Friday, November 30, 2012

AGAMA DAN PLURALITAS KEAGAMAAN


Pendahuluan
Akhir-akhir ini wacana tentang pluralitas agama atau pluralisme agama dan masalah-masalah yang mengitarinya semakin menguat dan muncul keprmukaan. Banyank sekali karya tulis yang membahas masalah ini. Kecenderungan menguatnya perbincangan tentang pluralitas agama dan hubungan antar umat beragama disebabkan topic ini adalah topic yang  actual bagi siapapun yang mendambakan terwujudnya perdamaian antara umat beragama.
Namun terkadang kita sering salah memahami apa yang dimaksud dan apa yang dituju oleh kata pluralitas agama ini. Pada kesempatan kali ini kami mencoba sedikit mebahas masalah ini yang yang diantaranya membahas defininisi pluralisme agama, sejarahnya, dan nilai-nilai pluralisme dalam islam. mudah-mudahan memberikan sedikit warna yang berbeda terhadap apa yang kita bahas kali ini.
Definisi Pluralitas Agama
Pluralitas atau pluralisme berasal dari kata berbahasa Ingris “plural”, yang berarti “jamak” atau “banyak” sedangkan menurut istilah Pluralisme berarti “keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok cultural dalam suatu masyarakat atau Negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelebagaan, dan sebagainya. Pendapat yang lain mengatakan bahwa pluralisme agama berarti kondisi hidup bersama antar agama yang berbeda-beda dalalm saatu komunitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.
Namu kata pluralisme sudah melenceng dari maksud awal arti pluralisme agama, arti yang melenceng itu kia ditegaskan oleh john hick yang memberi arti
Pluralisme agama adalah susatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap yang real atau yang maha agung dari dalam pranata cultural manusia yang bervariasi’ dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan dir menuju pemusatan hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata cultural manusia tersebut. Dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama”.
Dengan kata lain hick ingin mengatakan bahwasannya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.
Pendapat yang lain megnatakan, pluralisme berarti  bukan satu, tetapi Plural, banyak. Dan banyak artinya berbeda, karena tidak ada yang sama kita harus bisa mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain karena dia berbeda dengan kita.
Sejarah Dan Perkembangan Tren Pluralisme Agama
Pemikiran ini muncul pada masa yang disebut pencerahan (enlightemment) eropa, tepatnya pada abad ke-18 Msehi, masa yang sering disebut sebagai titik permualaaan bangkitnya gerakan pekmikiran modern. Yaitu masa yang di warnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superiotas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Ditengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar Gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi , persamaan dan keragaman  atau pluralisme.
Oleh karena paham “liberalisme” pada awalnya muncul sebagai mazhab social plitis, maka wacana Pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidak aneh jika kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan “pluralisme politik”, yang merupakan produk dari “liberalisme politik”. Muhammad Legenhausaen, seorang pemikir muslim kontemporer, juga berpendapat bahwa munculnya paham “Liberalisme plitik” di Eropa pada abad ke-18, sebagian besar di dorong oleh kondisi masyarakat yang carut-marut akibat memuncaknya sikap-sikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sectarian yang pada akhirnya menyeret kepada pertumpahan darah antar ras, sekte dan mazhab pada masa reformasi keagamaan. Jelas faham “liberalisme” tidak lebih merupakan respon politis terhadap kondisi social masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi pluralistic semcam ini hanyalah terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuksekian lama, baru kemudian pada abad ke-20 berkembang hingga mencakup komunita-komunitas lain di dunia.
Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam
Islam adalah agma yang sangat besar dan merupakan agama paling banyak penganutnya di Negara kita tercinta. Dalam Negara kita terdapat banyak agama dan aliran-aliran keprcayaaan yang hamper memenuhi seluruh pelosok Indonesia.
Banyak sekali ayat-ayat Al-qur’an yang menunujukkan kepada nilai pluralisme Islam, yang apabila kita hayati, maka akan kita temui sebuah sikap pluralis antara yang satu dengan yang lain. Yang antara lain ayat tersebut adalah
Al-Qur,an surat Al-Hujurat [49] ayat, 13 yang artinya;
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal . sesungguhnya orang yang palin mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu . sesungghunya Allah maha mengetahui lagi maha Mengenal”
 Ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa Allah SWT telah meciptakan kita berbeda-beda, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku untuk menjalin hubungan yang baik. Agar timbul interaksi positif antara yang satu dengan yang lain dan baik. Dan dengan interaksi positi itu sangat diharapan akan menjadi prasyarat terciptanya kedamaian di muka bumi ini. Tapi tetap yang paling mulia disisi Allah adalah Orang yang paling dekat dengan Allah SWT. Jadi jelas Al-Qur’an memberikan kepada kita alas an yang rasional penciptaan manusia dengan beragam bangsa, bahasa, suku dan budaya.
Yang kembali Allah tekankan dengan ayat lain, Al-qur’an surat huud [11] ayat 118, yang artinya:
“Jikalau tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”
Seandainya Allah mau , dengan gampang sekali akan menciptakan manusia semua dalam satu grup, monolitik , dan satu agama, tetapi Allah tidak menghendaki hal tersebut. Tetapi Tuhan justru menunjukkan kepada realita bahwa pada hakikatnya manusia itu berbeda-beda. Ini kehendak tuhan, atas dasar inilah orang berbicara pluralisme.
Bebrbicara pluralisme artinya bukan satu tetapi plural, banyak. Dan banyak itu berbeda, karena tidak ada yang sama . maka kita harus bisa mengharagai pendapat orang lain kaena dia berbeda dengan kita. Itulah sebenarnya yang kita inginkan di Indonesia ini, yaitu adanya respect terhdap pendapat orang lain. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, satu kelompok kepada kelompok yang lain. Tetapi saling berinteraksi dengan baik saling menghormati pendapat orang lain. seperti ahlul kitab. dan pada khususnya kepada mereka yang memiliki afinitas, hubungan erat dari segi idiologi, tauhid atau monoteisme.
Dan Al-Qur’an mengharuskan kita bebuat baik kepada mereka, dalam surat Al-Ankabuut [29] ayat 46, yang artinya;
Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, dan katakanlah: kami telahberiman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu, dan kami hanya kepada-Nya berserah dir. iDan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain yang mebahas tentang pluralisme agama.
Penutup
Sengaja  pada kesempatan kali pemakalah hanya memberikan sedikit nilai-nilai pluralisme dalam Islam saja, tapi tidak memberikan nilai-nilai pluralisme dalam agama lain, itu disebabkan kaena Islam agama mayoritas di Negara kita. Dan Islam adalah kekautan paling besar di Negara kita. Dengan harapan agar kita yang besar dan kuat tidak memaksakan kehendak kita kepada agama yang lain tapi mendengarkan pendapat yang minoritas.
Demikianlah makalah ini kami buat, kami mohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dalam penyajian makalah ini. Dan kami mohon kritik dan saran yang membangun terhadap makalah ini untuk memperbaiki pada pembuatan makalah kami yang selanjutnya.




