LATAR BELAKANG
Polri
dalam kilasan sejarah lahir, tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari
sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi. Kemerdekaan
Indonesia, Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas yang unik dan kompleks.
Selain menata keamanan dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga
terlibat langsung dalam pertempuran melawan penjajah dan berbagai opersai
militer bersama-sama satuan angkatan bersenjata yang lain. Kondisi seperti ini
dilakukan oleh Polri karena Polri lahir sebagai satu-satunya satuan bersenjata
yang relatif lebih lengkap.
Hanya
empat hari setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 21 Agustus 1945, secara tegas
pasukan polisi segera memproklamirkan diri sebagai Pasukan Polisi Republik
Indonesia dipimpin oleh Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin
di Surabaya, langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan
pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan
semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun satuan-satuan bersenjata
yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang. Tanggal 29
September 1945 tentara Sekutu yang didalamnya juga terdapat ribuan tentara Belanda
menyerbu Indonesia dengan dalih ingin melucuti tentara Jepang. Pada
kenyataannya pasukan sekutu tersebut justru ingin membantu Belanda menjajah
kembali Indonesia. Oleh karena itu perang antara sekutu dengan pasukan
Indonesiapun terjadi dimana-mana. Klimaksnya terjadi pada tanggal 10 Nopember
1945, yang dikenal sebagai "Pertempuran Surabaya".
Tanggal
itu kemudian dijadikan sebagai hari Pahlawan secara Nasional yang setiap tahun
diperingati oleh bangsa Indonesia Pertempuran 10 Nopember 1945.di Surabaya menjadi
sangat penting dalam sejarah Indonesia, bukan hanya karena ribuan rakyat
Indonesia gugur, tetapi lebih dari itu karena semangat heroiknya mampu
menggetarkan dunia dan PBB akan eksistensi bangsa dan negara Indonesia di mata
dunia. Andil pasukan Polisi dalam mengobarkan semangat perlawanan rakyat ketika
itupun sangat besar.alam menciptakan keamanan dan ketertiban didalam negeri, POLRI
juga sudan banyak disibukkan oleh berbagai operasi militer, penumpasan pemberontakan
dari DI & TII, PRRI, PKI RMS RAM dan G 30 S/PKI serta berbagai penumpasan
GPK.
Dalam
perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern dan global, POLRI
bukan hanya mengurusi keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan tetapi juga
terlibat dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban regional maupun
internasional, sebagaimana yang di tempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta
pasukan-pasukan polisi, termasuk Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai
operasi kepolisian, misalnya di Namibia (Afrika Selatan) dan di Kamboja (Asia).
Dengan
dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950
yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S.
Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden. Waktu
kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas
kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam
Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo
3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan
Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai
sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.[1]
Sampai
periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang
memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir
dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam
Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk
organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut
dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini
memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang
memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai
negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan
perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana
gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya
(mengacu standar PBB).
Dengan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali
ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD
1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri
Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya
Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara
diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio. Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan
Keppres No. 154/1959 KaPolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan
Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri
Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah
menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai
ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).[2]
Waktu
Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan
Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan
alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959
R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat KaPolri/Menteri Muda
Kepolisian, sehingga berakhirlah karir Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29
September 1945 hingga 15 Desember 1959. Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun
1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara.
Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan
selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya
dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional. Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR
mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa
kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI
AD, AL, dan AU.
Dengan
Keppres No. 94/1962, Menteri KaPolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU,
Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri
Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti
menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak). Kemudian Sebutan
Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak)
dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan
negara.
Setelah
Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab
berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya
integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara
universal memang bukan angkatan perang. Pada tahun 1969 dengan Keppres No.
52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No.
13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN
tetapi KaPolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti
menjadi Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai
tanda TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk
menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan Polisi.
Saat ini, setelah adanya Ketetapan MPR No.
X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April
1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri dan TNI karena
dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil
society. Untuk sementara, waktu itu, Polri masih diletakkan di bawah
Menteri Pertahanan Keamanan.[3] Akan tetapi,
karena pada waktu itu Menteri dan Panglima TNI dijabat orang yang sama
(Jenderal TNI Wiranto), maka praktis
pemisahan tidak berjalan efektif. Sementara peluang yang lain adalah Ketetapan
MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan secara nyata adanya
pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya diikuti pula oleh Ketetapan MPR No.
VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri secara tegas. Sementara itu, sebelum
ketetapan-ketetapan tersebut di atas digulirkan, pada HUT Bhayangkara 1 Juli
2000 dikeluarkan Keppres No. 89/2000 yang melepaskan Polri dari Dephan dan
menetapkan langsung Polri di bawah presiden.[4]
Kendati Keppres ini
sering disoroti sebagai bahaya karena Kepolisian akan digunakan sewenang-wenang
oleh presiden, namun sesungguhnya ia masih bisa dikontrol oleh DPR dan LKN
(Lembaga Kepolisian Nasinal) yang merupakan lembaga independen. Adapun
tantangan yang dihadapi Polri dewasa ini dan ke depan, terutama adalah
perubahan paradigma pemolisian yang sesuai dengan paradigma baru penegakan
hukum yang lebih persuasif di negara demokratis, di mana hukum dan polisi
tidaklah tampil dengan mengumbar ancaman-ancaman hukum yang represif dan kadang
kala menjebak rakyat, melainkan tampil lebih simpatik, ramah, dan familier.
REFORMASI
POLRI
Kemandirian
Polri diawali sejak terpisahnya dari ABRI tanggal 1 April 1999 sebagai bagian
dari proses reformasi haruslah dipandang dan disikapi secara arif sebagai
tahapan untuk mewujudkan POLRI sebagai abdi negara yang profesional dan dekat
dengan masyarakat, menuju perubahan tata kehidupan nasional kearah masyarakat
madani yang demokratis, aman, tertib, adil dan sejahtera.[5]
Kemandirian
Polri dimaksud bukanlah untuk menjadikan institusi yang tertutup dan berjalan
serta bekerja sendiri, namun tetap dalam kerangkan ketatanegaraan dan
pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia yang utuh termasuk dalam
mengantisipasi otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No.22 tahun 1999
tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah.
Kebijakan tersebut kemudian diikuti dengan dikeluarkannya
kebijakan lain berupa TAP MPR No. VI Tahun 2000 Tentang Pemisahan Polri dan
TNI, dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 Tentang Peran Polri dan TNI. Kebijakan ini
mengakhiri status Polri di bawah garis komando ABRI selama Orde Baru. Dengan
pemisahan struktur organisasi ini aparat kepolisian diharapkan tidak lagi
tampil dalam performance dan watak yang militeristik, dan dapat bekerja
profesional sebagai aparat kepolisian sipil secara profesional.
Pengembangan
kemampuan dan kekuatan serta penggunaan kekuatan Polri dikelola sedemikian rupa
agar dapat mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Polri sebagai
pengemban fungsi keamanan dalam negeri. Tugas dan tanggung jawab tersebut adalah
memberikan rasa aman kepada negara, masyarakat, harta benda dari tindakan
kriminalitas dan bencana alam.
Secara internal Polri mengartikan pemisahan tersebut sebagai upaya
pemandirian Polri dengan melakukan perubahan pada 3 aspek:
1.
Aspek
Struktural: Meliputi perubahan kelembagaan kepolisian dalam ketatanegaraan,
organisasi, susunan dan kedudukan.
2.
Aspek
Instrumental: Mencakup filosofi (visi, misi dan tujuan), doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi
dan Iptek.
3.
Aspek
kultural: Meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan,
sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, dan sistem operasional[6]
Berkenaan
dengan uraian tugas tersebut, maka Polri akan terus melakukan perubahan dan
penataan baik di bidang pembinaan maupun operasional serta pembangunan kekuatan
sejalan dengan upaya Reformasi.
Polri
yang mampu menjadi pelindung Pengayom dan Pelayan Masyarakat yang selalu dekat
dan bersama-sama masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional dan
proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi
manusia, Pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam
negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang
sejahtera.
Misi
Polri yaitu : Berdasarkan uraian Visi sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya
uraian tentang jabaran Misi Polri kedepan adalah sebagai berikut :
1. Memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (meliputi aspek
security, surety, safety dan peace) sehingga masyarakat bebas dari gangguan
fisik maupun psykis.
2. Memberikan
bimbingan kepada masyarakat melalui upaya preemtif dan preventif yang dapat
meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat (Law
abiding Citizenship).
3. Menegakkan
hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi
hukum dan hak azasi manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa
keadilan.
4. Memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap
memperhatikan norma - norma dan nilai - nilai yang berlaku dalam bingkai
integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Mengelola
sumber daya manusia Polri secara profesional dalam mencapai tujuan Polri yaitu
terwujudnya keamanan dalam negeri sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah
kerja guna mencapai kesejahteraan masyarakat
6. Meningkatkan
upaya konsolidasi kedalam (internal Polri) sebagai upaya menyamakan Visi dan
Misi Polri kedepan.
7. Memelihara
soliditas institusi Polri dari berbagai pengaruh external yang sangat merugikan
organisasi.
8. Melanjutkan
operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah konflik guna menjamin keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
9. Meningkatkan
kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari masyarakat yang berbhineka tunggal ika.
Reformasi
Polri merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan yang juga memiliki
jalinan interidependensi dengan reformasi di sektor lain.
