Ia menimba ilmu
pengetahuan kapada : Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta
Ibn Yunus untuk belajar ilmu manthiq (logika). Nampaknya pertama datang di Baghdad, hanya sedikit
bahasa Arab yang telah dikuasainya. Ia sendiri mengatakan bahwa ia belajar ilmu
nahwu
Dari situ Ia mencoba pergi ke Harran
yang saat itu menjadi salah satu pusat
kebudayaan Yunani di Asia kecil. Disana ia berguru kepada Yohana Ibn Hailan,
namun tak lama kemudian ia meninggalkan kota ini
dan kembali ke Baghdad.
Disini ia kembali memperdalam ilmu Filsafat,
Ia juga mampu mencapai ahli dalam
ilmu Manthiq (logika).[1]
Pemikiran Al-Farrabi
Al-Farabi mempunyai pengetahuan yang luas. Ia mendalami
berbagai macam ilmu yang ada pada masanya termasuk filsafat. Ia mendefinisikan
filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada
(Al-Ilmu Bil Maujudaat Baina Hia
Al-Maujudat). Filsafatnya yang terkenal adalah filsafat emanasi. Dalam filsafat emanasi ini ia
menerangkan bahwa segala yang ada memancar dari zat Tuhan melalui akal-akal
yang berjumlah sepuluh.[2]
Alam materi dikontrol oleh akal yang sepuluh itu. Ia juga membahas soal jiwa
dan akal manusia. Akal menurutnya mempunyai tiga tingkat yaitu : Al-Hayulani (materi) Bi Al-Fiil (aktuil) dan Al-Mustafad (adeptus, aquired). Akal
pada tingkat terakhir ini lah yang dapat menerima pancaran yang dikirimkan
Tuhan melalui akal-akal tersebut.[3]
Al-Farabi berpendapat bahwa segala sesuatu keluar dari
Tuhan. Karena Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar
susunan wujud yang sebaik-baiknya, jadi ilmunya menjadi sebab bagi wujud semua
yang diketahui-Nya. Bagi Tuhan cukup dengan mengetahui zat-Nya yang menjadi
sebab adanya alam maka akan tercipta alam. dengan demikian, maka keluarnya alam
(Mahkluk )dari Tuhan terjadi tanpa
gerak atau alat, karena emanasi adalah pekerjaan akal semata-mata. Akan tetapi
wujud alam tidak memberi kesempurnaan bagi Tuhan, karena wujud-Nya bukanlah
karena lainnya. Dan emanasi itu timbul karena pengetahuan (‘Ilmu) terhadap zat-Nya yang satu. Dan Tuhan itu Esa sama sekali.
Al-Farabi banyak mengeluarkan pemikirannya dalam bidang filsafat. Misalnya Filsafatnya
mengenai politk kenegaraaan yang menyatakan bahwa masyarakat terdiri dari tiga
macam tingaktan yaitu : Dunia seluruhnya, sebagian dunia atau suatu territorial
dan masayarakat kecil yang terdiri satu kota.
Dan masyrakat itu sendiri Ia bagi menjadi dua macam yaitu masyarakat sempurna
dan tidak semprna. Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung
keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Sedangkan masyarakat tidak sempurna
adalah masyarakat yang tidak lengkap unsur-unsurnya. Perkembangan dari tidak
sempurna menjadi sempurna menurut Al-Farrabi bertingkat-tingkat. Mula-mula
masyarakat manusia berupa masyarakat yang tersebar, lalu menjadi masyarakat
desa dan kampong, kemudian menuju kemasyarakat kota yang sempurna berpemerintahan.Pokok
filsafat politik kenegaraan Al-Farrabi ialah
autokrasi dengan seorang raja
yang berkuasa mutlak mengatur Negara.[4]
Suatu keistimewaan yang diraih oleh Al-Farrabi adalah
usaha yang Ia lakukan dalam mengkompromikan perbedaan faham antara Plato dan
Aristoteles. Plato mengatakan bahwa alam nyata yang kita lihat ini adalah
tiruan semata dari alam idea, sedangkan Aristoteles mengatakan sebaliknya,
bahwa alam idea hanyalah bayangan (pantulan) saja dari alam materi. Kita
melihat beberapa benda (materi). Lalu dari pantulan penglihatan itu barulah
kita dapat menyimpulksn suatu rumusan pendapat (konsep) tentang benda itu.dan
konsepsi itulah menurut Aristoteles yang dinamakan idea. Kalau Plato mengatakan
bahwa alam dunia ini adalah baru (hadis)
dan tidak abadi, maka sebaliknya Aristoteles mengatakan bahwa alam dunia ini Qadim (azali) sudah ada sejak semula dan
abadi selama-lamnya. Untuk kedua hal tersebut Al-Farrabi mengatakan bahwa semua
filasfat itu memikirkan kebenaran . dan karena kebenaran itu hanyalah satu
macam dan serupa hakikatnya, maka semua filsafat itu pada prisipnya tidak
berbeda. Begitu juga antara filsafah dan agama. Filsafat memikirkan kebenaran,
sedangkan agama juga memikirkan kebenaran maka tidak ada perbedaan antara
filsafat dan agama. Dan kedua pertentangan diatas janganlah dianggap sebagai
pertentangan yang mutlak dan prinsipil, tetapi haruslah dianggap sebagai
pertentangan yang relative dan hanya soal rincian saja.
