Saturday, October 20, 2012

FILOSUF DALAM ISLAM

Pendahuluan
Perkembangan filsafat di dunia Islam pada masa bani Umayah tidaklah mendapatkan perhatian yang besar. Baru pada masa bani Abbasyiyah lah perkembangan filsafat mulai berkembang. Pada awalnya bani Abbasyiyah hanya tertarik pada perkembangan kedokteran, namun pada akhirnya filsafat mulai memasuki kancah keilmuan Islam pada masa itu.
Perkembangan paling pesat pada masa Abbasyiyah adalah pada masa khalifah Harun Al-Rasyid dan Al-Makmun. Yang banyak memberikan perhatian terhadap perkembangan Ilmu pengetahuan dan filasafat. Lalu kembali berkembang pada masa bani Umayah di Andalusia yang juga mulai mengembangkan keilmuannya yang terkenal dengan perpustakaannya yaitu: Cordova.
Namun bila dilihat dari sejarah peradaban umat Islam, maka munculnya pemikiran filsafat dalam dunia Islam ini merupakan gejala perkembangan ilmu pengetahuan  dalam masyarakat Islam sejak timbulnya agana Islam. Bukankah agama Islam telah sejak dini telah memberikan jawaban-jawaban yang tegas dan ringkas mengenai beberapa persoalan  metafisika, Tuhan, jiwa dan manusia. Pengetahuan tersebut kemudian diperluas dan dikembangkan dengan memadukan kebenaran wahyu dan akal rasio.
Maka muncullah para filosuf Islam dari negeri-negeri Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Tufail, Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, dan lain sebagainya. Namun pada kesempatan kali ini kami hanya akan membahas tentang Al-Kindi, Al-Farrabi dan Ibnu Rusyd. Karena banyaknya filosuf-filosuf yang cemerlang di dunia Islam.

Al-Kindi (796-873 M)
Nama lengakap Al-Kindi adalah  Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Ash-Shabbah bin ‘Imran bin Isma’il bin Al-Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah tahun 185 H (801M). Ayahnya adalah Gubernur Kuffah pada masa Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari bani ‘Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi lahir. Dengan demikian Al-Kindi dibesarkan dalam keadaan yatim.[1]Al-Kindi  pada masa kecilnya memperoleh pendidikan di Bashrah. Setelah tamat dikota Bashrah ia belajar kekota Baghdad hingga tamat, Ia mahir sekali dalam berbagai macam cabang ilmu yang ada pada waktu itu, seperti ketabiban, filsafat, ilmu hitung, manthiq (logika), geometri, astronomi, dan lain sebagainya.
Nama Al-Kindi menanjak setelah hidup di isatana pada masa pemerintahan Al-Mu’tashim yang menggantikan Al-Makmun pada tahun 218 H (833 M) karena pada waktu itu Al-Kindi dipercaya pihak isatana menjadi guru pribadi pendidik putrnya yaitu Ahmad bin Mu’tashim. Pada masa inilah Al-Kindi berkesepatan menulis karya-karyanya setelah pada masa Al-makmun menerjemahkan kitab-kitab Yunani kedalam bahasa Arab.[2]
Al-Kindi adalah filosuf Islam yang mula-mula secara sadar mempertemukan ajaran-ajaran Islam dengan filsafat Yunani sebagai seorang filosuf, Al-Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama diakuiinya pula keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis. Oleh karena itu menurut Al-kindi diperlukan adanya nabi untuk mengajarkan hal-hal yang berada diluar jangkauan akal manusia yang diperolah dari wahyu Tuhan. Dengan demikianAl-Kindi tidak sepakat dengan  pemikiran filosuf yunani dalam hal-hal yang dirasakan bertentangan dengan ajaran agama Islam yang diyakininya.
Karangan-karangan Al-Kindi umumnya berupa makalah-makalah pendek dan dinilai kurang mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan filosuf lainnya. Namun sebagai filosof perintis yang menempuh jalan bukan seperti para pemikir sebelumnya, maka nama Al-Kindi memperoleh cetak biru dan mendapat tempat yang istimewa dikalangan filosu sezamannya dan sesudahnya.

