“pada kurun waktu terakhir ini banyak
ahli ilmu alam termashur dan beberapa ahli biologi terkenal telah menyatakan
dengan tegas bahwa kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan alam dalammasa terakhir
ini telah menyangkal sahnya materalisme, yang lazim dianut sebelumnya, dan
telah membawa kepada sahnya kebenaran dari agama”.
Max Planck (1858-1947)
Pendahuluan
Kemajuan sains pada dasawarsa belakangan ini telah memberikan dampak
sangat mendalam terhadap agama dan releigiositas manusia, sebagaimana yang
telah dikatakan oleh Max Planck diatas, bahkan Leahy[1]
pernah menyampaikan kesaksian yang positif interaksi antara sains dan dimensi
religositas.
Sains adalah sesuatu yang sangat menarik untuk siapapun, dimanapun
dan kapanpun. Bahkan hamper tidak ada satup noktahpun dalam alam semesta kita
ini yang tidak merasakan sentuhan dan dampak sains, terutama implikasinya dan
aplikasinya dalam bentuk teknologi. Pendek kata kita sudah menayaksikan dan
merasakan pengaruh dan cekraman dari sains yang sedemikian kuat. Dari kota yang besar hingga ke
pelosok desa yang jauh dari peradapan, teknologi mulai menginjakkan kakinya.
Tapi dari semakin majunya sains, manusia semakin menjauh dari
religiositas, timbullah pertanyaan bagi penulis, apakah benar sains menentang
adanya agama, atau jangan-jangan kita yang salah mengartikan kemajuan sains dan
teknologi ini. Pada kesempatan ini kami mencoba untuk memadukan antara sains
dan agama dengan mengupas keberadaan Tuhan melalui pendekatan intuitif..
Keberadaan Allah: Pendekatan Intuitif
Laplace menjadi nama yang harus disebut sebagai
salah seorang pencetus sebuah program alam semesta yang mekanistik dan
deterministik yang sebagai konsekuensinya alam semesta mampu mencukupi diri
sendiri. Dan masa seseudah Laplace adalah masa dimana dunia ini tidak dipandang
lagi sebagai sebuah sandiwara Ilahi besar yang mengarah pada sebuah tujuan atau
bukan pula sebagai objek yang sudah ditakdirkan dalam kedaan berkesinambungan
terus-menerus –seperti yang diteriakkan oleh Newton-melainkan sebuah kekuatan
alam yang terus berinteraksi dalam dirinya sendiri. Dan berlangsunglah sebuah
iklim dimana para ilmuwan sekalipun beriman harus menga,bil sikap untuk
mencampakkan Tuhan dalam karya ilmiah mereka. Dalam situasi yang dikuasai oleh
arus pemikiran tersebut di atas, tidak tersangka-sangka terjadi suatu arus
balik yanghampir secara telanjangdan terang-terangan menabrak arus yang sedang
bergerak. Para ilmuwan besar seperti Einstein, Eddington, Lecomte du Nouy, Sir
Fred Hoyle, Paul Davies, dan Charles Thaxton menyatakan bahwa mereka
membutuhkan sebuah hipotesi menilak sepenuhnya pandangan Laplace. Dari
nama-nama itu, satu hal yang menarik adalah mereka semua kecuali Lecomte du
Nouy, bukanlah pengikut agama Kristen.
Di depan kita telah dihantar oleh pemikiran lebih
jauh dari augros dan stanciu yang pada hakikatnya merupakan implikasi dari
sains berparadigma baru dalam dunia biologi, maka dalam uraian ini sebenarnya
akan disampaikan implikais dalam bidang yang lain yaitudalam filsafat
ketuhanan. Uraian ini akan menyoroti bagaimana sains dengan paradigma baru
membangun sebuah tradisi ilmiah yang tersendiri sampai kemudian menimbulkan
sebuah problem metafisis dan dan ketuhanan serta keyakinan mengenai adanya
“sesuatu yang superinteligen” untuk memahami realitas yang kita kenal ini.
Suatu alasan yang berkenaan dengan tujuan yang mendasarkan hampir sepenuhnya
pada matematika dan fisika sangat dipelukan disini. Yang disini akan membahas
kebradaan Allah lewat intuisi, munculnya pemahaman kosmologi yang baru,
hasil-hasil yang tersimpan dalam fosil dan yang terakhir kompleksitas dalam
bidang biokimia dan fenomena keberadaan Tuhan.