POLISI
SIPIL
Pemisahan
struktur Polri dari TNI perlu diikuti dengan upaya membentuk Polri berwatak
sipil. Mewujudkan Polisi sipil adalah agenda utama reformasi kepolisian dalam
masyarakat yang demokratis. Kata sipil dalam istilah polisi sipil mengandung
beberapa pengertian antara lain:
·
Polisi Sipil
menghormati hak-hak sipil; Masyarakat demokratis membutuhkan polisi sipil yang
mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai ini telah
dirumuskan dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif negara (the
guardian of civilian values).
·
Polisi Sipil
mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Karakter sipil secara luas dikaitkan
dengan nilai-nilai peradaban (civilization) dan keadaban (civility).
Pada polisi sipil melekat sikap sikap budaya yang sopan, santun, ramah, tidak
melakukan kekerasan, dan mengedepankan persuasi menjadi ciri utamanya.
·
Pengertian sipil secara
diametral jauh dari karakteristik
militer, sejalan dengan definisi yang diangkat dalam perjanjian hukum
internasional yang meletakkan kedudukan polisi sebagai kekuatan yang tidak
terlibat perang (non-combatant),
sementara militer didesain untuk berperang (combatant). Fungsi
kepolisian ditujukan untuk menciptakan keamanan dalam negeri, ketertiban dalam
masyarakat, pelayanan dan bantuan kepada masyarakat, penegakan hukum dan
pemolisian masyarakat (community policing). Dan kualitas polisi sipil
diukur dari kemampuannya untuk menjauhkan diri dari karakter militer dan mendekatkan diri kepada masyarakat.
·
Polisi Sipil juga
berbeda dengan Polisi Rahasia. Polisi sipil mengabdi kepada kepentingan
masyarakat yang merupakan pemilik kedaulatan. Mempunyai karakteristik sebagai
polisi masyarakat, yaitu polisi yang menjadi pelindung dan pengayom bagi
masyarakat. Dalam karakter ini, polisi harus mewujudkan pola kerja yang
menyalami, merangkul dan menyayangi masyarakat (police who cares), mengedepankan penggunaan komunikasi
kepada masyarakat, tidak mengandalkan peluru tajam. Kebalikannya Polisi Rahasia
adalah polisi yang taat, patuh dan mengabdi kepada kepentingan politik penguasa
yang sering berbeda dengan kepentingan masyarakat. Sebagai komponen yang
penting dalam sistem pemerintahan yang otoriter, polisi rahasia sering
dilekatkan dengan tindakan yang represif, pengekangan kebebasan kepada
masyarakat, penangkapan semena-mena, bahkan penyiksaan. Konsepsi tentang polisi
rahasia juga sering dilekatkan dengan konsepsi tentang polisi negara (state
police).[7]
Satu
upaya untuk menegaskan jalan bagi Polri menjadi polisi sipil dan melepas
paradigma yang masih berbau militer adalah dengan mengembangkan pemolisian
masyarakat (community policing) di kepolisian. Gagasan ini muncul sebagai
pendekatan terhadap konsep pemolisian tradisional.
REFORMASI POLRI
Secara
historis penggabungan Polri dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI/TNI) melalui Keppres No 290/1964 telah membuat Polri berada dalam posisi yang lemah karena
menjadi subordinasi
satu
institusi militer yang secara prinsipiil memiliki watak dan fungsi yang
bertentangan dengan kepolisian sebagai institusi sipil. Struktur Polri yang
berada di bawah ABRI juga mengakibatkan Polri tidak maksimal menjalankan
tugasnya karena keputusan-keputusan dalam menghadapi beragam kasus
sosial-politik cenderung dipengaruhi bahkan diselesaikan oleh ABRI sebagai
organisasi induknya.
Penggabungan
Polri dan TNI juga berimplikasi pada tidak profesionalnya Polri karena
terjadinya tumpang tindih peran, tugas dan fungsi TNI sebagai kekuatan
pertahanan dengan Polri sebagai kekuatan keamanan dalam negeri dan ketertiban
di bawah ABRI.
Penggabungan
telah membentuk kultur Polri yang militeristik tertanam dalam sistem pendidikan
dan manajemen Polri, sehingga mengakibatkan kerentanan terlibat dalam
pelanggaran hukum dan HAM, baik dalam menjalankan tugas-tugas polisionilnya
maupun bersama-sama TNI sebagai alat pemerintah Orde Baru. Begitupun dalam
penyediaan anggaran, sistem pendidikan, peralatan, keuangan dan kebutuhan
lainnya tidak berbeda dengan apa yang berlaku bagi TNI.
Sebagai
bagian dari ABRI, juga terjadi penyimpangan fungsi Polri sebagai alat
stabilisasi politik rejim Orde Baru. Sebagai akibatnya, Polri juga kehilangan
kepercayaan dari masyarakat karena bertindak represif, melanggar hukum dan HAM
sebagaimana TNI. Gerakan Reformasi 1998 berhasil menurunkan Soeharto sekaligus
membawa perubahan terhadap watak rezim yang berkuasa paska Orde Baru. Termasuk
didalamnya adalah reformasi Polri melalui TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang
Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan
Peran Polri.