Al-Farabi (870-956 M)
Nama asli beliau adalah Abu Nashr Ibnu Audagh bin Thorhan Al-Farabi. Ia dilahirkan dikota Farrab tahun 257 H (870 M). sejak kecil Al-Farabi adalah anak yang tekun dan rajin dalam belajar . dalam berolah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan yang luar biasa dan menguasai bahasa Iran, Turkistan, dan Kurdistan. Al-Farabi dalam memulai karirnya pertama-tama beliau hijrah dari kota kelahirannya kekota Baghdad yang saat itu menjadi pusat ilmu pengetahuan. Dia belajar disana selama kurang lebih dua puluh tahun. Ia  menimba ilmu pengetahuan kapada : Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta Ibn Yunus untuk belajar ilmu manthiq (logika). Dari situ Ia mencoba pergi ke Harran yang saat itu menjadi  salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Disana ia berguru kepada Yohana Ibn Hailan, namun tak lama kemudian ia meninggalkan kota ini dan kembali ke Baghdad. Disini ia kembali memperdalam ilmu Filsafat, Ia juga mampu mencapai ahli dalam ilmu Manthiq (logika).[3]
Al-Farabi mempunyai pengetahuan yang luas. Ia mendalami bebrbagai macam ilmu yang ada pada masanya termasuk filsafat. Ia mendefinisikan filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada (Al-Ilmu Bil Maujudaat Baina Hia Al-Maujudat). Filsafatnya yang terkenal adalah filsafat emanasi. Dalam filsafat emanasi ini ia menerangkan bahwa segala yang ada memancar dari zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah sepuluh.[4] Alam materi dikontrol oleh akal yang sepuluh itu. Ia juga membahas soal jiwa dan akal manusia. Akal menurutnya mempunyai tiga tingkat yaitu : Al-Hayulani (materi) Bi Al-Fiil (aktuil) dan Al-Mustafad (adeptus, aquired). Akal pada tingkat terakhir ini lah yang dapat menerima pancaran yang dikirimkan Tuhan melalui akal-akal tersebut.[5]
Al-Farabi berpendapat bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan. Karena Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya, jadi ilmunya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahui-Nya. Bagi Tuhan cukup dengan mengetahui zat-Nya yang menjadi sebab adanya alam maka akan tercipta alam. dengan demikian, maka keluarnya alam (Mahkluk )dari Tuhan terjadi tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah pekerjaan akal semata-mata. Akan tetapi wujud alam tidak memberi kesempurnaan bagi Tuhan, karena wujud-Nya bukanlah karena lainnya. Dan emanasi itu timbul karena pengetahuan (‘Ilmu) terhadap zat-Nya yang satu. Dan Tuhan itu Esa sama sekali.
Al-Farabi banyak mengeluarkan pemikirannya dalam  bidang filsafat. Misalnya Filsafatnya mengenai politk kenegaraaan menyatakan bahwa masyarakat terdiri dari dua macam yaitu masyarakat sempurna dan tidak semprna. Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Masyarakt ada tiga yaitu: Dunia seluruhnya, sebagian dunia atau suatu territorial dan masayarakat kecil yang terdiri satu kota dan masih banyak lagi lainnya yang menjadi pemikiran Al-Farrabi.
Suatu keistimewaan yang diraih oleh Al-Farrabi adalah usaha yang Ia lakukan dalam mengkompromikan perbedaan faham antara Plato dan Aristoteles. Plato mengatakan bahwa alam nyata yang kita lihat ini adalah tiruan semata dari alam idea, sedangkan Aristoteles mengatakan sebaliknya, bahwa alam idea hanyalah bayangan (pantulan) saja dari alam materi. Kita melihat beberapa benda (materi). Lalu dari pantulan penglihatan itu barulah kita dapat menyimpulksn suatu rumusan pendapat (konsep) tentang benda itu.dan konsepsi itulah menurut Aristoteles yang dinamakan idea. Kalau Plato mengatakan bahwa alam dunia ini adalah baru (hadis) dan tidak abadi, maka sebaliknya Aristoteles mengatakan bahwa alam dunia ini Qadim (azali) sudah ada sejak semula dan abadi selama-lamnya. Untuk kedua hal tersebut Al-Farrabi mengatakan bahwa semua filasfat itu memikirkan kebenaran . dan karena kebenaran itu hanyalah satu macam dan serupa hakikatnya, maka semua filsafat itu pada prisipnya tidak berbeda. Begitu juga antara filsafah dan agama. Filsafat memikirkan kebenaran, sedangkan agama juga memikirkan kebenaran maka tidak ada perbedaan antara filsafat dan agama. Dan kedua pertentangan diatas janganlah dianggap sebagai pertentangan yang mutlak dan prinsipil, tetapi haruslah dianggap sebagai pertentangan yang relative dan hanya soal rincian saja.