Daftar Referensi
·         Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Pluralitas Agama; Kerukunan Dalam Keragaman, Kompas, Jakarta, 2001
·         Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, Pnerbit Prspektif Kelompok Gema Insani, Jakarta, 2006
·         Dr. Sururin, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam; Bingaki Gagasan Yang Berserak, Pnerbit Nuansa, Bandung, 2005

Tuesday, November 27, 2012

ANARKISME EPISTEMOLOGIS PAUL KARL FEYERABEND



A. Feyerabend dan Latar Belakang Pemikirannya

            Paul Karl Feyerabend dilahirkan pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945 ia belajar seni theater dan sejarah theater di Institute for Production of Theater, The Methodological Reform of the German Theater di Waimar. Sepanjang hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Hal ini tampak dalam karya-karyanya, di mana ia memasukan contoh-contoh dari dunia seni untuk menjelaskan pemikiran ilmiahnya.

            Ia mempelajari Astronomi, Matematika, Sejarah, Filsafat dan memperoleh gelar Doktor dalam bidang Fisika di Wina, Austria. Dalam hidupnya ia percaya bahwa ilmu pengetahuan itu paling hebat dan bahwa terdapat hukum-hikum universal yang berlaku dalam segala tindakan yang secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.

            Pada tahun 50-an, ia mengikuti seminar-seminar filsafat dari Karl Popper di London. Pada saat itu, ia masih memegang teguh keyakinan rasionalitasnya, namun akibat perkenalannya dengan Lakatos, pemikiran Feyerabend berubah drastis. Ia melihat keyakinan bahwa dalam sejarah mekanika kuantum, bermacam-macam patokan telah dilanggar dan anehnya patokan itu dijunjung tinggi oleh para filsuf bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Di sini,kemudian Feyerabend melihat bahwa segala pencarian hukum universal adalah ilusi belaka.

            Pada tahun 1958, ia menjadi guru besar Universitas California di Berkeley dan berkenalan dengan Carl Freither van Weizsacker, seorang ahli matematika kuantum. Berkat perkenalannya dengan Weizsacker inilah pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Feyerabend mencapai puncak. Puncak pemikiran anarkisnya tertuang dalam Against Method yang terbit pada tahun 1970.

            Pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan dilatar belakangi oleh dominasi paradigma pemikiran positivistic yang telah dimulai pada abad ke-19. August Comte sebagai pencetus paradigma positivisme terpengaruh Descartes yang menyatakan ilmu yang mendasari segala macam ilmu adalah matematika-astronomika-kimia-fisika-biologi dan puncaknya adalah fisika social ( Sosiologi ). Comte menyatakan, bahwa baru setelah manusia mencapai penyelidikan-penyelidikan ilmiah, manusia akan mendapatkan temuan-temuan yang bermanfaat. Ilmu-ilmu pengetahuan non-alam akan kesulitan mendapatkan legitimasi karena akan berhadapan dengan kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu berkaitan dengan tafsiran-tafsiran yang tidak eksak, sehingga kurang memberikan kemanfaatan bagi manusia modern.



B. Anarkisme Epistemologis Karl Feyerabend

            Feyerabend adalah seorang yang sangat concern terhadap pengkonstruksian filsafat ilmu berdasarkan fakta sejarah ilmu. Ia mengkritik pandangan yang menganggap metode, aliran atau sistem tertentu saja yang benar. Ia menyatakan “That no set of methodological rules could do justice to the complexity of the history of sciene”. Metode ilmiah bukan satu-satunya ukuran kebenaran, termasuk apa yang dikembangkan ilmu pengetahuan modern, tapi hanya merupakan salah satu dari berbagai cara atau upaya untuk mengungkapkan kebenaran.

            Istilah anarkis menunjuk pada setiap gerakan protes terhadap segala bentuk kemapanan. Anarkisme Epistemologis yang dimaksudkan oleh Feyerabend adalah anarkisme teoritis dengan alasan historis, bahwa sejarah ilmu pengetahuan tidak hanya bermuatan gagasan-gagasan dan interprestasi terhadap fakta-fakta itu sendiri serta masalah yang timbul akibat kesalahan interprestasi. Berdasarkan analisis historis kritis, ia menemukan bahwa oleh para ilmuwan, fakta hanya ditinjau dari dimensi ide belaka. Maka tidak mengherankan jika sejarah ilmu pengetahuan menjadi pelik,rancu, dan penuh dengan kesalahan.

C. Implikasinya dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan

            Jika dilihat dari karakteristik pemikiran Feyerabend, dapat dikatakan, bahwa ia adalah tokoh postmodernisme dalam bidang filsafat ilmu. Sebagai tokoh postmodernisme, maka pemikiran-pemikirannya merupakan bentuk kritik atas paradigma modernisme. Feyerabend, sebagaimana para pemikir postmodernisme lainnya, seperti Lyotard, mengkritik pemikiran abad modern Dr. Descartes ( Renaissance ) sampai dengan Hegel, yang di cap sebagai grandnarratives yang di legimitasikan. Para pemikir postmodernisme menuduh, bahwa cara berpikir seperti ini adalah sebagai cara berpikir yang mentotalisasi dan mempunyai ambisi untuk menjelaskan segala aspek lewat grand theory (Teori dasar). Epistemologi Cartesian telah melahirkan keangkuhan epistemology, bahwa realitas dapat ditaklukan melalui pendefinisian. Singkatnya, Postmodernisme menolak segala bentuk kemapanan.

