Wednesday, October 10, 2012

KEBERADAAN TUHAN: SEBUAH ARGUMENTASI TEOLOGIS MELALUI PENDEKATAN INTUITIF


“pada kurun waktu terakhir ini banyak ahli ilmu alam termashur dan beberapa ahli biologi terkenal telah menyatakan dengan tegas bahwa kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan alam dalammasa terakhir ini telah menyangkal sahnya materalisme, yang lazim dianut sebelumnya, dan telah membawa kepada sahnya kebenaran dari agama”.
Max Planck (1858-1947)

Pendahuluan
Kemajuan sains pada dasawarsa belakangan ini telah memberikan dampak sangat mendalam terhadap agama dan releigiositas manusia, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Max Planck diatas, bahkan Leahy[1] pernah menyampaikan kesaksian yang positif interaksi antara sains dan dimensi religositas.
Sains adalah sesuatu yang sangat menarik untuk siapapun, dimanapun dan kapanpun. Bahkan hamper tidak ada satup noktahpun dalam alam semesta kita ini yang tidak merasakan sentuhan dan dampak sains, terutama implikasinya dan aplikasinya dalam bentuk teknologi. Pendek kata kita sudah menayaksikan dan merasakan pengaruh dan cekraman dari sains yang sedemikian kuat. Dari kota yang besar hingga ke pelosok desa yang jauh dari peradapan, teknologi mulai menginjakkan kakinya.
Tapi dari semakin majunya sains, manusia semakin menjauh dari religiositas, timbullah pertanyaan bagi penulis, apakah benar sains menentang adanya agama, atau jangan-jangan kita yang salah mengartikan kemajuan sains dan teknologi ini. Pada kesempatan ini kami mencoba untuk memadukan antara sains dan agama dengan mengupas keberadaan Tuhan melalui pendekatan intuitif..