Ibnu Rusyd (1126-1198 M)
Nama lengkap beliau adalah Abul Wahib Muhammad  ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibn Rusyd. Ia lahir pada tahun 1126 M di Cordova dari kalanagan keluarga ahli nujum. Nenek dan orang tuanya mempunyai kedudukan Hakin Agung. Dimasa mudanya Ibnu Rusyd belajar teologi Islam, hukum Islam, ilmu kedokteran, matematika, astronomi, sastra dan filsafat. Pada tahun 1169 M ia diangkat menjadi hakim di Seville dan pada tahun 1182 M hakim di Cordova. Ia adalah seorang ahli filosuf dan ahli hukum dan mendapat penghargaan yang tinggi dari Khalifah Al-Muwahhid Abu Ya’qub yusuf dan Khalifah Abu Yususf Ya’qub Al-Mansur. Ibnu Rusyd adalah seorang filosuf yang beraliran filsafat Yunani. Karya-karyanya banyak yang berisi pembelaan terhadap serangan-serangan yang dilkukan oleh  Al-Ghazali terhadap filsafat Yunani seperti Aristoteles. Ia juaga terkenal karena pendapat beliau yang bertentangan dengan para ulama-ulama yang ada pada masa itu.[6] Oleh karena itu, antara Ibnu Rusyd dan ahli-ahli hukum Islam terdapat permusuhan dan atas tuduhan bahwa ia menganut paham-paham filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam ia akhirnya ditangkap dan diberi hukuman tahanan kota di Lucena, yang terletak dekat dengan Cordova. Kemudian dipindahkan ke Maroko dan  meninggal disana pada tahun  1198 M.[7]
Dalam masalah filsafat, ia berpendapat bahwa manusia wajib atau sekurang-kurangnya sunnat untuk melakukan filsafat, dan tugas seorang filosuf adalah berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada ini. Dan Al-Qur’an, menyuruh supaya manusia berpikir tentang wujud dan Alam sekitarnya untuk mengetahui tentang wujud Tuhan. Dengan demikian sebenarnya tuhan menyuruh manusia supaya berfilsafat. Dan apabila pendapat akal bertentangan dengan wahyu, teks wahyu harus diberi interpentasi atau takwil begitu rupa hingga sesuai dengan akal. Dalam masalah pengetahuan Tuhan ia menyetujui pendapat Aristoteles yang mengatakan sesuatu yang diketahui Tuhan itu menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi kalau Tuhan mengetahui hal-hal kecil, maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna dari-Nya. Dan ini adalah tidak wajar. Maka sudah seharusnya bahwa Tuhan tidak mengetahui selain dari zat-Nya sendiri. Dan Tuhan adalah sebuah kehidupan yang abadi, sempurna dari segala jurusan dan sudah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri.[8]
Dalam masalah keazalian alam Ibnu Rusyd mengatakan bahwa alam adalah azali. Jadi ada dua keazalian yaitu Tuhan dan alam. Namun keazalian Tuhan lain dengan keazalian alam. Keazalian Tuhan lebih utama dari keazalian alam. Ia berargumen seandainya alam tidak azali, ada permulaannya , maka hadislah alam ini (baru). Dan setiap yang baru mesti ada yang menjadikannya. Dan yang menjadikan ini  haruslah ada yang menjadikannya pula. Demikian berturu-turut tak ada habisnya. Padahal kejadian berantai dan tak ada habisnya ini tak dapat diterima oleh akal, jadi mustahillah bila alam ini hadis. Dan masih banyak masalah yang dibahas oleh Ibnu Rusyd, seorang filsafat Islam yang menggema namanya di dunia Eropa dan barat.

Penutup
Ibnu Rusyd adalah penutup dari kecemerlangan filsafat di dunia Islam yang diawali oleh Al-Kindi dan mengalami kemajuan dalam bidang keilmuan. Baik filsafat dan lain sebagainya. Namun setelah masa Ibnu Rusyd mulailah timbul masa kesuraman dalam dunia Islam.
Demikianlah makalah ini kami buat, kami mohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dalam penyajian makalah ini. Dan kami mohon kritik dan saran yang membangun terhadap makalah ini untuk memperbaiki pada pembuatan makalah kami yang selanjutnya.



Daftar Pustaka
·         Atjeh Abubakar, Sejarah Filsafat Islam, Semarang, 1970
·         Umar Farukh, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, Beirut, A962. Halaman 225
·         Filsafat Umum, Pustaka Setia, Bandung, 1997.
·         Mustofa A.H.Drs, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997.
·         Ahmad Tafsir,Dr., Filsafat Umum, Rosdakarya, Bandung, 1990.
·         Abu Hanifah, Rintisan Filsafat, Jakarta , 1950.
·         Bakri Hasbullah,H., Sistematika Filsafat, Solo, 1961.
·         Soemardi Soejabrata, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, 1970.