  1. Feyerabend dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan

Dalam menempatkan konteks pemikiran Feyerabend, saya membatasi tulisan ini mulai dari tahun 20-an sampai Feyerabend muncul di panggung filsafat. Semenjak tahun 1920, panggung filsafat ilmu pengetahuan dikuasai oleh Aliran Positivisme Logis. Di mata aliran ini, persoalan-persoalan ilmiah harus dipecahkan dengan tekhnik-tekhnik logika matematika. Ilmu pengetahuan sendiri dirumuskan dan diuraikan sebagai kalkulasi aksiomatis, yang memberikan perangkat-perangkat hukum pada interpretasi terhadap observasi yang terbatas. Filsafat ilmu pengetahuan dipandang sebagai logika ilmu.



  1. Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan

    1. Pengertian Anarkisme

Yang dimaksud oleh Feyerabend dengan istilah anarkisme, tidak lain adalah anarkisme epistemologis. Anarkisme Epistemologis dipertentangkan dengan anarkisme politis atau religius. Dikatakannya, apabila anarkisme politis berarti suatu perlawanan terhadap segala bentuk kemampuan ( kekuasaan Negara, institusi-institusi, dan ideologi-ideologi yang menopangnya ), mungkin anarkisme epistemologis tidak selalu punya loyalitas ataupun permusuhan terhadap institusi-institusi itu.

    1. Anarkisme sebagai Kritik atas Ilmu Pegetahuan

Seluruh pemikiran Feyerabend yang diberi nama anarkisme epistemologis, merupakan suatu kritik. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik dari dua sisi. Dalam sudut ini, keduanya tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pertama, Anti Metode. Kedua, Anti Ilmu Pengetahuan.

·         Anti - Metode
Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mau melawan tubuh ilmu pengetahuan. Ia memegang semboyan Anti-Metode. Dengan semboyan itu, ia mau melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal serta tahan sepanjang masa, lagi pula dapat membawahi semua fakta dan penelitian. Menurut Feyerabend, Klaim itu tidak realistis dan jahat. Tidak realistis, karena kenyataannya ilmu pengetahuan hanya diambil dari pandangan sederhana atas dasar kemampuan seseorang dan dari lingkungan tertentu. Jahat, karena ilmu pengetahuan berusaha memaksakan hukum-hukun yang menghalangi berkembangnya kualitas-kualitas profesiaonal kita dengan mempertaruhkan kemampuan kita.

·         Anti - Ilmu Pengetahuan
Atas nama kebebasan yang sama, Feyerabend mempunyai sikap anti-ilmu pengetahuan. Anti-ilmu pengetahuan tidak berarti anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan yang kerap kali melampaui maksud utamanya. Dengan sikap ini, ia mau melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul ketimbang bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti Sihir, Magic, Mitos dan lain sebagainya.


Teori Anarkitis Feyerabend tentang Pengetahuan

            Salah satu pandangan tentang ilmu yang paling menantang dan provokatif adalah pandangan yang dikemukakan dan dibela secara gemilang oleh Paul Feyerabend. Tidak ada penilaian mengenai watak dan status ilmu akan lengkap tanpa satu usaha untuk memahaminya. Di sini saya akan memberikan ringkasan dan menilai apa yang saya pandang sebagai segi-segi kunci pandangan Feyerabend, terrutama sebagaimana ia muncul di dalam bukunya: Against Method.

  1. Apa Saja Boleh

Feyerabend berkeras sekali pada klaimnya bahwa tidak ada metodologi ilmu yang pernah dikemukakan selama ini mencapai sukses. Cara utama, walaupun bukan satu-satunya, yang ia gunakan untuk mendukung klaimnya ialah memperlihatkan bagaimana metodologi-metodologi tidak sejalan atau tidak bisa cocok dengan sejarah fisika. Banyak argumennya dalam menentang metodologi yang saya beri cap sebagai induktivisme dan falsifikasionisme, adalah serupa dengan argument-argumen yang sudah pernah dijelaskan sebelumnya.

  1. Tidak bias saling diukur dengan standar yang sama

Suatu komponen penting dari analisa Feyerabend tentang ilmu, ialah pandangannya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama. Dalam hal ini terdapat kesamaan dengan pandangan Kuhn mengenai masalah paradigma. Konsepsi Feyerabend tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, adalah sebagai ketergantungan observasi pada teori. Makna dan interpretasi tentang konsep-konsep dan keterangan-keterangan observasi yang digunakan akan tergantung pada konteks teoritis dalam mana makna dan keterangan observasi itu muncul.