Terkait
dengan peran Polri, BAB II Pasal 2 TAP MPR No. VII Tahun 2000 menyatakan;
·
Kepolisian negara
merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan
·
hukum, memberikan
pengayoman, dan perlindungan masyarakat. Dalam menjalankan perannya Polri wajib
memiliki keahlian dan keterampilan profesional
Berdasarkan
kedua TAP MPR tersebut kemudian disusun kebijakan operasional Polri yaitu
Undang-undang No 2 Tahun 2002 Tentang Polri yang merumuskan perubahan paradigma
kepolisian dengan harapan dapat memantapkan kedudukan, peranan serta
pelaksanaan tugas Polri.
Namun,
perubahan yang ada tidak serta merta mengubah pandangan publik terhadap Polri.
Publik belum percaya sepenuhnya kepada Polri karena institusi ini dilihat masih
mewarisi watak militeristik dengan citra “having force and power”.
Pandangan ini seiring dengan masih munculnya kasus kekerasan, pelanggaran HAM,
serta belum adanya penegakan hukum yang berkeadilan dan akuntabel atas
pelanggaranpelanggaran yang melibatkan aparat Polri.
Kedudukan
Polri di bawah Presiden juga menjadi kontroversi. Dari sudut pandang Polri
kedudukan ini mendorong independensi dan otonomi Polri, yang menjamin
profesionalisme Polri. Sementara organisasi masyarakat sipil, politisi dan
militer melihat struktur polisi seperti itu tidak lazim di negara demokrasi.
Posisi Polri dikhawatirkan mendorong institusi kepolisian memasuki wilayah
politisasi Presiden.
Sesuai
dengan prinsip demokrasi, seharusnya reformasi
Polri ditujukan untuk membangun perpolisian yang mempunyai karakter
sipil, berdasar pada norma demokrasi yaitu keterbukaan (openness) dan
akuntabilitas (accountability).
Keterbukaan
berarti polisi adalah bagian dari masyarakat, berintegrasi dengan masyarakat
dan memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Polisi adalah mitra sejajar
masyarakat dalam melawan tindak kriminal dan tidak diskriminatif terhadap
kelompok tertentu baik dalam kepolisian maupun dalam pelaksanaan tugasnya, dan
polisi adalah institusi sipil yang profesional. Akuntabilitas artinya polisi
harus dapat mempertanggungjawabkan semua perilakunya secara hukum,
meminimalisir pelanggaran HAM. Begitupun dalam konteks anggaran, polisi harus
dapat mempertanggungjawabkan penggunaan anggarannya kepada masyarakat dan
pemerintah.
KINERJA POLRI
Kata kinerja berasal dari kata “kerja”yang
artinya perbuatan melakukan sesuatu; sesuatu yang dilakukan (diperbuat).
Kinerja merupakan faktor-faktor manifest dalam perilaku. dasar dasar teori yang
akan dikemukakan tentang pemahaman kinerja sebagai berikut:
menurut WJS Purwodarminto:kinerja adalah hasil
kerja yang dicapai seseorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan
kepadanya. menurut Drs Paustino Cardoso G:kinerja adalah hasil kerja yang
didapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi,
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya
untuk mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legai tidak melanggar
hukum dan sesuai dengan etika. menurut Bernadin dan Russel Memberikan
batasan mengenai kinerja atau performance sebagai berikut:“in the record of
outcomes produced on a specifid job function or activity during a specifiet
time periode”.“pengeluaran yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu
atau kegiatan selama suatu periode waktu tertentu”.
kinerja berasal dari kata” to perform”
mempunyai istilah sebagai berikut: 1). melakukan, menjalankan, dan
melaksanakan, 2). memenuhi atau menjalankan kewajiban dalam suatu permainan,
3). menggambarkan suatu karakter dalam suatu organisasi, 4). menggambarkan
dengan sarana alat music, 50. melaksanakan atau menyempurnakan tangguang jawab,
6). melakukan usaha kegiatan dalam suatu permainan, 7). melakukan sesuatu yang
diharapkan oleh seseorang atau mesin. Jadi kinerja dapat diartikan perencanaan
yang dilaksanakan untuk kelompok atau individu untuk mencapai tujuan atau hasil
yang diharapkan sesuai dengan perencanaan[8].
Kinerja Polisi setelah reformasi adalah:
a. KOD sebagai penjabaran Desentralisasi Administratif Polri.