[1] Atjeh Abubakar, Sejarah Filsafat Islam, Semarang, 1970
[2] Umar Farukh, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, Beirut, a962. halaman 225
[3] Mustofa A.H.Drs, Filsafat Islam, 1997.Pustaka Setia.
[4] Akal yang sepuluh terdiri atas intelegensi pertama dan sembilan intelegensi planet dan lingkungan yang semuanya berputar menelilingi intelegnsi yang pertama. Taip lingkungan mempunyai intelegensi dan ruh yang merupakan asal gerak yang diatur oleh intelegensi kesepuluh. Akal pertam adalah bumi. Akal kedua adalah langit pertama. Akal ketiga adalah langit kedua. Akal keempat adalah planet saturnus. Akal kelima adalah panet yupiter. Akal keenam adalah planet mars. Akal ketujuh adalah matahari. Akal kedelapan adalah plnet venus . akal kesembilan adalah planet merkurius. Akal kesepuluh adalah bulan.
[5] Filsafat Umum,1997, pustaka setia.
[6] Mustofa A.H.Drs, Filsafat islam, 1997, pustaka setia, Bandung
[7]  Ibid hal 183
[8] Ibid hal  185

Wednesday, October 10, 2012

KEBERADAAN TUHAN: SEBUAH ARGUMENTASI TEOLOGIS MELALUI PENDEKATAN INTUITIF


“pada kurun waktu terakhir ini banyak ahli ilmu alam termashur dan beberapa ahli biologi terkenal telah menyatakan dengan tegas bahwa kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan alam dalammasa terakhir ini telah menyangkal sahnya materalisme, yang lazim dianut sebelumnya, dan telah membawa kepada sahnya kebenaran dari agama”.
Max Planck (1858-1947)

Pendahuluan
Kemajuan sains pada dasawarsa belakangan ini telah memberikan dampak sangat mendalam terhadap agama dan releigiositas manusia, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Max Planck diatas, bahkan Leahy[1] pernah menyampaikan kesaksian yang positif interaksi antara sains dan dimensi religositas.
Sains adalah sesuatu yang sangat menarik untuk siapapun, dimanapun dan kapanpun. Bahkan hamper tidak ada satup noktahpun dalam alam semesta kita ini yang tidak merasakan sentuhan dan dampak sains, terutama implikasinya dan aplikasinya dalam bentuk teknologi. Pendek kata kita sudah menayaksikan dan merasakan pengaruh dan cekraman dari sains yang sedemikian kuat. Dari kota yang besar hingga ke pelosok desa yang jauh dari peradapan, teknologi mulai menginjakkan kakinya.
Tapi dari semakin majunya sains, manusia semakin menjauh dari religiositas, timbullah pertanyaan bagi penulis, apakah benar sains menentang adanya agama, atau jangan-jangan kita yang salah mengartikan kemajuan sains dan teknologi ini. Pada kesempatan ini kami mencoba untuk memadukan antara sains dan agama dengan mengupas keberadaan Tuhan melalui pendekatan intuitif..

