فَأَ قِم وَجهَكَ لِلدِّينِ
حَنِيفًا فِطرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَالنَّاسَ عَلَيهَا لاَتَبدِيلَ لِخَلقِ اللهِ
ذَالِكَ الدِّينُ
القَيِّمُ وَلَكِنَّ
أَكثَرَ النَّاسِ لاَيَعلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui
(Al-Qur’an, 30 : 30)
Pendahuluan
Agama adalah hal yang sudah menjadi sarapan pagi bagi orang-orang yang
taat beragama terutama bagi penganut agama Islam, yang tiap bangun pagi mereka
diperintahkan untuk mengingat Tuhan mereka. Bahkan dalam agama Islam, “kalau
bisa” mereka harus ingat Tuhan mereka dimanapun mereka berada.
Kata agama dalam bahasa sansekerta berasal dari A
– kesini, gam=gaan, go, gehen,-berjalan-jalan. Sehingga dapat berarti
peraturan-peraturan tradissional, ajran-ajaran, kumpulan hukum-hukum, pendeknya
apa saja yang turun temurun dan ditentukan oleh adat-kebiasaan.[1]
Dalam agama Hindu “Agama” mengandung pengertian Satya
(kebenaran absolut), Arta (dharma atau perundang-undangan), Diksa
(penyucian), Tapa (semua perbuatan suci) Brahma (do’a atau
mantra-mantra), dan Yajna (kurban)[2].
Pengertian yang lain adalah:
“Dharma atau
kebenaran abadi yang mencakupu seluruh jalan kehidupan manusia. Agama adalah
keprcayaaan hidup pada ajaran-ajaran suci yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi
yang kekal dan abadi.”[3]
Dalam agama Budha adalah suatu kepercayaan dan
persujudan atau pengakuan manusia akan adanya gaya-pengendalian yang istimewa
dan terutama daru suatu manusia yang harus diataati dan pengaruh pemujaan tadi
atas perilaku manusia.[4]
Dalam agama kristen Katholik agama adalah segala
bentuk hubungan manusia dengan yang suci.
Dalam agama Islam agama menurut haji agus salim
dalam buku kecilnya, tauhid, mengatakan: “agama ialah ajaran tentang kewajiban
terhadap atura, petunjuk, perintah, yang diberikan Allah kepada manusia lewat
utusan-utusan-Nya. Dan oleh rasul-rasul-Nya diajarkan kepada orang-orang dengan
pendidikan dan tauladan.[5]
Menurut Psikologi Agama, agama adalah pengakuan
pribad terhadap yang dihayati sebagai “yang adi isani/super human” yang
menggejala dalam penghayatan dan tingkah laku orang yang bersangkutan
lebih-lebih kalau usahanya untuk menyelaraskan dengan yang insani itu.[6]
Semua agama menginginkan atau mengharapkan pemeluk
agama mereka menjadi pemeluk yang taat, lalu bagaimana dengan masa saat ini
dimana teknologi telah mencapai yang tak terbatas dimana segala mitos-mitos
dapat digantikan atau dibuktikan oleh teknologi.
dari
berbagai sudut dan aspek teknologi mulai mengerogoti agama dan teknologi mulai
menjadi sebuah Tuhan yang baru bagi para pemuja teknologi dan mulai
meninggalkan agama mereka, karena menurut logika mereka ini lebih jelas dan
dapat dilihat oleh mreka. Pada kesempatan kali kami memcoba membahas sedikit
tentang masa depan agama dan apa itu agama masa depan?
Masa depan agama
Agama menurut Racdliffe Brown, salah seorang ahli
antropologi adalah “ekspresi suatu bentuk ketergantungan pada kekuatan diluar
diri kita sendiri, yakni kekuatan yang dapat kita katakana sebagai kekuatan
Spritual atau kekuatan moral”[7] yang hampir
serupa dengan pendapat Durkheim yaitu: “agama dalah system yang menyetu
mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda
sacral, yang mempersatukan semua orang yang menganutnya kedalam suatu komunitas
moral”[8] dan masih
banyak lagi yang lainnya yang hamper semuanya mempunyai inti pemikiran yang
sama dengan schuon yaitu: “keprcayaan terhadap suatu kekuatan yang berada
diluar nalar manusia” menurutnya semua agama secara Esoteris adalah beda yang
berbeda hanya pada tatanan eksoterisme.[9]
wacana tentang agama dan kehidupan beragama
selalu muncul baik dalam forum ilmiah maupun percakapan popular. Dalam
masyarakat barat yang sekuler sekalipun, sekarang ini mudah di jumpai
pusat-pusat studi agama yang diselenggarakan secara profesional, yang
merupakan bagian integral dari berbagai universitas prestegious. apalagi
bagi kalangan yang taat beragama sering terjadi banyak perdebatan meski masalah
agama dan Tuhan seringkali dianggapa tidak begitu penting, krena persoalan iman
dilihatnya sebagai masalah kepercayaan. Perdebatan akademis rasional tentang
agama tak lebih sebagai upaya apologi untuk melindungi pilihan imannyayang
berada diatas kemampuan penalaran manusia.iman memiliki logika sendiri yang
berbeda dari logika ilmu pengetahuan, yang keduanya tidak mungkin disejajarkan.
