Latar belakang
“Polisi itu yang
penting adalah tugas di lapangan, bukan teori-teori di sekolah. Fakta di
lapangan sangat berbeda dengan apa yang diajarkan di kelas. Polisi tugasnya
adalah menegakkan hukum, benar atau salah sudah ditentukan dan jelas aturannya.
Sekolah dan belajar itu secukupnya ..…… Keberhasilan polisi lebih ditentukan
hasil praktek di lapangan, bukan dari teori-teori “.
Pernyataan tersebut
masih sering kita dengar, dan diperdebatkan oleh para petugas kepolisian, yang
membuat kita bertanya-tanya : Apa peran dan fungsi polisi dalam masyarakat?
Tugas Polisi merupakan Profesi atau craft? Jika tugas polisi merupakan
profesi berarti polisi harus profesional dan para petugasnya memerlukan
keahlian atau ketrampilan tertentu. Bagaimana kalau polisi tidak profesional
dalam melaksanakan tugasnya? Apa dampaknya?
Dari pertanyaan
tersebut juga dapat dipertanyakan mengapa polisi harus profesional? Dan
bagaimana menjadikan polisi profesional? Masih banyak pertanyaan yang dapat
dikembangkan untuk mempertanyakan keberadaan, dan fungsi polisi baik sebagai
institusi, maupun sebagai petugas dalam melaksanakan pemolisiannya dalam
masyarakat.
Dalam masyarakat yang
modern untuk dapat bertahan hidup, tumbuh berkembang dituntut adanya
produktivitas. Bagi yang tidak dapat melakukan produktivitas akan menjadi beban
atau benalu bagi orang lain. Dan dalam proses produktivitas tersebut ada
berbagai masalah sosial yang dapat mengganggu, menghambat bahkan mematikan
produktivitas tersebut. Untuk melindungi warga masyarakat dalam melaksanakan
produktivitasnya diperlukan hukum, norma, aturan-aturan untuk mengatur tata
kehidupan dalam masyarakat tersebut. Untuk menegakkannya
dan mengajak warga masyarakat mentaatinya diperlukan institusi yang bertugas
untuk menangani, salah satunya adalah polisi (lihat Friedman:1992, Bayley
:1994, Suparlan: 1999, Rahardjo: 2002). Menurut Profesor Parsudi Suparlan
(2004: 34):
“Dalam
sebuah masyarakat yang otoriter maka fungsi polisi adalah melayani atasan atau
penguasa untuk menjaga kemantapan kekuasaan otoriter pemerintah yang berkuasa.
Sedangkan dalam masyarakat madani yang demokratis yang modern dan bercorak
majemuk, seperti Indonesia masa kini yang sedang mengalami reformasi menuju
masyarakat madani yang demokratis, maka fungsi polisi adalah juga harus sesuai
dengan corak masyarakat dan kebudayaan Indonesia tersebut. Jika tidak maka
polisi tidak hanya tidak akan berfungsi sebagaimana seharusnya tetapi bahkan
tidak akan memperoleh tempat dalam masyarakat Indonesia sebagai pranata yang
otonom yang dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat Indonesia”.
Untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat adalah suatu masalah yang kompleks dan saling terkait dan saling
mendukung dalam suatu sistem (holistik dan sistemik). Salah satu faktor penting
bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya adalah adanya rasa aman
dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitasnya. Masalah keamanan inilah yang
menjadi tugas dan tanggung jawab utama Polisi atau petugas kepolisian dalam
struktur kehidupan masyarakat, yang berfungsi sebagai pengayom masyarakat,
penegak hukum. Yaitu untuk melindungi harkat dan martabat manusia, memelihara
ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan
terhadap pelaku kejahatan maupun dalam bentuk upaya pencegahan kejahatan dengan
tujuan warga masyarakat dapat hidup dan bekerja maupun melaksanakan
aktivitasnya dalam keadaan aman dan tentram (Bachtiar 1994; 1, lihat Suparlan :
2000).