Keberadaan Allah: Pendekatan Intuitif
Laplace menjadi nama yang harus disebut sebagai salah seorang pencetus sebuah program alam semesta yang mekanistik dan deterministik yang sebagai konsekuensinya alam semesta mampu mencukupi diri sendiri. Dan masa seseudah Laplace adalah masa dimana dunia ini tidak dipandang lagi sebagai sebuah sandiwara Ilahi besar yang mengarah pada sebuah tujuan atau bukan pula sebagai objek yang sudah ditakdirkan dalam kedaan berkesinambungan terus-menerus –seperti yang diteriakkan oleh Newton-melainkan sebuah kekuatan alam yang terus berinteraksi dalam dirinya sendiri. Dan berlangsunglah sebuah iklim dimana para ilmuwan sekalipun beriman harus menga,bil sikap untuk mencampakkan Tuhan dalam karya ilmiah mereka. Dalam situasi yang dikuasai oleh arus pemikiran tersebut di atas, tidak tersangka-sangka terjadi suatu arus balik yanghampir secara telanjangdan terang-terangan menabrak arus yang sedang bergerak. Para ilmuwan besar seperti Einstein, Eddington, Lecomte du Nouy, Sir Fred Hoyle, Paul Davies, dan Charles Thaxton menyatakan bahwa mereka membutuhkan sebuah hipotesi menilak sepenuhnya pandangan Laplace. Dari nama-nama itu, satu hal yang menarik adalah mereka semua kecuali Lecomte du Nouy, bukanlah pengikut agama Kristen.
Di depan kita telah dihantar oleh pemikiran lebih jauh dari augros dan stanciu yang pada hakikatnya merupakan implikasi dari sains berparadigma baru dalam dunia biologi, maka dalam uraian ini sebenarnya akan disampaikan implikais dalam bidang yang lain yaitudalam filsafat ketuhanan. Uraian ini akan menyoroti bagaimana sains dengan paradigma baru membangun sebuah tradisi ilmiah yang tersendiri sampai kemudian menimbulkan sebuah problem metafisis dan dan ketuhanan serta keyakinan mengenai adanya “sesuatu yang superinteligen” untuk memahami realitas yang kita kenal ini. Suatu alasan yang berkenaan dengan tujuan yang mendasarkan hampir sepenuhnya pada matematika dan fisika sangat dipelukan disini. Yang disini akan membahas kebradaan Allah lewat intuisi, munculnya pemahaman kosmologi yang baru, hasil-hasil yang tersimpan dalam fosil dan yang terakhir kompleksitas dalam bidang biokimia dan fenomena keberadaan Tuhan.
Para ilmuwan mempunyai posisi yang unik dalam menanggapi keteraturan, keluasan, dan keindahan alam semesta. Mereka, bahkan dalam diri pengikut Darwin sekalipun, mempunyai firasat bahwa alam semesta itu terlalu sederhana hanya diterangkan sebagai sebuah realitas yang di dalamnya berlangsung interaksi yang bersifat kebetulan saja. Kebanyakan dari mereka setuju dengan pandangan Jhon Hick, seorang filsuf agama, yangmengatakan bahwa “bila kita menggunakan data-data yang cuku lengkap-tidak hanya dari kecenderungan-kecenderungan teologis yang di dapat dari evolusi biologis saja, melainkan juga data-data pengalaman beragama, moral, estetika, dan pengalaman kognitif manusia-ternyata itu justru akan semakin mebuktikan adanya Allah daripada menyangkalnya”. Namun sebenarnya mereka belum mendekati permasalahannya secara matematis, dengan kata lain kepercayaan mereka berasal darikemungkinan “perasaaan” bukan dugaan yang dibangun secara ilmiah. Tentu saja ini bukan berarti mereka membuat dugaan yang arbitrary karena memang sudah cukup banyak bukti yang mendukung pandangan mereka; meskipun demikian tetaplah cara-cara seperti itu merupakan cara-cara yang belum lengkap.
Meski definisi, persepsi dan tolak ukur mengenai keindahan dari satu masyarakat ke masyarakat lain berbeda, namun tetaplah konsensus terhadap apa yang disebut sebagai keindahan, keelokan, atau segala sesuatu yangmeninggalkan pesona. Lebih sering dapat dicapai kesepakatannya. Keindahan ini menjadi faktor intuitif yang penting menunjuk adanya Allah. Kita semua pasti pernah terpesona dengan keindahan matahari yang terbenam, keelokan gunung yanga dilatari gunung biru dan matahair terbenam,  gerhana matahari yang diselimuti dengan suasana mistis. Demikian pula menyaksikan alam semesta ini yang begitu cantik, serba teratur, yang mampu memelihara dirinya sendiri dengan mengatasi berbagai gangguan lewat hukum-hukum fisikanya yang sederhana tapi berlaku universal. Tidak mengherankan apa bila banyak orang berintuisi akan adanya sang pencipta, sang Arsitek dari kosmos ini.[2]
Alam ini penuh dengankeindahan, dan satu yang mencolok adalah kepingan salju. W.J. Humphreys dalam kata pengantar buku Snow Crystal yang berisi kumpulan foto dari 2000 macam kepingan salju tersebut sangguh mengagumkan. Belum ada orang yang mampu membuat sebuah benda keindahannya seperti kepingan salju yangbegitu unik.
Jika alam ini dipenuhi dengan keindahan, pastilah itu tidak timbul secara kebetulan saja maupun karena suatu alasan demi keperluan tertentu. Keindahan yang ada di alam ni bukan hanya sekedar sebuah sebab yang diikat berdasarkan suatu keprluan tertentu ataupun alasan demi tindakan tertentu. Penyebab tadi adalah pikiran yang bertanggung jawab terhadap keindahan yang berada di alam ini. Manusia menyebutnya Allah. Dalam kisah baru asal-usul, struktur dan keindahan dari alam raya ini, telah menghantar kita pada satu kesimpulan akan adanya Allah.[3]
Harus diakui bahwa segala argumen mengenai keindahan, keteraturan, dan kebesaran dari alam semesta ini pada dasarnya belum begitu meyakinkan untuk membuktikan adanya Allah. Meskipun demikian, semuanya tetap mengisyarakan akan suatu kekuatan yang begitu superior atas diri manusia dan segala sesuatu yang ada disekitar manusia. Bagaimanapun juga penedekatan intuitif daat dijadikan titik pijak untuk melangkah lebih jauh.


