Pendahuluan
Secara konsep
kebijakan pembangunan sudah memasukkan faktor kelestarian lingkungan sebagai
hal yang mutlak untuk dipertimbangkan, namun dalam implementasinya terjadi
kekeliruan orientasi kebijakan yang tercermin melalui berbagai peraturan yang
terkait dengan sumber daya alam. Peraturan yang dibuat cenderung mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya alam tanpa perlindungan yang memadai, sehingga membuka
ruang yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal.[1]
Tidak adanya
peraturan yang jelas terhadap para pemilik modal menimbulkan adanya eksploitasi
besar-besaran terhadap alam. Dampak dari eksploitasi alam secara besar-besaran
sebagai akibat kekeliruan implementasi kebijakan pembangunan tersebut mulai
dirasakan rakyat Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Berbagai bencana
terjadi silih berganti, mulai dari bencana yang diakibatkan oleh dampak
fenomena alam seperti Tsunami di Aceh, tanah longsor dan banjir di berbagai
daerah sampai pada bencana yang diakibatkan adanya faktor kelalaian manusia
dalam usaha mengeksploitasi alam tersebut seperti kasus Teluk Buyat di
Sulawesi, Freeport di Papua sampai dengan yang sekarang menjadi bencana
nasional yaitu kasus semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur.
Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa
ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal
persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat
volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari
(setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya,
semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar
maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6
meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa;
rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan
perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang
menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak
berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi;
rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon);
terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap
aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini
merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.[2]
Dampak dari
luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur sejak 27 Mei 2006 ini telah
mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas
sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer,
dan jumlah ini akan terus bertambah bila penanganan terhadap semburan lumpur
tidak secara serius ditangani. Lumpur gas panas Lapindo selain mengakibatkan
kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius juga
bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar
semburan lumpur. Tulisan lingkungan fisik diatas adalah untuk membedakan
lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatannya, dimana dalam kasus ini
mengalami gangguan Daud Silalahi menganggap hal ini sebagai awal krisis
lingkungan karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.[3]
Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam
berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya
0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi
kulit dan kanker.4 Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis),
jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.[4]
Selain
perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak
bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan
kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan
sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang
bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Perpecahan warga mulai muncul
menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh Lapindo,6 rebutan
truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur
setelah skenario penanganan teknis kebocoran (menggunakan snubbing unit)
dan (pembuatan relief well) mengalami
kegagalan. Akhirnya, yang muncul adalah konflik horisontal. Berdasarkan hal
tersebut, “Apakah dalam kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. ini
telah terjadi tindak pidana kejahatan korporasi?”. Untuk mendapatkan jawabannya
maka dilakukan sebuah studi penelitian hukum normatif-kualitatif dan hasilnya
menunjukkan bahwa dilihat dari aturan-aturan hukum yang berlaku, Lapindo
Brantas Inc. telah melakukan pelanggaran hukum tindak pidana kejahatan
korporasi. Diharapkan agar segera melakukan perbaikan kondisi lingkungan hidup
dan aparat penegak hukum melakukan tindakan penegakkan hukum lingkungan.
Penyebab terjadinya lumpur lapindo
Lapindo Brantas
melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan
menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Pada
awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter)
sampai mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang
selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk
mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan
kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran
menembus formasi Kujung. Setidaknya ada 3 aspek
yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas tersebut:
Pertama, adalah aspek teknis.
Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik Yogyakarta yang
terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung pendapat yang menyatakan bahwa
pemicu semburan lumpur (liquefaction) adalah gempa (sudden cyclic
shock) Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen.[5]
Kedua, aspek ekonomis. Lapindo
Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)
yang ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi.
Saat ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok
Brantas, Jawa Timur.[6] Dalam kasus
semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga “sengaja menghemat” biaya operasional
dengan tidak memasang casing. Jika dilihat dari perspektif ekonomi,
keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya yang
dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah satu pemegang saham wilayah Blok
Brantas, dalam surat bernomor MGT-088/JKT/06, telah memperingatkan Lapindo
untuk memasang casing (selubung bor) sesuai dengan standar operasional
pengeboran minyak dan gas. Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak memasang casing,
sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur yang ada di
perut bumi menyembur keluar tanpa kendali.[7]
Ketiga, aspek politis. Sebagai
legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo telah mengantongi izin
usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari
Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam.[8]
Poin inilah yang paling penting dalam kasus lumpur panas ini. Pemerintah
Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai
kebijakannya. Alhasil, seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA)
“dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an
sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta
akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf
hidup rakyat, bahkan hingga bencana ekosistem. Di Jawa Timur saja, tercatat
banyak kasus bencana yang diakibatkan lalainya para korporat penguasa tambang
migas, seperti kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban, milik Devon
Canada dan Petrochina (2001); kadar hidro sulfidanya yang cukup tinggi
menyebabkan 26 petani dirawat di rumah sakit. Kemudian kasus tumpahan minyak
mentah (2002) karena eksplorasi Premier Oil.18 Yang terakhir, tepat 2 bulan
setelah tragedi semburan lumpur Sidoarjo, sumur minyak Sukowati, Desa
Campurejo, Kabupaten Bojonegoro terbakar. Akibatnya, ribuan warga sekitar sumur
minyak Sukowati harus dievakuasi untuk menghindari ancaman gas mematikan. Pihak
Petrochina East Java, meniru modus cuci tangan yang dilakukan Lapindo, mengaku
tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran.
Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari
persoalan kepemilikan. Dalam perspektif Kapitalisme dan ekonomi neoliberal
seperti di atas, isu privatisasilah yang mendominasi.
Pengertian kejahatan korporasi
Kejahatan korporasi dalam pengertian gramatikal merupakan pelanggaran atau
tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Pengertian lain mengenai
kejahatan korporasi juga dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary, Any
criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of
activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste
dumping), often referred to as “white collar crime”. Bahwa kejahatan
korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh dan karenanya dapat
dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau
karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), dan kejahatan ini
sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.
Suatu tindak pidana dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm),
yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal
liability. Terkait dengan kejahatan korporasi, maka timbul pertanyaan
mengenai bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability
mengingat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang dianggap
sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan atau naturlijkee
person. Selain daripada itu, KUHP juga masih menganut asas sociates
delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak
dapat melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang
dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian
dan harus diberikan sanksi, siapa yang akan bertanggungjawab, apakah pribadi
korporasi itu sendiri atau para pengurus korporasi tersebut.
Didalam KUHP memang hanya ditetapkan bahwa yang menjadi subyek tindak
pidana adalah orang perseorangan. Meskipun seharusnya pembuat undang-undang
dalam merumuskan delik juga harus memperhitungkan bahwa manusia juga
melakukan suatu tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum
keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul
sebagai satu kesatuan dan oleh karena itu diakui serta mendapat perlakuan
sebagai badan hukum atau korporasi. Dan berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang
akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan
dengan situasi seperti itu. Sehingga, KUHP saat ini tidak dapat menjadi
landasan untuk memperoleh pertanggungjawaban pidana dari sebuah
korporasi, karena hanya dimungkinkan pertanggungjawabannya oleh pengurus
korporasi.
Meskipun saat ini KUHP tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek
hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai
diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Kemudian
kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang
khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda mengenai arti “korporasi”, antara
lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan,
yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, sebagaimana undang-undang
yang disebutkan dibawah ini :
- UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi;
- UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan; dan
- UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.21 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan lain-lain.
- UU No. 5 Tahun 1999[9]
Di Indonesia sendiri, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan
korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan isi Pasal 46 Bab IX mengenai ketentuan
pidana yang mengadopsi doktrin vicarious liability.
Terhadap hal-hal diatas baik dalam sistem hukum common law maupun civil
law, memang sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan
tertentu serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau
guilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. Di Indonesia
sendiri, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum
untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun
Pengadilan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat
dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja
berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan
kejahatan korporasi. Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai
preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia.[10]
Analisa
Melihat fakta-fakta dilapangan serta bila dihubungkan dengan
unsur-unsur terjadinya kejahatan lingkungan oleh korporasi, dimana dalam hal
ini korporasi tersebut adalah Lapindo Brantas Inc sebagai pemegang kuasa
pertambangan ekplorasi dan eksplotasi migas di Blok Brantas Kec. Porong
Sidoarjo dari BP Migas, maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa
unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, baik melalui unsur kesengajaan atau pun
kelalaian. Kedua unsur tersebut dapat digunakan untuk menjerat korporasi
kedalam pembebanan tanggungjawab pidana. Dalam UU No.23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup juga terdapat pasal yang menerangkan apabila
dilakukan karena kelalaian korporasi tersebut dapat juga dijadikan pelaku dalam
kejahatan lingkungan hidup.
Perbuatan
pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok Brantas yang telah
terjadi selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat Lapindo Brantas
menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya pelanggaran terhadap UUPLH
sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan terjadinya kejahatan
korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari semburan lumpur
tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun korban serta
lingkungan yang rusak terus bertambah besar dan luas jumlahnya, tanpa ada yang
tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti menenggelamkan Kec. Porong dan sekitarnya. Yang sangat jelas terlihat saat
ini adalah Lapindo Brantas/EMP sebagai pemegang hak eksploitasi dan eksplorasi
dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran
lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41
hingga Pasal 45 undangundang tersebut. Namun tentunya dalam hal Lapindo, jika
nantinya tidak dapat ditemukan bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah
mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan atau kesengajaan dalam kegiatan
pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi hukuman.
Dan hal ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilan akan terkoyak.
Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas,
penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan
Lapindo sebagai pelaku kejahatan korporasi lingkungan.[11]
Berbeda dari
sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya unsur kesengajaan
atau kealpaan dalam pembuktian sebuah perbuatan pidana, dalam sistem tanggung
jawab pidana mutlak, hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa,
yang artinya adalah dalam melakukan perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui
atau menyadari potensi hasil dari perbuatannya dapat merugikan pihak lain, maka
keadaan ini telah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana kepadanya. Hal
ini tentu saja dapat dilakukan oleh hakim sebagai living interpretator yang
dapat menangkap semangat keadilan yang hidup ditengahtengah masyarakat dan
hakim juga dapat mematahkan kekakuan normatif prosedural undang-undang karena
seiring dengan perkembangan hukum dan beradabnya negara-negara di seluruh
dunia, hakim tidak lagi sekedar hanya mulut atau corong undang-undang
Melihat
kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini, mustahil bahwa Lapindo sendiri
tidak menyadari bahwa lingkungan sekitar daerah penggalian migas adalah
merupakan pemukiman penduduk dan pabrik-pabrik kecil milik warga. Polisi sendiri,
telah memeriksa setidaknya 6 orang tersangka yang berasal dari karyawan Lapindo
sendiri dan karyawan dari PT. Medici Citra Nusa sebagai pemegang sub kontrak
Drilling (pengeboran) dari pihak Lapindo, pihak berwenang mengatakan, para
tersangka untuk saat ini diancam dengan Pasal 188 KUHP dan Pasal 41 dan Pasal
42 ayat 1e dan 2e UUPLH No.23 Tahun 1997126. Adapun isi dari Pasal 188 KUHP
adalah sebagai berikut :
”Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika karena timbul bahaya umum bagi
barang, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya
mengakibatkan matinya orang.”
Bahwa kasus
luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. Merupakan tindak pidana kejahatan
korporasi, karena :
1.
Penyebab
luapan lumpur diakibatkan karena kesalahan dan kelalaian Lapindo Brantas Inc.
Dalam melakukan pengeboran. Dan juga karena telah melanggar peraturan mengenai
tata ruang dan peraturan lingkungan hidup.
2.
Dampak
yang diakibatkan adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas yang
dilakukan di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc. Telah mengakibatkan
terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di sekitar wilayah Kecamatan
Porong Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur. Dampak kerusakan tersebut telah
mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik, lumpuhnya sector ekonomi pertanian dan
industri, kerugian social dan budaya masyarakat, serta penurunan kualitas
kehidupan masyarakat terdampak seperti yang selama ini kita lihat.
Penutup
Lumpur lapindo
adalah sebuah kejadian yang patut kita cermati sebaik mungkin karena sudah
banyak dampak kerugian yang dialami oleh masyarakt sekitarnya, serta tidak adanya
tanggung jawab dari pihak LAPINDO semakin menjadikan masyarakt berada dalam
kesulitan yang disebabkan oleh Lumpur LAPINDO. Dengan demikian perlu adanya
tindakan hukum yang jelas terhadap LAPINDO, baik secara persero maupun terhadap
perorangan yang bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut.
Daftar
Pustaka
1.
Koesnadi
Hardjasoemantri, Pentingnya Payung Hukum dan Pelibatan Masyarakat dalam Buku
Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, 2005
2.
Wikipedia Indonesia, Banjir
Lumpur Panas Sidoarjo 2006
3.
Daud
Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia.
Bandung. Penerbit Alumni. 1996.
4.
Kompas, 19 Juni 2006
5.
Hot Mud Flow in East
Java, Indonesia, Blog
6.
Wikipedia Indonesia, Lapindo
Brantas, dan lihat website BPMIGAS
7.
Lumpur, Kesengajaan
atau Kelalaian?” di ambil pada
tanggal 15 Februari 2012 dari:
http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/060719_lumpur_li/
8.
Cabut PSC Lapindo,
Solusi Terhadap Ancaman Bencana Bagi Masyarakat di Sekitar Blok Brantas, diambil pada tanggal 13 Februari 2012 dari: http://www.walhi.or.id/
kampanye/cemar/industri/060728_psclapindo_rep/
9.
Kosparmono
Irsan, “Kejahatan Korporasi; BAB IV”,
Jakarta 2007
10.
Kejahatan
Korporasi, diambil pada tanggal 15 februari
2012 dari: http://www.tanyahukum.com/perusahaan/114/kejahatan-korporasi/
Fredrik.J.
Pinakunary, Advocates pada Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, Lapindo
dan Pidana Mutlak, Koran Kompas, Des 2006.
[1] Koesnadi Hardjasoemantri, Pentingnya Payung Hukum dan Pelibatan
Masyarakat dalam Buku Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam,
2005, Hal XVI.
[3] Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum
Lingkungan Indonesia. Bandung. Penerbit Alumni. 1996. Hal 9
[7]Lumpur, Kesengajaan atau Kelalaian?” di ambil pada
tanggal 15 Februari 2012 dari:
http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/060719_lumpur_li/
[8] Cabut PSC Lapindo,
Solusi Terhadap Ancaman Bencana Bagi Masyarakat di Sekitar Blok Brantas, diambil pada tanggal 13
Februari 2012 dari: http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/industri/060728_psclapindo_rep/
[9]Kosparmono
Irsan, “Kejahatan Korporasi; BAB IV”,
Jakarta 2007
[10]“ Kejahatan
korporasi” diambil pada tanggal 15 februari 2012 dari:
http://www.tanyahukum.com/perusahaan/114/kejahatan-korporasi/
[11] Fredrik.J. Pinakunary, Advocates pada Lubis, Santosa & Maulana
Law Offices, Lapindo dan Pidana Mutlak, Koran Kompas, Des 2006.
No comments:
Post a Comment