Konsep
Profesional Dan Kepolisian
Profesionalisme Orang sering menyebut, baik dalam
tulisan maupun pidato tentang profesionalisme Polri tanpa memahami hakiki makna
dan aplikasinya dilapangan. Sehingga pengertian dasarnya kabur karena membentuk
bentangan spektrum yang luas mulai dari pengertian yang ekstrim sulit sampai
dengan yang sederhana saja. Untuk itu, kami akan mengemukakan beberapa pendapat
mengenai pengertian profesional agar dapat membantu dalam memahami makna serta
penggunaan yang tepat dilapangan. Kata profesionalisme mempunyai ciri dan
kriteria sebagai berikut: 1) Keterampilan yang didasarkan atas pengetahuan
teoritis, 2) Memperoleh pendidikan tinggi dan latihan kemampuannya diakui oleh
rekan sejawatnya, 3) Adanya “ Organisasi Profesi “ yang menjamin berlangsungnya
budaya profesi melalui persyaratan untuk memasuki organisasi tersebut, yaitu : ketaatan
pada “ kode etik profesi”, 4) Adanya nilai khusus, harus diabadikan pada
kemanusian.
Kata “polisi” dalam bahasa indonesia merupakan kata
pinjaman dan jelas berasal dari kata belanda “politie”. Adapun kata Belanda
“politie” didasarkan atas serangkain kata Yunani Kuno dan Latin yang berasal
dari kata Yunani-Kuno “polis”.Kata tersebut berarti “kota” atau “negara kota”.
Atas dasar perkembangan itu maka kata “polis”, mendapat pengertian “negara” dan
dalam bentuk-bentuk perkembangannya masuk unsur “pemerintah” dan lain
sebagainya. Kata Yunani kuno tersebut masuk kedalam bahasa Lain sebagai
“poliyia” dan kata itulah yang diduga menjadi kata dasar kata “police”
(Inggris), “ politie” (Belanda), “polisi” (Indonesia).
Bilamana secara tepat kata “polisi” mendapat arti yang
kini digunakan, sulit dipastikan. Namun demikian, perkembangan sebagimana
dicatat di inggris, yang dicatat penggunaan kata “police” sebagai kata kerja
yang berarti “memerintah” dan “mengawasi” (sekitar tahun 1589). Selanjutnya
sebagai kata benda diartikan “pengawasan”, yang kemudian meluas dan menunjukkan
“organisasi yang menangani pengawasan dan pengamanan” (tahun 1716). Di
Indonesia, istilah polisi ‘ digunakan dalam pengertian “organisasi pengamanan”
pada abad ke-19 dalam interregum Inggris dari 1811 – 1817. wilayah Indonesia
saat itu merupakan bagian dari wilayah yang dipimpin “bupati” masing-masing
diserahi tugas pengamanan terib hukum dan polisi bertanggungjawab pada bupati
setempat itu. Secara historis, posisi kelembagaan kepolisian sebagaimana
dipaparkan oleh Harsja Bahtiar dalam bukunya Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu
Pengetahuan yang baru, bahwa pada masa penjajahan Hindia Belanda Kepolisian
berada di bawah Procedur General (Jaksa Agung), baik itu Besturs Politie
(Polisi Pamong Praja) maupun Algeneu Politie (polisi umum). Pada masa revolusi
tanggal 19 agustus 1945, Kepolisian merupakan bagian dari Departemen Dalam
Negeri.
Kinerja Kepolisian dalam mencapai profesionalisme
Pandangan Masyarakat terhadap Kinerja Polri Kinerja
Polri dari hari ke hari telah menampakkan kemajuan yang berarti walaupun belum
dapat memenuhi harapan masyarakat. Banyak prestasi yang telah dicapai oleh
Polri dalam menemukan penjahat dalam waktu yang relatif tidak lama. Namun, juga
masih banyak harapan masyarakat akan dapat ditangkapnya para koruptor besar
yang sampai saat ini belum berhasil ditangkap. Keberhasilan Polri melumpuhkan
komplotan teroris di Batu-Malang (Jawa Timur) dan menewaskan Dr. Azahari sangat
menggembirakan masyarakat. Juga ditemukannya sejumlah bahan peledak dan bom
rakitan seperti di Ngebel-Ponorogo dan Bojonegoro, Jawa Timur (Kompas, 12-13
Nov. 2005). Polri pula yang berhasil membongkar dan menangkap produsen Narkoba.