[1] Lihat Leahy, Louis, Aliran-Aliran Besar Ateisme, 1990, hal. 157-159. juga daftar bibliografi yang begitu banyak yang bertemakan persoalan mengenai sains dan ketuhanan hal. 163-164
[2] Greg Soetome, Sains Dan Problem Ketuhanan, 1998, Kanisius, Yogyakarta, Hal. 102-103
[3] Ibid, hal. 52-58



 
Daftar Pustaka
Leahy, Louis, Aliran-Aliran Besar Ateisme. Tinjauan Kritis, Yogyakarta Dan Jakarta: kansius BPK Gunung Mulia 1990
Greg Soetome, Sains Dan Problem Ketuhanan, 1998, Kanisius, Yogyakarta
Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta Dan Jakarta: kansius BPK Gunung Mulia 1990

Saturday, October 6, 2012

MASA DEPAN AGAMA DAN AGAMA MASA DEPAN



فَأَ قِم وَجهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَالنَّاسَ عَلَيهَا لاَتَبدِيلَ لِخَلقِ اللهِ ذَالِكَ الدِّينُ القَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكثَرَ النَّاسِ لاَيَعلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
(Al-Qur’an, 30 : 30)

Pendahuluan
Agama adalah hal yang sudah menjadi sarapan pagi bagi orang-orang yang taat beragama terutama bagi penganut agama Islam, yang tiap bangun pagi mereka diperintahkan untuk mengingat Tuhan mereka. Bahkan dalam agama Islam, “kalau bisa” mereka harus ingat Tuhan mereka dimanapun mereka berada.
Kata agama dalam bahasa sansekerta berasal dari A – kesini, gam=gaan, go, gehen,-berjalan-jalan. Sehingga dapat berarti peraturan-peraturan tradissional, ajran-ajaran, kumpulan hukum-hukum, pendeknya apa saja yang turun temurun dan ditentukan oleh adat-kebiasaan.[1]
Dalam agama Hindu “Agama” mengandung pengertian Satya (kebenaran absolut), Arta (dharma atau perundang-undangan), Diksa (penyucian), Tapa (semua perbuatan suci) Brahma (do’a atau mantra-mantra), dan Yajna (kurban)[2]. Pengertian yang lain adalah:
“Dharma atau kebenaran abadi yang mencakupu seluruh jalan kehidupan manusia. Agama adalah keprcayaaan hidup pada ajaran-ajaran suci yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi yang kekal dan abadi.”[3]
Dalam agama Budha adalah suatu kepercayaan dan persujudan atau pengakuan manusia akan adanya gaya-pengendalian yang istimewa dan terutama daru suatu manusia yang harus diataati dan pengaruh pemujaan tadi atas perilaku manusia.[4]
Dalam agama kristen Katholik agama adalah segala bentuk hubungan manusia dengan yang suci.
Dalam agama Islam agama menurut haji agus salim dalam buku kecilnya, tauhid, mengatakan: “agama ialah ajaran tentang kewajiban terhadap atura, petunjuk, perintah, yang diberikan Allah kepada manusia lewat utusan-utusan-Nya. Dan oleh rasul-rasul-Nya diajarkan kepada orang-orang dengan pendidikan dan tauladan.[5]
Menurut Psikologi Agama, agama adalah pengakuan pribad terhadap yang dihayati sebagai “yang adi isani/super human” yang menggejala dalam penghayatan dan tingkah laku orang yang bersangkutan lebih-lebih kalau usahanya untuk menyelaraskan dengan yang insani itu.[6]
Semua agama menginginkan atau mengharapkan pemeluk agama mereka menjadi pemeluk yang taat, lalu bagaimana dengan masa saat ini dimana teknologi telah mencapai yang tak terbatas dimana segala mitos-mitos dapat digantikan atau dibuktikan oleh teknologi.
 dari berbagai sudut dan aspek teknologi mulai mengerogoti agama dan teknologi mulai menjadi sebuah Tuhan yang baru bagi para pemuja teknologi dan mulai meninggalkan agama mereka, karena menurut logika mereka ini lebih jelas dan dapat dilihat oleh mreka. Pada kesempatan kali kami memcoba membahas sedikit tentang masa depan agama dan apa itu agama masa depan?