Demikian usaha yan gdilakukan Al-Farrabi unutk
mengkompromikan dua pendapat yan gmenurut anggapan banyak orang saling
bertentangan. Banyak karangan yang ditinggalkan oleh Al-Farrabi, tetapi
karangan-karangan tersebut tidak banya dikena seperti karanga–karangan Ibnu Sina. Boleh jadi karena karangankarangan
Al-FArrabi hanya berupa risalah (karangan
pendek), dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang mendalam
pembicaraannya. Kebanyakan karangannya telah hilang, dan yang masih tersisa
hanya sekitar 30 buah saja yang ditulis dalam bahasa Arab.[5]
Pada abad pertengahan, Al-Farrabi menjadi sangat
terkenal sehingga orang yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangannya.
Banyak pula yang disalin kedalam bahas Ibrani. Sampai sekarang salinan tersebut
masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa, disamping salinan-salina
dalam bahasa latin, baik yang langsung dari bahas Arab maupun dalam bahasa
Ibarani.
Sebagian besar karangan Al-Farrabi terdiri atas ulasan
dan penjelasan tehadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenus, dalam
bidang-bidang logika, fisika etika dan metafisika. Meskipun banyak tokoh
filsafat yang diulasnya, Ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles. Ibnu
Sina pernah mempelajari buku Metafisika karangan Aristoteles lebih dari 40
kali, tetapi belum juga mengerti maksudnya. Setelah Ia
membaca buku karangan Al-Farrabi yang berjudul Intisari Buku Metafisika, baru ia mengerti apa yang selama ini
dirasakannya sukar.[6]
Daftar Pustaka
·
Atjeh Abubakar, Sejarah
Filsafat Islam, Semarang, 1970
·
Umar Farukh, Tarikh
Al-Fikr Al-Arabi, Beirut, A962. Halaman 225
·
Filsafat Umum, Pustaka Setia, Bandung,
1997.
·
Mustofa A.H.Drs, Filsafat
Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997.
·
Ahmad Tafsir,Dr., Filsafat
Umum, Rosdakarya, Bandung, 1990.
·
Abu Hanifah, Rintisan
Filsafat, Jakarta , 1950.
·
Bakri Hasbullah,H., Sistematika
Filsafat, Solo, 1961.
·
Soemardi Soejabrata,
Pengantar Filsafat, Yogyakarta, 1970.
[1] Mustofa A.H.Drs, Filsafat
Islam, 1997.Pustaka Setia.
[2] Akal yang sepuluh terdiri atas intelegensi pertama dan sembilan
intelegensi planet dan lingkungan yang semuanya berputar menelilingi intelegnsi
yang pertama. Taip lingkungan mempunyai intelegensi dan ruh yang merupakan asal
gerak yang diatur oleh intelegensi kesepuluh. Akal pertam adalah bumi. Akal
kedua adalah langit pertama. Akal ketiga adalah langit kedua. Akal keempat
adalah planet saturnus. Akal kelima adalah panet yupiter. Akal keenam adalah
planet mars. Akal ketujuh adalah matahari. Akal kedelapan adalah plnet venus .
akal kesembilan adalah planet merkurius. Akal kesepuluh adalah bulan.
[3] Filsafat Umum,1997, pustaka setia.
[4] H.Syadali Ahmad, Drs dan Mudzakir,Drs., Filsafat Umum untuk IAIN, STAIN,
PTAIS.,Pustaka Setia, Bandung
[5] ibid
[6] ibid
No comments:
Post a Comment