Dalam penggrebekannya di desa Cemplang-Serang (Banten) itu Polri menangkap 13 tersangka
pelaku termasuk pemilik pabrik, serta menyita sejumlah barang bukti (Republika,
12 Nov. 2005). Konon, pabrik Narkoba itu merupakan terbesar ketiga di dunia
dengan omset mencapai kurang lebih satu triliun rupiah setiap minggu (Pelita,
15 Nov. 2005). Keberhasilan-keberhasilan itu diakui oleh masyarakat sebagai
prestasi Polri yang membanggakan dan pantas mendapat pujian.
Namun, harus diakui juga bahwa harapan masyarakat
untuk memiliki polisi yang benar-benar baik dan bersih masih belum menjadi
kenyataan. Masih banyak oknum polisi yang melakukan pelanggaran etika
kepolisian, memeras, bahkan melakukan kejahatan Narkoba, penadah perampasan
taksi seeperti belum lama berselang (Kompas, 17 Nov. 2005). Masih banyak lagi
kejadian kejahatan yang melibatkan polisi dan sering dapat dibaca atau ditonton
dalam berita di media massa. Masyarakat juga banyak bergonjing tentang adanya
polisi yang menghentikan kendaraan truk terutama di luar kota di mana
pengemudinya sudah menyiapkan kotak korek api untuk diberikan kepada oknum
polisi itu. Tentu saja kotak itu tidak berisi korek api karena bukan itu yang
diminta oleh polisi. Pengurusan Surat Ijin Mengemudi dan surat-surat lainnya pun
menjadi “ladang” yang subur bagi pemasukan uang bagi polisi (Indo Pos, 15 Nov.
2005). Masih banyak lagi “ladang” lainnya yang dapat menjadi tempat korupsi
polisi, tetapi bukan terhadap uang negara. Korupsi itu korupsi terhadap uang
masyarakat secara perseorangan. Hal itu sulit dibuktikan, namun bagi masyarakat
dianggapnya bukan rahasia lagi. Hal ini menyebabkan masyarakat belum merasa
“menjadi satu” sebagai mitra polisi, pada hal perkara ini sangat penting dalam
mendukung tugas polisi. Masyarakat masih takut atau segan berhubungan dengan
polisi karena berbagai sebab yang pada umumnya takut “kehilangan” uang. Menjadi
saksipun kalau bisa dihindari, demikian pula melaporkan kejadian kehilangan
barangnya saja masih ada yang tidak merasa perlu karena pesimis akan
manfaatnya, dan bisa jadi ujung-ujungnya akan “kehilangan” uang.
Perilaku menyimpang polisi disebabkan oleh banyak
faktor, antara lain pengaruh lingkungan yang mengakibatkan ingin menjalani gaya
hidup hedonisme, gaji yang relatif kurang, sikap mental yang buruk, dan
diberikannya kekuasaan polisi oleh hukum untuk mengambil tindakan dalam situasi
tertentu menurut “pertimbangan sendiri” atau disebut kekuasaan
diskresi-fungsional yang menempatkan pribadi-pribadi polisi sebagai faktor
sentral dalam penegakan hukum . Jadi, diskresi merupakan kebijakan, keleluasaan
atau kemampuan untuk memilih rencana kabijakan atau mempertimbangkan bagi diri
sendiri atau suatau kebijakan berdasarkan keleluasaannya untuk melakukan suatu
tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya. Oleh karena itu,
diskresi tidak terlepas dari ketentuan hukum, artinya diskresi itu dilakukan
dalam kerangka.