Para ilmuwan mempunyai posisi yang unik dalam
menanggapi keteraturan, keluasan, dan keindahan alam semesta. Mereka, bahkan
dalam diri pengikut Darwin sekalipun, mempunyai firasat bahwa alam semesta itu
terlalu sederhana hanya diterangkan sebagai sebuah realitas yang di dalamnya
berlangsung interaksi yang bersifat kebetulan saja. Kebanyakan dari mereka
setuju dengan pandangan Jhon Hick, seorang filsuf agama, yangmengatakan bahwa
“bila kita menggunakan data-data yang cuku lengkap-tidak hanya dari
kecenderungan-kecenderungan teologis yang di dapat dari evolusi biologis saja,
melainkan juga data-data pengalaman beragama, moral, estetika, dan pengalaman
kognitif manusia-ternyata itu justru akan semakin mebuktikan adanya Allah
daripada menyangkalnya”. Namun sebenarnya mereka belum mendekati
permasalahannya secara matematis, dengan kata lain kepercayaan mereka berasal
darikemungkinan “perasaaan” bukan dugaan yang dibangun secara ilmiah. Tentu
saja ini bukan berarti mereka membuat dugaan yang arbitrary karena memang sudah
cukup banyak bukti yang mendukung pandangan mereka; meskipun demikian tetaplah
cara-cara seperti itu merupakan cara-cara yang belum lengkap.
Meski definisi, persepsi dan tolak ukur mengenai
keindahan dari satu masyarakat ke masyarakat lain berbeda, namun tetaplah
konsensus terhadap apa yang disebut sebagai keindahan, keelokan, atau segala
sesuatu yangmeninggalkan pesona. Lebih sering dapat dicapai kesepakatannya.
Keindahan ini menjadi faktor intuitif yang penting menunjuk adanya Allah. Kita
semua pasti pernah terpesona dengan keindahan matahari yang terbenam, keelokan
gunung yanga dilatari gunung biru dan matahair terbenam, gerhana matahari yang diselimuti dengan
suasana mistis. Demikian pula menyaksikan alam semesta ini yang begitu cantik,
serba teratur, yang mampu memelihara dirinya sendiri dengan mengatasi berbagai
gangguan lewat hukum-hukum fisikanya yang sederhana tapi berlaku universal.
Tidak mengherankan apa bila banyak orang berintuisi akan adanya sang pencipta,
sang Arsitek dari kosmos ini.[2]
Alam ini penuh dengankeindahan, dan satu yang
mencolok adalah kepingan salju. W.J. Humphreys dalam kata pengantar buku Snow
Crystal yang berisi kumpulan foto dari 2000 macam kepingan salju tersebut
sangguh mengagumkan. Belum ada orang yang mampu membuat sebuah benda
keindahannya seperti kepingan salju yangbegitu unik.
Jika alam ini dipenuhi dengan keindahan, pastilah
itu tidak timbul secara kebetulan saja maupun karena suatu alasan demi
keperluan tertentu. Keindahan yang ada di alam ni bukan hanya sekedar sebuah
sebab yang diikat berdasarkan suatu keprluan tertentu ataupun alasan demi tindakan
tertentu. Penyebab tadi adalah pikiran yang bertanggung jawab terhadap
keindahan yang berada di alam ini. Manusia menyebutnya Allah. Dalam kisah baru
asal-usul, struktur dan keindahan dari alam raya ini, telah menghantar kita
pada satu kesimpulan akan adanya Allah.[3]
Harus diakui bahwa segala argumen mengenai
keindahan, keteraturan, dan kebesaran dari alam semesta ini pada dasarnya belum
begitu meyakinkan untuk membuktikan adanya Allah. Meskipun demikian, semuanya
tetap mengisyarakan akan suatu kekuatan yang begitu superior atas diri manusia
dan segala sesuatu yang ada disekitar manusia. Bagaimanapun juga penedekatan
intuitif daat dijadikan titik pijak untuk melangkah lebih jauh.
[1] Lihat Leahy,
Louis, Aliran-Aliran Besar Ateisme, 1990, hal. 157-159. juga daftar
bibliografi yang begitu banyak yang bertemakan persoalan mengenai sains dan
ketuhanan hal. 163-164
[2] Greg Soetome, Sains Dan Problem Ketuhanan, 1998, Kanisius, Yogyakarta, Hal. 102-103
[3] Ibid, hal. 52-58
Daftar Pustaka
Leahy, Louis, Aliran-Aliran
Besar Ateisme. Tinjauan Kritis, Yogyakarta Dan Jakarta: kansius BPK
Gunung Mulia 1990
Greg Soetome, Sains Dan Problem
Ketuhanan, 1998, Kanisius, Yogyakarta
Leahy, Louis,
Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta Dan Jakarta: kansius BPK Gunung
Mulia 1990
No comments:
Post a Comment