Oleh karena itu meskipun secara teoritis orang bisa beradu argumentasi dalam
bidang teologi, namun apa yang diputuskan oleh akal kritis tidak mesti menjadi
acuan untuk menentukan pilihan iman seseorang.
Mengingat motivasi dan pengalaman iman seseorang
tidak selalu sama. Maka merupakan konsekuensi yang niscaya bahwa kberagamaan
bagi umat manusia mau tidak mau bersifatpluralistik yang karenanyan bisa
melahirkan banyak peristiwayang bersidat problematik. Pluralis ini semakin
eksplisit dan semakin lestari ketika masing-masing agama yang ada menawarkan
doktrin dan teologi yang berbeda-beda, yang kesemuanya mempunyai klaim sebagai
agama yang sahih dan punya hak hidup dan semuanya menawarkan jalan keselamatan
absolut. Dan harapan akan adanya satu pemahaman antara agama yang satu dengan
agama yang lain sangat tidak mungkin untuk diharapkan, jangankan menghilangkan
perbedaan dan konflik antar agama, sedangkan perbedaan intern suatu agama saja
tidak mudah untuk dihilangkan. Sebab menghilangkannya berarti menghilangkan
kehidupan manusia itu sendiri. Jadi dalam bahasa lain, kenyataan itu merupakan
“kehendak ilahi” yang tidak bisa tidak harus diterima oleh umat manusia.
Mengingat keberagamaan adalah pilhan dan refleksi
kebebasan seseorang untuk mencari dan menghayati iman, maka pada akhirnya
keyekinan beragama berada pada bililk kebebasan yang paling dalam pada diri
seseorang yang orang lain tidak mungkin bisa merenggutnya dan mencampurinya.
Walaupun iman bersifat amat pribadi, tetapi karena
iman memiliki pesan dan dorongan etis, maka merupakan tuntutan dan konsekuensi
mral bagi orang yang beriman untuk bersikap konsisten dalam meperjuangkan
prinsip-prinsip moral dalam realitas sosial. Sejalan dengan itu hukum agama
yang mengatur hubungan dengan Tuhan dalam bentuk ritual kegamaan cenderung
bersifat pribadi dan tak terjangkau oleh penegak hukum positif. Tetapi
pelaksanaan hukum agama yang bersifat soisila-eksoterik, pelaksanaannya
diserahkan pada manusia dalam konteks khidupan bermasyarakat dan bernegara
sesuai dan berdasarkan kontrak sosial yang disepakati dalam suatu masyarakat.
Dengan demikian maka dimasa depan semua agama akan
dihadapkan pada otonomi manusia untuk menentukan pilihan jalan dan imannya
msing-masing dengan mempertimbangkan tertib sosial dan hak-hak orang lain untuk
juga menentukan pilihannya sendiri. Terleih lagi ketika intelektualitas manusia
semakin meningkat sementara klaim kenabian psaca-Muhammad secara historis dan
sosiologis tidak menunjukkan keberhasilan maka berbagai spekulasi intelektual
tentang agama dan pengembaraaan spiritual manusia dalam menghayati imannya semakin
leluasa dilakukan orang.[10]
Agama masa depan; sebuah
karakteristik
Sejarah barat sangat banyak memberikan pelajaran
berhargabagi bangsa yang beragama. Kita bisa saksikan sejak menjelang abad
ke-15 masehi, orang barat sudah tidak percaya lagi dengan agama. Sejak saat itu
orang barat beralih keprcayaan dari agama kristen gereja ke ilmu pengetahuan
yang relah membuktikan kecanggihannya melalui teknologi. Maka sejak itulah
ailmu pengetahuan diyakini bagaikan “agama baru” yang mampu menjawab berbagai
kebutuhan manusia.