Dari pengertian di atas itulah, maka pribadi-pribadi
polisi mendapat peran yang sangat penting dan sentral dalam penegakan hukum.
Polisi merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan tegaknya hukum. Namun, jika
polisi tidak memiliki integritas moral yang tinggi dan kuat, maka dengan
kekuasaan diskresi-fungsional tersebut justru memberi peluang untuk menggunakan
kekuasaan itu untuk kepentingan pribadinya sendiri yang tidak untuk tegaknya
hukum dan keadilan dengan melakukan tindakan yang bernuansa pemerasan atau
intimidasi ataupun rekayasa dan kolusi dalam penanganan suatu perkara.
Untuk mencegah digunakannya kekuasaan
diskresi-fungsional yang tidak proporsional, maka masalah peningkatan moral,
etika dan berfungsinya hati nurani menjadi sangat penting. Moral dan etika akan
menjadi pendorong untuk menjadi polisi yang baik, yang menuntun sikap,
tindakan, dan perilaku polisi. Moralitas adalah norma atau standard tingkah
laku manusia yang didasarkan atas pertimbangan benar-salah, dan baik-buruk.
Etika merupakan nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan seseorang atau
kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah. Menghidupkan berfungsinya hati
nuarani juga sangat penting karena sesungguhnya hati nurani tidak pernah
bohong. Hati nurani yang sensitif (tidak tumpul) dapat mengarahkan pada hal-hal
yang baik dan terpuji.
Pentingnya peningkatan moral dan etika serta
mensensitifkan hati nurani itu juga berkaitan dengan prinsip bahwa “yang legal
belum tentu bermoral.” Kalau berdasarkan legal saja maka seperti jawaban
Eichman (Nazi Jerman) ketika dalam proses peradilan ditanya” mengapa dia tega
membunuh puluhan ribu manusia” yang dengan entengnya dijawabnya “saya tidak
bersalah karena saya taat”. Orang yang berpikir hanya berdasar legalitas saja akan
cenderung seperti Machiavellis yang berprinsip “tujuan menghalalkan cara” yang
menumpulkan hati nurani. Di samping itu, ada masalah keseharian polisi yaitu
persoalan menggunakan hukum. Apabila hukum digunakan oleh polisi secara
semestinya niscaya kedilan akan mendukung terwujudnya keadilan dan citra polisi
akan membaik. Mungkin ada aturan hukum yang tidak sempurna, tetapi akan
menciptakan kebaikan jika penegak hukumnya baik. Sebaliknya, hukum yang baik
tidak menjamin akan terciptanya keadilan, keteriban atau kebaikan jika aparat
penegak hukumnya buruk. Disini lagi menunjukkan pentingnya moral, etika dan
hati nurani diketengahkan.
Sikap dan perilaku anggota Polri terikat pada Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara R.I. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
anggota Polri harus dapat mencerminkan kepribadian Bhayangkara Negara
seutuhnya. Anggota Polri juga harus menghayati dan menjiwai etika profesi
kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya seperti dirumuskan dalam
Kode Etiknya yang merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tri
Brata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila (Kansil,
2003: 152-153). Kode Etik tersebut bukan hanya untuk dihafalkan tetapi harus
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam melaksanakan tugasnya.
Untuk mewujudkan tugas pokok tersebut tentunya perlu
dukungan dari masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan
ketertiban serta penegakan hukum adalah sangat penting. Partisipasi itu bisa
terwujud apabila masyarakat merasa memiliki dan mencintai Polri. Hal itu bisa
terwujud jika Polri dapat merebut hati masyarakat, dekat dengan masyarakat
dengan menunjukkan sikap, perilaku, dan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Pengungkapan masalah-masalah tersebut di atas mungkin
dirasakan “pahit” bagi Polri, tetapi kebanyakan obat adalah pahit. Anggaplah
itu sebagai obat yang pahit yang perlu bagi polisi untuk memperbaiki diri. Yang
jelas pengungkapan ini tidak bermaksud memojokkan Polri, tetapi didasari oleh
kecintaan pada Polri dan keinginan memiliki polisi sipil yang bersih,
berwibawa, bermartabat dan bermoral, yang benar-benar dapat menjadi pelindung,
pengayom, dan pelayan masyarakat yang baik. Di negara manapun, keinginan
masyarakat adalah seperti itu.