Keberadaan Allah: Pendekatan Intuitif
Laplace menjadi nama yang harus disebut sebagai salah seorang pencetus sebuah program alam semesta yang mekanistik dan deterministik yang sebagai konsekuensinya alam semesta mampu mencukupi diri sendiri. Dan masa seseudah Laplace adalah masa dimana dunia ini tidak dipandang lagi sebagai sebuah sandiwara Ilahi besar yang mengarah pada sebuah tujuan atau bukan pula sebagai objek yang sudah ditakdirkan dalam kedaan berkesinambungan terus-menerus –seperti yang diteriakkan oleh Newton-melainkan sebuah kekuatan alam yang terus berinteraksi dalam dirinya sendiri. Dan berlangsunglah sebuah iklim dimana para ilmuwan sekalipun beriman harus menga,bil sikap untuk mencampakkan Tuhan dalam karya ilmiah mereka. Dalam situasi yang dikuasai oleh arus pemikiran tersebut di atas, tidak tersangka-sangka terjadi suatu arus balik yanghampir secara telanjangdan terang-terangan menabrak arus yang sedang bergerak. Para ilmuwan besar seperti Einstein, Eddington, Lecomte du Nouy, Sir Fred Hoyle, Paul Davies, dan Charles Thaxton menyatakan bahwa mereka membutuhkan sebuah hipotesi menilak sepenuhnya pandangan Laplace. Dari nama-nama itu, satu hal yang menarik adalah mereka semua kecuali Lecomte du Nouy, bukanlah pengikut agama Kristen.
Di depan kita telah dihantar oleh pemikiran lebih jauh dari augros dan stanciu yang pada hakikatnya merupakan implikasi dari sains berparadigma baru dalam dunia biologi, maka dalam uraian ini sebenarnya akan disampaikan implikais dalam bidang yang lain yaitudalam filsafat ketuhanan. Uraian ini akan menyoroti bagaimana sains dengan paradigma baru membangun sebuah tradisi ilmiah yang tersendiri sampai kemudian menimbulkan sebuah problem metafisis dan dan ketuhanan serta keyakinan mengenai adanya “sesuatu yang superinteligen” untuk memahami realitas yang kita kenal ini. Suatu alasan yang berkenaan dengan tujuan yang mendasarkan hampir sepenuhnya pada matematika dan fisika sangat dipelukan disini. Yang disini akan membahas kebradaan Allah lewat intuisi, munculnya pemahaman kosmologi yang baru, hasil-hasil yang tersimpan dalam fosil dan yang terakhir kompleksitas dalam bidang biokimia dan fenomena keberadaan Tuhan.
Para ilmuwan mempunyai posisi yang unik dalam menanggapi keteraturan, keluasan, dan keindahan alam semesta. Mereka, bahkan dalam diri pengikut Darwin sekalipun, mempunyai firasat bahwa alam semesta itu terlalu sederhana hanya diterangkan sebagai sebuah realitas yang di dalamnya berlangsung interaksi yang bersifat kebetulan saja. Kebanyakan dari mereka setuju dengan pandangan Jhon Hick, seorang filsuf agama, yangmengatakan bahwa “bila kita menggunakan data-data yang cuku lengkap-tidak hanya dari kecenderungan-kecenderungan teologis yang di dapat dari evolusi biologis saja, melainkan juga data-data pengalaman beragama, moral, estetika, dan pengalaman kognitif manusia-ternyata itu justru akan semakin mebuktikan adanya Allah daripada menyangkalnya”. Namun sebenarnya mereka belum mendekati permasalahannya secara matematis, dengan kata lain kepercayaan mereka berasal darikemungkinan “perasaaan” bukan dugaan yang dibangun secara ilmiah. Tentu saja ini bukan berarti mereka membuat dugaan yang arbitrary karena memang sudah cukup banyak bukti yang mendukung pandangan mereka; meskipun demikian tetaplah cara-cara seperti itu merupakan cara-cara yang belum lengkap.
Meski definisi, persepsi dan tolak ukur mengenai keindahan dari satu masyarakat ke masyarakat lain berbeda, namun tetaplah konsensus terhadap apa yang disebut sebagai keindahan, keelokan, atau segala sesuatu yangmeninggalkan pesona. Lebih sering dapat dicapai kesepakatannya. Keindahan ini menjadi faktor intuitif yang penting menunjuk adanya Allah. Kita semua pasti pernah terpesona dengan keindahan matahari yang terbenam, keelokan gunung yanga dilatari gunung biru dan matahair terbenam,  gerhana matahari yang diselimuti dengan suasana mistis. Demikian pula menyaksikan alam semesta ini yang begitu cantik, serba teratur, yang mampu memelihara dirinya sendiri dengan mengatasi berbagai gangguan lewat hukum-hukum fisikanya yang sederhana tapi berlaku universal. Tidak mengherankan apa bila banyak orang berintuisi akan adanya sang pencipta, sang Arsitek dari kosmos ini.[2]
Alam ini penuh dengankeindahan, dan satu yang mencolok adalah kepingan salju. W.J. Humphreys dalam kata pengantar buku Snow Crystal yang berisi kumpulan foto dari 2000 macam kepingan salju tersebut sangguh mengagumkan. Belum ada orang yang mampu membuat sebuah benda keindahannya seperti kepingan salju yangbegitu unik.
Jika alam ini dipenuhi dengan keindahan, pastilah itu tidak timbul secara kebetulan saja maupun karena suatu alasan demi keperluan tertentu. Keindahan yang ada di alam ni bukan hanya sekedar sebuah sebab yang diikat berdasarkan suatu keprluan tertentu ataupun alasan demi tindakan tertentu. Penyebab tadi adalah pikiran yang bertanggung jawab terhadap keindahan yang berada di alam ini. Manusia menyebutnya Allah. Dalam kisah baru asal-usul, struktur dan keindahan dari alam raya ini, telah menghantar kita pada satu kesimpulan akan adanya Allah.[3]
Harus diakui bahwa segala argumen mengenai keindahan, keteraturan, dan kebesaran dari alam semesta ini pada dasarnya belum begitu meyakinkan untuk membuktikan adanya Allah. Meskipun demikian, semuanya tetap mengisyarakan akan suatu kekuatan yang begitu superior atas diri manusia dan segala sesuatu yang ada disekitar manusia. Bagaimanapun juga penedekatan intuitif daat dijadikan titik pijak untuk melangkah lebih jauh.


[1] Lihat Leahy, Louis, Aliran-Aliran Besar Ateisme, 1990, hal. 157-159. juga daftar bibliografi yang begitu banyak yang bertemakan persoalan mengenai sains dan ketuhanan hal. 163-164
[2] Greg Soetome, Sains Dan Problem Ketuhanan, 1998, Kanisius, Yogyakarta, Hal. 102-103
[3] Ibid, hal. 52-58



 
Daftar Pustaka
Leahy, Louis, Aliran-Aliran Besar Ateisme. Tinjauan Kritis, Yogyakarta Dan Jakarta: kansius BPK Gunung Mulia 1990
Greg Soetome, Sains Dan Problem Ketuhanan, 1998, Kanisius, Yogyakarta
Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta Dan Jakarta: kansius BPK Gunung Mulia 1990

No comments:

Post a Comment