Kepolisian Indonesia bukan Kepolisian yang total
sentralistis. Semenjak 20 tahun yang lalu, Polri melakukan desentralisaai
administrative dengan menetapkan Polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar (
KOD), yaitu kesatuan yang paling dekat berhubungan dengan masyarakat bertugas
sepenuhnya bertanggung jawab atas seluruh tugas pokok Kepolisian.. Sedangkan
Polsek adalah Kesatuan terkecil yang setingkat dengan Kecamatan / Desa, yang
bertugas untuk mengemban seluruh tugas pokok Kepolisian samapai ke tingkat
Desa, terutama untuk melindungi dan melayani masyarakat. Desentralisasi
Administrratif akan memberi lebih banyak otoritas kekuasaan kepada Polres.
Kejahatan sekarang sudah semakin canggih, tidak mengenal batas wilayah, bahkan
Negara ( transnasional crime), Maka ada kejahatan yang ditangani oleh
Polda samapi Mabes Polri secara berjenjang. Tetapi fungsi utama dari kesatguan
atasan adalah memberikan bantuan tekhnis kepada satuan bawah untuk menerbitkan
petunjuk tekhnis dan petunjuk lapangan karena dalam sistem peradilan pidana
kita, sesuai deliknya, tindak pidana hanya dapat ditangani dengan menyesuaikan
tempat kejadian perkaranya ( locus delicti).
Desentralisasi ini diatur Pasal 10 UU No.2/2002, yang
mengatur konsep tentang pendelegasian wewenang Polri yang menganut pengertain “desentralisasi
administrative“. Pasal 10 (1) ini mengatakan bahwa : “Pimpinan Negara
Republik Indonesia di daerah hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat(2),
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan weweang kepolisian secara
hierarkhie. Dalam rangka menetapkan strategi dan kebijakan pembangunan kekuatan
untuk meningkatkan kemampuan operasional satuan kewilayahan agar mampu
melaksanakan tugas pokoknya secara professional, maka Mabes Polri dijadikan
pusat pengembangan dan penetapan kebijakan strategis secara nasional, polda
seabagi kesatuan yang memiliki kewenangan penuh,polres sebagai basis pelayanan
masyarakatdan polsek sebagai ujung tombak operasional yang langsung
mengendalikan anggotanya di lapangan sebagai pengemban diskresi kepolisian.
Terkait dengan otonomi daerah, strategi pembinaan
kekuatan sangat berhubungan erat dengan kemampuan operasional kewilayahan
polda, polres dan polsek yang berada di lapangan untuk melakukan tindakan
kepolisian secara penuh dan jelas. Penggunaan kekuatan ini sangat tergantung
kepada kemampuan professional anggota Polri di lapangan. Ketika hal ini
terjadi, dimana sejak otonomi daerah dijalankan, dan Pemda memiliki kewenangan
penuh atas penegakan hukum perda melalui Polisi pamong prajanya dan dishub
untuk penertiban parkir, Polri terbentur dengan perbedaan pendapat dan paham
masalah penegakan hukum perda dengan peraturan nasional ( undang-undang)
Dalam konteks ini, Polri sudah harus memberikan
sedikit dari sekian banyak wewenangnya, kepada para perusahaan penjual jasa
keamanan ( dalam konteks ini adalah perusahaan-perusahaan yang mampu secara
kuantitas dan kualiatas) untuk turut serta menjaga aset-aset yang ada di
wilayah operasional polsek, dengan demikian maka pelaksanaan bidang oprasional
bisa lebih fokus dalam pencapaian program-program mabes Polri yang
berkelanjutan misalnya melalui operasi-operasi kepolisian yang bersifat umum
dan khusus. Polres dan Polda sendiri, saat ini sudah dapat melakukan operasi
Kepolisian mandiri kewilayahan sendiri, yaitu jenis operasi kepolisian khusus,
yang dapat dilakukan oleh kekuatan polres atau polda, disesuaikan dengan
tantangan dan kebutuhan dalam hal keamanan dan perkembangan situsi di
wilayahnya masing-masing, misalnya operasi kepolisian mandiri adalah di Polda
Sumatera Selatan melakukan operasi kepolisian yang dilakukan dengan target
sasaran kebakaran hutan baik yang disengaja maupun yang tidak. Hal ini tentunya
disesuaikan dengna karakteristik wilayah sumatera selatan, yang pada musim
kemarau seringkali terjadi kebakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat
maupun perusahaan-perusahaan perkebunan yang mengakibatkan terjadi polusi udara
yang parah sampai merepotkan Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Selain itu, dapat dilakukan kerjasama dengan pihak
pemerintah daerah setempat, ketika dalam periode pemilihan umum daerah yang
sejak masa pentahapan sudah harus diproses dan membutuhkan keamanan, maka polda
atau polres dapat membantu secara mandiri ataupun meminta backup bantuan dari
kesatuan yang ada di atasnya dalam rangka terciptanya kondisi keamanan yang
stabil dan menjamin agar proses tersebut berjalan dengan lancara. Namun dalam
hal ini, seringkali terbentur oleh masalah penggunaan kekuatan yang tidak
seimbang karena terbatasnya angagran, sehingga yang terjadi adalah seringkali
pihak otonomi daerah di pemda yang mempunyai kekuasaan dan ingin juga terlibat
sebagai calon dalam pemilukada ( incumbent), melakukan upaya-upaya agar
pihaknya diberikan privilege, atau keleluasaan bergerak dan perlindungan
khusus, dimana mereka dapat melakukan praktek-praktek yang sebenarnya tidak
boleh dilakukan atau bahkan melanggar tata tertib pemilihan umum daerah , namun
mereka seringkali menawarkan dan pengamanan yang cukub besar untuk, sehingga
resikonya terjadi ketidak objektifan target pengamanan pemilukada.