Harapan Masyarakat terhadap Kinerja Polri Harapan
masyarakat sudah banyak disebutkan pada perbincangan sebelumnya, yang pada
intinya masyarakat ingin agar Polri dapat mewujudkan tugas pokoknya dengan
baik, yang dilandasi oleh moralitas, profesionalisme sebagai polisi sipil, dan
memiliki kedekatan dengan rakyat yang positif. Harapan itu sebenarnya tidak
berlebihan. Untuk itu, setiap anggota Polri juga harus memperhatikan beberapa
hal, yaitu: 1) Mengenal diri, artinya tahu dan paham, dan menghayati benar
siapa dirinya (sebagai anggota polisi sipil), paham dan menghayati tugasnya dan
bagaiman melakukan tugas dengan baik, serta memahami apa yang menjadi keharusan
dan larangannya, 2) Integritas pribadi, artinya bersikap jujur, adil, dan
amanah dalam melakukan tugas, 3) Pengendalian diri, yang berarti dapat menunda
gratifikasi dan bertindak secara proporsional serta tidak emosional, 4) Komitmen
dan konsistensi, artinya memiliki tekad yang kuat untuk menjadi polisi yang
baik sebagai pelindung, pengayom,dan pelayan masyarakat, 5)Kepercayaan diri,
artinya dalam melaksanakan tugas tidak bersikap ragu-ragu, tegas tetapi tetap
terukur dan tetap sopan santun, 6) Fleksibel, berarti tidak bersifat kaku dalam
bertindak. Di samping itu, perlu diperhatikan bahwa masyarakat berharap Polri
bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak berpolitik praktis seperti
ditegaskan dalam pasal 28 Undang-Undang tentang Kepolisian Negara R.I. Jangan
lagi karena kepentingan sesaat Polri terlibat dalam politik praktis seperti
dalam kampanye dengan memobolisasi para purnawirawannya, karena jika hal itu
terjadi akan merugikan Polri dan menjauhkan Polri dari masyarakat yang sangat
majemuk dan bermacam paham politik.
Penutup
Dengan reformasi internalnya, Polri sudah mengalami
kemajuan untuk menjadi polisi sipil bagi mewujudkan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum dan perlindungan, pengayom, dan pelayan masyarakat.
Namun, apa yang dicapai itu masih jauh dari harapan masyarakat yang
menginginkan memiliki polisi sipil yang handal, bermoral, profesional, dan
sebagai pelayan masyarakat, yang dicintai dan didukung masyarakat, serta
menjadi kebanggaan rakyat.
Peningkatan moralitas, etika, dan mensensitifkan hati
nurani menjadi kunci pokok dalam mewujudkan harapan masyarakat. Untuk itu,
setiap anggota Polri perlu bertanya pada diri sendiri “sudah patutkah saya
menjadi polisi harapan masyarakat?” Bertanyalah pada hati nurani sendiri,
seandainya saya anggota masyarakat biasa, apa harapan anda kepada Polri? Sudah
memadaikah apa yang saya lakukan selama ini? Hal-hal seperti itu perlu
dilakukan agar perilaku dan kinerja polisi tidak jauh berbeda dengan tuntutan
dan harapan masyarakat terhadap Polri.
Daftar Pustaka
Harsja w. Bachtiar, Ilmu Kepolisian;
Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan Yang Baru, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, 1994
Parsudi suparlan, Ilmu Kepolisian,
Jakarta, YPKIK, 2008
Wik Djatmika, Kurikulum Sejarah
Kepolisian Pada Pendidikan Polri, Jakarta, 2010
__________, Sejarah Kepolisian Di
Indonesia, Jakarta, Mabes Polri, 1999
No comments:
Post a Comment