Aspek metafisika yang sakral karenanya hilang dan
segala sesuatu dipandang hanya materi belaka. Disinilah inti modernisme yang
ditolak kaum tradisional, yaitu suatu pandangan yang hanya mempercayai materi.
Segala sesuatu dipanandang sebatas benda yang bisa dilihat secara indrawi saja.
Berbeda dengan masyarakat tradisional, bahwa segala sesuatu itu memiliki
hakikat, hakikat itulah yang sebenarnya realitas.
Dalam perjalannanny agama banyak mengalami
perubahan dan berkembang sesuai dengan perjalanan sejarah. Bisa saja seseorang
mempertahankan nama sebuah agama tradisional dengan bangunan teologinya yang
telah mapan. Tetapi kita sulit mengelak suatu kenyataan bahwa pemikiran dan
pemahaman orang tentang agama itu selalu berkembang dalam sejarah. Bahkan tidaklah
terlalu susah untuk mengatakan bahwa gama yang kita pahami dan anut sekarang
ini adalah agama sebagai produk sejarah.
Menurut para ahli psikologi, kapasitas penalaran
manusia yang teraktualisasi belum mencapai 13 persen bahkan mayoritas manusia
masih di bawah 5 persen. Artinya, Cara pandang manusia terhadapa agama, alam,
terhdapa dirinya, terhadap sejarah serta paham agama yang dianutnya akan selalu
mengalami evolusi dan bahkan lompatan paradigma.
Dan hal itu telah terbukti dalam sejarah. Betapa
banak dalil ilmu pengetahuan lama telah dipatahkan dan diganti dengan rumus
baru yang lebih valid. Juga berapa banyak agama-agama kuno yang telah hilang
dan tidak lagi muncul, sementara berbagai keprcayaan agama yang masih bertahan
dihadapkan pada gempuran proses demi-tologisasi dan sekulerisasi.
Maka kita tidak boleh marah jika terdapat ilmuwan
yang secara sinis mengatakan bahwa orang
beragama sering memposiisikan tuahan sebaga sandara terakhir. Ketika
nalar tidak sampai untuk memahami misteri dan kompleksitas realitas semesta
maka disitulah Tuhan dihadirkan untuk menentramkan kebingungan kita. Tetapi
ketika sebagian teke teki tersebut terpecahkan maka posisi Tuhan lalu digeser
lagi.
Menurut Ibn Al-arabi, Tuhan akan hadir dan menyapa
manusia sesuai dengan persepsi manusia tentang-Nya. Bagi para mistikus, jalan
masuk kepada tuhan yang dipilihnya adalah pintu kasih, sehingga tuhannya para
mistikus adalah Tuhan Snag Kekasih. Adapun bagi para filsuf Tuhan hadir sebagai
Dia Yang Maha Cerdas dan Kreatif.
Penutup
Agama adalah hal
yang sangat luas dan penuh dengan problema yanga tak kan pernah habis untuk kita bahas dan kita
diskusikan. Masa depan dan agama masa depan adalah hal yang harus kita wujudkan
dengan kekuatan dan harapan kita masing-masing. Karena keberadaan agama dan
agama itu bagaimana hanya dapat kita ketahui dan kita yakini dengan sudut
pandang kita masing-masing.
Demikianlah
makalah ini kami buat, kami mohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat
kesalahan dalam penyajian makalah ini. Dan kami mohon kritik dan saran yang
membangun terhadap makalah ini untuk memperbaiki pada pembuatan
makalah kami yang selanjutnya.
makalah kami yang selanjutnya.
[1] Drs. Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta,
1996, Hal. 1-2.
[2] Ibid
[3] Gede Pudja, M. A., S. H., Weda Parikarna, Proyek Pengadaan
Kitab Suci Hindu, Depag. RI, Jakarta,
tt., hal. 24.
[4] Drs. Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta,
1996, Hal. 3.
[5] Ibid hal.4
[6] Ibid hal 5-6
[10] Komaruddin
Hidayat. M. Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial,
PT SUN, Jakarta, 2003, Hal 151-156
Daftar Pustaka
·
Betty R. Scharf, Sosiologi Agama;
Edisi Kedua, Prenada Media, Jakarta, 2004,
·
Frithjop schuon, Mencari Titik Temu
Agama-Agama, Pustaka firdaus, 1987
·
Komaruddin Hidayat. M. Wahyudi Nafis, Agama
Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial, PT SUN, Jakarta, 2003
·
Drs. Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1996.
·
Gede Pudja, M. A., S. H., Weda Parikarna, Proyek
Pengadaan Kitab Suci Hindu, Depag. RI, Jakarta,
tt.
No comments:
Post a Comment