Masa depan agama
Agama menurut Racdliffe Brown, salah seorang ahli antropologi adalah “ekspresi suatu bentuk ketergantungan pada kekuatan diluar diri kita sendiri, yakni kekuatan yang dapat kita katakana sebagai kekuatan Spritual atau kekuatan moral”[7] yang hampir serupa dengan pendapat Durkheim yaitu: “agama dalah system yang menyetu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda sacral, yang mempersatukan semua orang yang menganutnya kedalam suatu komunitas moral”[8] dan masih banyak lagi yang lainnya yang hamper semuanya mempunyai inti pemikiran yang sama dengan schuon yaitu: “keprcayaan terhadap suatu kekuatan yang berada diluar nalar manusia” menurutnya semua agama secara Esoteris adalah beda yang berbeda hanya pada tatanan eksoterisme.[9]
wacana tentang agama dan kehidupan beragama selalu muncul baik dalam forum ilmiah maupun percakapan popular. Dalam masyarakat barat yang sekuler sekalipun, sekarang ini mudah di jumpai pusat-pusat studi agama yang diselenggarakan secara profesional, yang merupakan bagian integral dari berbagai universitas prestegious. apalagi bagi kalangan yang taat beragama sering terjadi banyak perdebatan meski masalah agama dan Tuhan seringkali dianggapa tidak begitu penting, krena persoalan iman dilihatnya sebagai masalah kepercayaan. Perdebatan akademis rasional tentang agama tak lebih sebagai upaya apologi untuk melindungi pilihan imannyayang berada diatas kemampuan penalaran manusia.iman memiliki logika sendiri yang berbeda dari logika ilmu pengetahuan, yang keduanya tidak mungkin disejajarkan. Oleh karena itu meskipun secara teoritis orang bisa beradu argumentasi dalam bidang teologi, namun apa yang diputuskan oleh akal kritis tidak mesti menjadi acuan untuk menentukan pilihan iman seseorang.
Mengingat motivasi dan pengalaman iman seseorang tidak selalu sama. Maka merupakan konsekuensi yang niscaya bahwa kberagamaan bagi umat manusia mau tidak mau bersifatpluralistik yang karenanyan bisa melahirkan banyak peristiwayang bersidat problematik. Pluralis ini semakin eksplisit dan semakin lestari ketika masing-masing agama yang ada menawarkan doktrin dan teologi yang berbeda-beda, yang kesemuanya mempunyai klaim sebagai agama yang sahih dan punya hak hidup dan semuanya menawarkan jalan keselamatan absolut. Dan harapan akan adanya satu pemahaman antara agama yang satu dengan agama yang lain sangat tidak mungkin untuk diharapkan, jangankan menghilangkan perbedaan dan konflik antar agama, sedangkan perbedaan intern suatu agama saja tidak mudah untuk dihilangkan. Sebab menghilangkannya berarti menghilangkan kehidupan manusia itu sendiri. Jadi dalam bahasa lain, kenyataan itu merupakan “kehendak ilahi” yang tidak bisa tidak harus diterima oleh umat manusia.
Mengingat keberagamaan adalah pilhan dan refleksi kebebasan seseorang untuk mencari dan menghayati iman, maka pada akhirnya keyekinan beragama berada pada bililk kebebasan yang paling dalam pada diri seseorang yang orang lain tidak mungkin bisa merenggutnya dan mencampurinya.

Walaupun iman bersifat amat pribadi, tetapi karena iman memiliki pesan dan dorongan etis, maka merupakan tuntutan dan konsekuensi mral bagi orang yang beriman untuk bersikap konsisten dalam meperjuangkan prinsip-prinsip moral dalam realitas sosial. Sejalan dengan itu hukum agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dalam bentuk ritual kegamaan cenderung bersifat pribadi dan tak terjangkau oleh penegak hukum positif. Tetapi pelaksanaan hukum agama yang bersifat soisila-eksoterik, pelaksanaannya diserahkan pada manusia dalam konteks khidupan bermasyarakat dan bernegara sesuai dan berdasarkan kontrak sosial yang disepakati dalam suatu masyarakat.
Dengan demikian maka dimasa depan semua agama akan dihadapkan pada otonomi manusia untuk menentukan pilihan jalan dan imannya msing-masing dengan mempertimbangkan tertib sosial dan hak-hak orang lain untuk juga menentukan pilihannya sendiri. Terleih lagi ketika intelektualitas manusia semakin meningkat sementara klaim kenabian psaca-Muhammad secara historis dan sosiologis tidak menunjukkan keberhasilan maka berbagai spekulasi intelektual tentang agama dan pengembaraaan spiritual manusia dalam menghayati imannya semakin leluasa dilakukan orang.[10]