b. Kinerja Polri di bawah Presiden
Sesuai dengan pengalaman 10 tahun pemisahan dengan
ABRI, Polri terus membenahi diri. Sudah sekitar 6 tahun Polri melakukan
tugasnya mereformasi diri, dan kesempatan untuk kembali dibawah presiden.
Sebagai privilege yang luar biasa, kedudukan KaPolri di bawah Presiden telah
menjadikan Polri lebih oprtimal dan maksimal dalam menjalankan tugasnya. Hal
ini disebabkan karena posisi KaPolri yang langsung mengetahui
permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, keamanan dan politik melalui rapat
dalam sidang Kabinet sehingga dapat menyampaikan juga permasalahan Polri yang
ada saat ini.
Secara Politik, Polri bisa langsung menyampaikan
kebutuhan-kebutuhan institusi dalam rangka menjalankan tugasnya . Dalam hal
ini, diperlukan pemimpin yang sangat professional dalam hal ini KaPolri, yang
dapat memisahkan kepentingan, antara kepentingan Negara maupun kepentingan
pribadi. Hal ini menjadi bias, karena apabila hasil dari demokrasi mejadikan
seorang pemimpin Negara yang otoriter / diktator, maka secara politik, kaPolri
akan langsung dibawah kendali seorang diktator dan menjadikan institutional
sebagai alat kekuasaan. Hal ini bisa saja terjadi karena dalam proses politik,
untuk hal ini pemilihan presiden, semua hal bisa terjadi dan tidak ada hal yang
tidak mungkin dalam politik.
c. Pelaksanaan UU No.2 tahun 2002
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kepolisian, perlu
ditata dahulu rumusan tugas pokok, weweang Kepolisian RI dalam Undang-undang
No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
1.
Fungsi Kepolisian
Pasal 2 :” Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat”. Sedangkan
Pasal 3: “(1) Pengemban fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian khusus, b. pegawai negri sipil
dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. (2) Pengemban fungsi Kepolisian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,b, dan c, melaksanakan fungsi
Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
masing-masing.
2.
Tugas pokok Kepolisian
Pasal 13: Tugas Pokok Kepolisian Negara Rrepublik
Indonesia dalam UU No.2 tahun 20002 adalah sebagai berikut:
1.
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2.
Menegakkan hukum
3.
Memberikan perlindungan,pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. “,
penjabaran tugas Kepolisian di jelaskan lagi apada Pasal 14 UU Kepolisian RI.
3.
Kewenangan Kepolisian
Pada Pasal 15 dan 16 UU Kepolisian RI adalah perincian
mengenai tugas dan wewenang Kepolisian RI, sedangkan Pasal 18 berisi tentang
diskresi Kepolisian yang didasarkan kepada Kode Etik Kepolisian.
Sesuai dengan rumusan fungsi, tugas pokok, tugas dan
weweang Polri sebagaimana diatur dalam UU No2.tahun 2002, maka dapat dikatakan
fungsi utama kepolisian meliputi :
1.
Pre-emtif
2.
Preventif
3.
Represif
Fungsi utama itu bersifat universal dan menjadi ciri
khas Kepolisian, dimana dalam pelaksanaannya Polri lebih mengutamakan Preventif
dari pada represif. Adapun perumusan dari fungsi utama tersebut adalah :
a)
Tugas Pembinaan masyarakat (Pre-emtif)
Segala usaha dan kegiatan pembinaan masyarakat untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat, kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan. Tugas
Polri dalam bidang ini adalah Community Policing, dengan melakukan pendekatan
kepada masyarakat secara sosial dan hubungan mutualisme, maka akan tercapai
tujuan dari community policing tersebut. Namun, konsep dari Community
Policing itu sendiri saat ini sudah bias dengan pelaksanaannya di
Polres-polres. Sebenarnya seperti yang disebutkan diatas, dalam mengadakan perbandingan
sistem kepolisian Negara luar, selain harus dilihat dari administrasi
pemerintahannya, sistem kepolisian juga terkait dengan karakter sosial
masyarakatnya. Konsep Community Policing sudah ada sesuai karakter dan budaya
Indonesia ( Jawa) dengan melakukan sistem keamanan lingkungan ( siskamling)
dalam komunitas-komunitas desa dan kampong, secara bergantian masyarakat merasa
bertangggung jawab atas keamanan wilayahnya masing-masing. Hal ini juga
ditunjang oleh Kegiatan babinkamtibmas yang setiap saat harus selalu mengawasi
daerahnya untuk melaksanakan kegiata-kegiatan khusus.