  1. Ilmu tidak harus mengungguli bidang-bidang lain

Aspek lain yang penting dari pandangan Feyerabend tentang ilmu menyangkut hubungan antara ilmu dengan bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Ia mengemukakan, bahwa banyak kaum metodologis sudah menganggap benar, tanpa argumentasi, bahwa ilmu ( atau mungkin fisika ) membentuk paradigma rasionalitas.

  1. Kebebasan Individu

Banyak hal di dalam tesis Feyerabend Against Method adalah negativ. Ia menyangkal klaim, bahwa ada metode yang mampu menerangkan sejarah fisika. Ia menyangkal, bahwa superioritas fisika atas bentuk-bentuk pengetahuan lain dapat dikukuhkan dengan minta bantuan pada suatu metode ilmiah. Walaupun begitu, terdapat juga segi positif di dalam kasus Feyerabend itu. Feyerabend membela apa yang ia sebut sebagai “Sikap Kemanusiawian”. Menurut sikap ini, manusia individual harus bebas dan memiliki kebebasan kurang lebih seperti di dalam pengertian John Stewart Mill yang membelanya dalam esai “On Liberty” Feyerabend menyetujui “Usaha meningkatkan kebebasan,untuk menuju ke kehidupan yang penuh dan produktif”. Ia mendukung John Stewart Mill dalam membela  “Pembinaan individualitas yang secara pribadi berproduksi, atau dapat memproduksi manusia-manusia yang maju.

  1. Pandangan Althusser

Pandangan materialis tentang ilmu yang akan saya uraikan secara garis besar ini berdasarkan tulisan-tulisan seorang Marxis Prancis, Louis Althusser. Sebagai materialis, filsafat althusser di dasarkan pada suatu interpretasi materialisme Karl Marx, sedangkan banyak dari epistemologinya berasal dari filsuf Prancis lain, seperti Gaston Bachelard.

Dalam satu pengertian tertentu, materialisme dapat dilihat sebagai suatu usaha menggunakan pendekatan objektif dalam konteks penerapan ilmu pada masyarakat sebagai keseluruhan. Tidak hanya ilmu, tetapi sejarah ( perubahan sosial ) pun adalah suatu proses tanpa subjek.




REFERENSI

A.F. Chalmers, 1983, Apa  itu  yang Dinamakan Ilmu, Terj. Redaksi  Hasta  Mitra,  Hasta     
            Mitra, Jakarta.
Akhyar Yusuf Lubis, 2003, Paul Feyerabend: Penggagas Antimetode, Teraju, Jakarta.
Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Rajawali Pers, Jakarta.
Donny Gahral Adian, 2002, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Teraju, Jakarta.
Jerome R. Ravertz, 2004, Filsafat Ilmu, Terj. Saut Pasaribu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Juhaya S. Praja, 2002, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, Teraju, Jakarta.
Jujun S. Suriasumantri (ed.), 1983, Ilmu dalam Perspektif, Gramedia, Jakarta.
Jujun S. Suriasumantri, 1984, Filsafat  Ilmu, Sebuah  Pengantar  Populer, Sinar Harapan,
            Jakarta.
Listiyono  Santoso, dkk., 2003,  Seri   Pemikiran    Tokoh:  Epistemologi   Kiri,  Ar-Ruzz,
            Yogyakarta.
M. Amin  Abdullah,  dkk., 2003, Menyatukan   Kembali   Ilmu-ilmu  Agama  dan  Umum, 
Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta.
Mohammad Muslih, 2004, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta.
Mulyadhi Kartanegara, 2003, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan, Bandung.
Osman  Bakar, 1997,  Hierarki    Ilmu:  Membangun   Kerangka-Pikir   Islamisasi    Ilmu,
            Mizan, Bandung.
Rizal Mustansyir & Misnal Munir, 2002, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sonny  Keraf & Mikhael   Dua, 2001,  Ilmu  Pengetahuan:  Sebuah   Tinjauan   Filosofis,
            Kanisius, Yogyakarta.
Tim  Redaksi   Driyakarta, 1993, Hakekat  Pengetahuan   dan   Cara   Kerja    Ilmu-ilmu,
            Gramedia, Jakarta.