Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawwuf, sastrawan, dan budayawan terkemuka yang hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai abad awal ke-17. (tanggal dan tahun yang tepat tidak ada yang tahu karena sesudah pada masa itu terjadi perselisihan dan banyak kitab-kitab karangan ahli wujudiyah yang dibakar). Nama gelaran atau takhallus [1]yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur.[2] Beliau hidup pada masa kegemilangan kota Barus dan menyaksikan pula maraknya perkembangan kerajaan Aceh Darussalam. Syehk Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tapi beliau juga seorang pembaharu pada masa itu. Beliau juga seorang sufi dan pengarang kitab keilmuan pertama dalam bahasa melayu.
Karangan Syekh Fansuri dalam tasawwuf adalah Zinat Al-Wahidin atau juga dikenal dengan Zinat Al-Muwahidin ( Hiasan Para Ahli Tasawwuf) yang ditulis pada akhir abad ke-16 ketika perdebatan sengit tentang filsafat wujudiyah (wahdat al-wujud) sedang berlangsung di Sumatra khususnya di aceh yang melibatkan ahli-ahli tasawwuf, ushuluddin dan ilmu fiqih terkemuka pada waktu itu. Perdebatan tentang faham wujudiyah ini lebih dikenal sebagai perdebatan tentang a’yan thabitah (esensi segala sesuatu) yang merupakan persoalan sentral didalam wujudiyah.
Banyak orang mengira bahwa ajaran wujudiyah yang berkembang di Indonesia sampai saat ini adalah ajaran martabat tutjuh.[3] pendapat ini tidak benar, sebab martabat tujuh baru berkembang pada abad ke-17. syekh hamzah fansuri , dan juga para wali dipulau jawa abad ke-16 seperti Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, tidak pernah menjadi penganjur ajaran martabat tujuh. Memang ajran martabat tujuh termasuk ajaran wujudiyah namun telah menempuh perkembangan agak lain dan kedalamnya telah masuk pengaruh India.[4]
Sebagai seorang tasawwuf syekh hamzah fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke-16, terutama Bayazid Bisthami, Mansur Al-Hallaj, Fariduddin, ‘Attar, Syekh Junaid Al-Baghdadi, Al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, Rumi, Maghribi, Mahmud Ahbistari, ‘Iraqi Dan Jami.[5]
Inti ajaran wujudiyah adalah untuk menyatakan keesaan Tuhan (tauhid) tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan pengetahiuan-Nya yang berbagai-bagai di alam fenomena (‘alam al-khalq). Tuhan sebagai Zat mutlak satu-satunya dan dalam keesaan-Nya memang tanpa sekutu dan bandingan, dan karenanya Tuhan adalah transenden (tanzih). Tetapi karena dia menampakkan wajah-Nya serta ayat-ayat-Nya diseluruh alam semesta dan didalam diri manusia, maka Dia memiliki kehadiran spiritual di alam kejadian, kalau tidak demikian maka Dia bukan Zat Yang Zahir dan Yang Batin, sebagaimana Al- Qur’an menyatakan,” dan kehampiran-Nya kepada kepada manusia tidak akan lebih dekat dari urat leher manusia sendiri”. Karena manifestasi pengatahuan-Nya berbagai-bagai dan memiliki penampakan Zahir dan Batin, maka disamping transenden Dia juga Immanen (tashbih).[6]
[1] Takhallus adalah sejenis gelaran yang biasanya diambil dari nama kota kelahiran atau negri asal seorang tokoh.
[2] Sebutan orang arab terhadap Barus. Sebuah kota kecil dipantai barat Sumatra yang terletak antara kota sibolga dan singkel.
[3]Ahadiyah, wahdah, wahidiyah, ‘alam al-arwah, ‘alam al-mitsal, ‘alam al-ajsam dan ‘alam al-insan.
[4]Hamzah Fansuri dan risalah tasawwuf dan puisinya hal-20
[5]Ibid hal-21
[6] Pengantar ilmu tasawwuf-proyek pembinaan perguruan tinggi Agama IAIN Sumatra Utara 1981/1982 hal : 189