b)
Tugas di bidang Preventif
Segala usaha dan kegiatan di bidang kepolisian preventif untuk memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselematan orang, benda dan barang
termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan , khususnya mencegah
terjadinya pelanggaran hukum. Dalam melaksanakan tugas ini diperlukan kemampuan
professional tekhnik tersendiri seperti patrolil, penjagaan pengawalan dan
pengaturan.
c)
Tugas di bidang Represif
Di bidang represif terdapat 2 (dua) jenis yaitu represif justisiil dan non
justisiil. UU No. 2 tahun 2002 memberi peran Polri untuk melakukan
tindakan-tindakan represif non Justisiil terkait dengan Pasal 18 ayat 1(1) ,
yaitu weweang ” diskresi kepolisian” yang umumnya menyangkut kasus ringan.
KUHAP memberi peran Polri dalam melaksanakan tugas represif justisiil dengan
menggunakan azas legalitasbersama unsure Criminal Justice Sistem lainnya. Tugas
ini memuat substansi tentang cara penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan
hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bila terjadi tindak pidana, penyidik melakukan
kegiatan berupa:
1.
Mencari dan menemukan suatu peristiwa Yang dianggap sebagai tindak pidana;
2.
Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan;
3.
Mencari serta mengumpulkan bukti;
4.
Membuat terang tindak pidana yang terjadi;
5.
Menemukan tersangka pelaku tindak pidana.
d. Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas)
Lembaga Kepolisian Nasional yang disebut dengan Komisi
Kepolisian Nasional berkedudukan di bawah Presiden. Komisi Kepolisian Nasional
dalam Undang-Undang Kepolisian No.2 tahun 2002, merupakan akomodasi aspirasi
masyarakat yang berkembang tentang perlunya transparansi, pengawasan dan
akuntabilitas Kepolisian Negara RI yang dilakukan oleh suatu lembaga
independen. Selain itu diharapkan adanya lembaga yang objektif dan konsisten
memperhatikan kebijakan-kebijakan untuk Presiden berkenaan dengan tugas pokok Polri.
Menurut UU No.2 tahun 2002 Tugas Kompolnas adalah :
a)
Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara
Republik Indonesia
b)
Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan
Pemberhentian KaPolri.
Wewenang Kompolnas sebagaimana dimaksud ayat (1)
adalah : Mengumpulkan dan menganalisa datam seabagai bahan pemberian saran
kepada Presiden yang berkaitan denganj anggaran Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Pengembangan Sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Memberikan saran dan pertimbangan lain Kepada Presiden dalam rangka
mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang professional dan mandiri,
dan Menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai Kinerja Kepolisian dan
menyampaikan ke presiden.
Melihat komposisi tugas dan wewenang Kompolnas, hal
ini menjadi jelas dan kelihatan sekali, bahwa pengawasan kinerja Kepolisian
dengan indikator keluhan masyarakat sudah resmi dan efisien sebenarnya, namun
saat ini Sosialisasi Kompolnas ke daerah-daerah lain tidak maksimal dan kurang
diketahuui keberadaannya oleh masyarakat. Masyarakat di kabupaten-kabupaten
banyak yang belum mengetahui, karena Kompolnas tidak pernah melakukan
sosialisasi dan memberikan keterangan kepada media massa akan keberadaannya.
Justru Lembaga-lembaga lain yang sebenarnya boleh dikatakan tidak mempunyai
landasan hukum uyang kuat untuk menilai Polri secara objektif seperti
lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Survey, yang sering mempublikasikan
hasil temuannya di media massa yang terkadang diragukan keobjektifitasannya.
Untuk itu, sebaiknya dalam proses pengawasan Polri di masa mendatang, sebaiknya
Kompolnas melakukan tugasnya dan berperan dalam pembuatan opini public yang
dipercaya dan diterima oleh hukum dan masyarakat. Kompolnas harus selalu
terdepan dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan Kinerja Polri dan
dapat dijadikan tolak ukur atau indikator keberhasilan pelaksanaan tugas pokok Polri.
PENUTUP
Dengan reformasi internalnya, Polri
sudah mengalami kemajuan untuk menjadi polisi sipil bagi mewujudkan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum dan perlindungan, pengayom, dan
pelayan masyarakat. Namun, apa yang dicapai itu masih jauh dari harapan
masyarakat yang menginginkan memiliki polisi sipil yang handal, bermoral,
profesional, dan sebagai pelayan masyarakat, yang dicintai dan didukung
masyarakat, serta menjadi kebanggaan rakyat.