Agama masa depan; sebuah karakteristik
Sejarah barat sangat banyak memberikan pelajaran berhargabagi bangsa yang beragama. Kita bisa saksikan sejak menjelang abad ke-15 masehi, orang barat sudah tidak percaya lagi dengan agama. Sejak saat itu orang barat beralih keprcayaan dari agama kristen gereja ke ilmu pengetahuan yang relah membuktikan kecanggihannya melalui teknologi. Maka sejak itulah ailmu pengetahuan diyakini bagaikan “agama baru” yang mampu menjawab berbagai kebutuhan manusia.
Aspek metafisika yang sakral karenanya hilang dan segala sesuatu dipandang hanya materi belaka. Disinilah inti modernisme yang ditolak kaum tradisional, yaitu suatu pandangan yang hanya mempercayai materi. Segala sesuatu dipanandang sebatas benda yang bisa dilihat secara indrawi saja. Berbeda dengan masyarakat tradisional, bahwa segala sesuatu itu memiliki hakikat, hakikat itulah yang sebenarnya realitas.
Dalam perjalannanny agama banyak mengalami perubahan dan berkembang sesuai dengan perjalanan sejarah. Bisa saja seseorang mempertahankan nama sebuah agama tradisional dengan bangunan teologinya yang telah mapan. Tetapi kita sulit mengelak suatu kenyataan bahwa pemikiran dan pemahaman orang tentang agama itu selalu berkembang dalam sejarah. Bahkan tidaklah terlalu susah untuk mengatakan bahwa gama yang kita pahami dan anut sekarang ini adalah agama sebagai produk sejarah.
Menurut para ahli psikologi, kapasitas penalaran manusia yang teraktualisasi belum mencapai 13 persen bahkan mayoritas manusia masih di bawah 5 persen. Artinya, Cara pandang manusia terhadapa agama, alam, terhdapa dirinya, terhadap sejarah serta paham agama yang dianutnya akan selalu mengalami evolusi dan bahkan lompatan paradigma.
Dan hal itu telah terbukti dalam sejarah. Betapa banak dalil ilmu pengetahuan lama telah dipatahkan dan diganti dengan rumus baru yang lebih valid. Juga berapa banyak agama-agama kuno yang telah hilang dan tidak lagi muncul, sementara berbagai keprcayaan agama yang masih bertahan dihadapkan pada gempuran proses demi-tologisasi dan sekulerisasi.
Maka kita tidak boleh marah jika terdapat ilmuwan yang secara sinis mengatakan bahwa orang  beragama sering memposiisikan tuahan sebaga sandara terakhir. Ketika nalar tidak sampai untuk memahami misteri dan kompleksitas realitas semesta maka disitulah Tuhan dihadirkan untuk menentramkan kebingungan kita. Tetapi ketika sebagian teke teki tersebut terpecahkan maka posisi Tuhan lalu digeser lagi.
Menurut Ibn Al-arabi, Tuhan akan hadir dan menyapa manusia sesuai dengan persepsi manusia tentang-Nya. Bagi para mistikus, jalan masuk kepada tuhan yang dipilihnya adalah pintu kasih, sehingga tuhannya para mistikus adalah Tuhan Snag Kekasih. Adapun bagi para filsuf Tuhan hadir sebagai Dia Yang Maha Cerdas dan Kreatif.
Penutup
Agama adalah hal yang sangat luas dan penuh dengan problema yanga tak kan pernah habis untuk kita bahas dan kita diskusikan. Masa depan dan agama masa depan adalah hal yang harus kita wujudkan dengan kekuatan dan harapan kita masing-masing. Karena keberadaan agama dan agama itu bagaimana hanya dapat kita ketahui dan kita yakini dengan sudut pandang kita masing-masing.
Demikianlah makalah ini kami buat, kami mohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dalam penyajian makalah ini. Dan kami mohon kritik dan saran yang membangun terhadap makalah ini untuk memperbaiki pada pembuatan
makalah kami yang selanjutnya.



[1] Drs. Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Hal. 1-2.
[2] Ibid
[3] Gede Pudja, M. A., S. H., Weda Parikarna, Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu, Depag. RI, Jakarta, tt., hal. 24.
[4] Drs. Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Hal. 3.

[5] Ibid hal.4
[6] Ibid hal 5-6
[7] Betty R. Scharf, Sosiologi Agama; edisi kedua, Prenada Media, Jakarta, 2004, Hal.34
[8] ibid
[9] Frithjop schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, Pustaka Firdaus,1987 hal. X-XI
[10] Komaruddin Hidayat. M. Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial, PT SUN, Jakarta, 2003, Hal 151-156


Daftar Pustaka
·         Betty R. Scharf, Sosiologi Agama; Edisi Kedua, Prenada Media, Jakarta, 2004,
·         Frithjop schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, Pustaka firdaus, 1987
·         Komaruddin Hidayat. M. Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial, PT SUN, Jakarta, 2003
·         Drs. Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
·         Gede Pudja, M. A., S. H., Weda Parikarna, Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu, Depag. RI, Jakarta, tt.