Peningkatan moralitas, etika, dan
mensensitifkan hati nurani menjadi kunci pokok dalam mewujudkan harapan
masyarakat. Untuk itu, setiap anggota Polri perlu bertanya pada diri sendiri
“sudah patutkah saya menjadi polisi harapan masyarakat?” Bertanyalah pada hati
nurani sendiri, seandainya saya anggota masyarakat biasa, apa harapan anda
kepada Polri? Sudah memadaikah apa yang saya lakukan selama ini? Hal-hal
seperti itu perlu dilakukan agar perilaku dan kinerja polisi tidak jauh berbeda
dengan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap Polri.
Sebab,
membangun wacana ini dalam masyarakat yang masih bersikap reaktif emosional,
peran pengemban profesi hukum yang profesional dan proporsional akan sangat
menentukan. Jika tidak mampu mencitrakan diri dan jati dirinya, masyarakat akan
terpengaruh untuk tidak patuh dan taat akan hukum. Karena yang kita perlukan
adalah para pengemban profesi hukum yang bisa memerankan unsure idealisme dan
realistisnya dalam mengaplikasikan setiap kinerjanya, sehingga segala bentuk
harapan dan kenyataan akan antara moral dan pengabdian dalam kode etik profesi
hukum akan terwujud dengan sendirinya
Bagi Polri, memenuhi harapan
masyarakat yang begitu banyak dan beraneka ragam kepentingan dan kebutuhan
bukanlah hal yang mudah, apalagi jika dikaitkan dengan keterbatasan personil,
anggaran, dan peralatan yang dimiliki Polri. Namun, mewujudkan harapan itu
bukan sesuatu yang mustahil, tergantung pada niat yang kuat dan tulus.
Perwujudan harapan itu harus dilakukan dari dua arah baik dari Polri maupun
dari masyarakat sendiri. Yang perlu digarap lebih dulu adalah bagaimana
menciptakan kondisi dari dua pihak itu untuk menuju kearah harapan itu.
[1]
__________, Sejarah Kepolisian Indonesia,
( MABES POLRI, 1999), h. 45
[2]
__________, Sejarah Kepolisian Indonesia,
( MABES POLRI, 1999), h. 141
[3] Drs.
Kunarto (Jend. Pol. Purn), Merenungi
Kritik Terhadap Polri; Polri Mandiri,
(Pt. Cipta Manunggal,1999), Hal. 117
[4]
Awaloeddin Djamin, Sistem Administrasi
Kepolisian; Kepolisian Negara Republik Indonesia, (YPIK, Jakarta), h. 69-71
[5] Drs. Kunarto
(Jend. Pol. Purn), Merenungi Kritik
Terhadap Polri; Polri Mandiri, (Pt.
Cipta Manunggal,1999), Hal. 117
[6]
Seri 6 Penjelasan Singkat (Backgrounder), Reformasi
Kepolisian Republik Indonesia, IDSPS (institut for defense scurity and
peace study) dan Rights & Democracy Kanada 06/2008
[7]
Seri 6 Penjelasan Singkat (Backgrounder), Reformasi
Kepolisian Republik Indonesia, IDSPS (institut for defense scurity and
peace study) dan Rights & Democracy Kanada 06/2008
[8] Dali s mora, Profesionalisme
Polisi Republik Indonesia Di Mata Masyrakat Sebagai Profesi Hukum,
diambil pada tanggal 29 november 2011 dari http://mardalli.wordpress.com/2009/05/23/profesionalisme-polisi-republik-indonesia-di-mata-masyrakat-sebagai-profesi-hukum/
DAFTAR
PUSTAKA
1. __________,
Sejarah Kepolisian Indonesia, ( MABES
POLRI, 1999)
2. Drs.
Kunarto (Jend. Pol. Purn), Merenungi
Kritik Terhadap Polri; Polri Mandiri,
(Pt. Cipta Manunggal,1999)
3. Awaloeddin
Djamin, Sistem Administrasi Kepolisian;
Kepolisian Negara Republik Indonesia, (YPIK, Jakarta),
4.
Seri 6 Penjelasan
Singkat (Backgrounder), Reformasi
Kepolisian Republik Indonesia, IDSPS (institut for defense scurity and peace
study) dan Rights & Democracy Kanada 06/2008
5.
Dali s mora, Profesionalisme Polisi Republik Indonesia Di
Mata Masyrakat Sebagai Profesi Hukum, diambil pada tanggal 29
november 2011 dari http://mardalli.wordpress.com/2009/05/23/profesionalisme-polisi-republik-indonesia-di-mata-masyrakat-sebagai-profesi-hukum/