Sunday, September 30, 2012

Reformasi dan kinerja Polri


LATAR BELAKANG
Polri dalam kilasan sejarah lahir, tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi. Kemerdekaan Indonesia, Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas yang unik dan kompleks. Selain menata keamanan dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat langsung dalam pertempuran melawan penjajah dan berbagai opersai militer bersama-sama satuan angkatan bersenjata yang lain. Kondisi seperti ini dilakukan oleh Polri karena Polri lahir sebagai satu-satunya satuan bersenjata yang relatif lebih lengkap.
Hanya empat hari setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 21 Agustus 1945, secara tegas pasukan polisi segera memproklamirkan diri sebagai Pasukan Polisi Republik Indonesia dipimpin oleh Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin di Surabaya, langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang. Tanggal 29 September 1945 tentara Sekutu yang didalamnya juga terdapat ribuan tentara Belanda menyerbu Indonesia dengan dalih ingin melucuti tentara Jepang. Pada kenyataannya pasukan sekutu tersebut justru ingin membantu Belanda menjajah kembali Indonesia. Oleh karena itu perang antara sekutu dengan pasukan Indonesiapun terjadi dimana-mana. Klimaksnya terjadi pada tanggal 10 Nopember 1945, yang dikenal sebagai "Pertempuran Surabaya".
Tanggal itu kemudian dijadikan sebagai hari Pahlawan secara Nasional yang setiap tahun diperingati oleh bangsa Indonesia Pertempuran 10 Nopember 1945.di Surabaya menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia, bukan hanya karena ribuan rakyat Indonesia gugur, tetapi lebih dari itu karena semangat heroiknya mampu menggetarkan dunia dan PBB akan eksistensi bangsa dan negara Indonesia di mata dunia. Andil pasukan Polisi dalam mengobarkan semangat perlawanan rakyat ketika itupun sangat besar.alam menciptakan keamanan dan ketertiban didalam negeri, POLRI juga sudan banyak disibukkan oleh berbagai operasi militer, penumpasan pemberontakan dari DI & TII, PRRI, PKI RMS RAM dan G 30 S/PKI serta berbagai penumpasan GPK.
Dalam perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern dan global, POLRI bukan hanya mengurusi keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan tetapi juga terlibat dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban regional maupun internasional, sebagaimana yang di tempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan polisi, termasuk Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai operasi kepolisian, misalnya di Namibia (Afrika Selatan) dan di Kamboja (Asia).
Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden. Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.[1]
Sampai periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio. Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 KaPolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).[2]
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat KaPolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karir Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959. Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional. Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri KaPolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak). Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang. Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi KaPolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969. Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai tanda TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan Polisi.
Saat ini, setelah adanya Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April 1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri dan TNI karena dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil society. Untuk sementara, waktu itu, Polri masih diletakkan di bawah Menteri Pertahanan Keamanan.[3]  Akan tetapi,  karena pada waktu itu Menteri dan Panglima TNI dijabat orang yang sama (Jenderal TNI Wiranto),  maka praktis pemisahan tidak berjalan efektif. Sementara peluang yang lain adalah Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan secara nyata adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya diikuti pula oleh Ketetapan MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri secara tegas. Sementara itu, sebelum ketetapan-ketetapan tersebut di atas digulirkan, pada HUT Bhayangkara 1 Juli 2000 dikeluarkan Keppres No. 89/2000 yang melepaskan Polri dari Dephan dan menetapkan langsung Polri di bawah presiden.[4]
Kendati Keppres ini sering disoroti sebagai bahaya karena Kepolisian akan digunakan sewenang-wenang oleh presiden, namun sesungguhnya ia masih bisa dikontrol oleh DPR dan LKN (Lembaga Kepolisian Nasinal) yang merupakan lembaga independen. Adapun tantangan yang dihadapi Polri dewasa ini dan ke depan, terutama adalah perubahan paradigma pemolisian yang sesuai dengan paradigma baru penegakan hukum yang lebih persuasif di negara demokratis, di mana hukum dan polisi tidaklah tampil dengan mengumbar ancaman-ancaman hukum yang represif dan kadang kala menjebak rakyat, melainkan tampil lebih simpatik, ramah, dan familier.

REFORMASI POLRI
Kemandirian Polri diawali sejak terpisahnya dari ABRI tanggal 1 April 1999 sebagai bagian dari proses reformasi haruslah dipandang dan disikapi secara arif sebagai tahapan untuk mewujudkan POLRI sebagai abdi negara yang profesional dan dekat dengan masyarakat, menuju perubahan tata kehidupan nasional kearah masyarakat madani yang demokratis, aman, tertib, adil dan sejahtera.[5]
Kemandirian Polri dimaksud bukanlah untuk menjadikan institusi yang tertutup dan berjalan serta bekerja sendiri, namun tetap dalam kerangkan ketatanegaraan dan pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia yang utuh termasuk dalam mengantisipasi otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Kebijakan tersebut kemudian diikuti dengan dikeluarkannya kebijakan lain berupa TAP MPR No. VI Tahun 2000 Tentang Pemisahan Polri dan TNI, dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 Tentang Peran Polri dan TNI. Kebijakan ini mengakhiri status Polri di bawah garis komando ABRI selama Orde Baru. Dengan pemisahan struktur organisasi ini aparat kepolisian diharapkan tidak lagi tampil dalam performance dan watak yang militeristik, dan dapat bekerja profesional sebagai aparat kepolisian sipil secara profesional.
Pengembangan kemampuan dan kekuatan serta penggunaan kekuatan Polri dikelola sedemikian rupa agar dapat mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Polri sebagai pengemban fungsi keamanan dalam negeri. Tugas dan tanggung jawab tersebut adalah memberikan rasa aman kepada negara, masyarakat, harta benda dari tindakan kriminalitas dan bencana alam.
Secara internal Polri mengartikan pemisahan tersebut sebagai upaya pemandirian Polri dengan melakukan perubahan pada 3 aspek:
1.      Aspek Struktural: Meliputi perubahan kelembagaan kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan.
2.      Aspek Instrumental: Mencakup filosofi (visi, misi dan tujuan),  doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.
3.      Aspek kultural: Meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, dan sistem operasional[6]
Berkenaan dengan uraian tugas tersebut, maka Polri akan terus melakukan perubahan dan penataan baik di bidang pembinaan maupun operasional serta pembangunan kekuatan sejalan dengan upaya Reformasi.
Polri yang mampu menjadi pelindung Pengayom dan Pelayan Masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia, Pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.
Misi Polri yaitu : Berdasarkan uraian Visi sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya uraian tentang jabaran Misi Polri kedepan adalah sebagai berikut :
1.      Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace) sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psykis.
2.      Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya preemtif dan preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat (Law abiding Citizenship).
3.      Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.
4.      Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap  memperhatikan norma - norma dan nilai - nilai yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.      Mengelola sumber daya manusia Polri secara profesional dalam mencapai tujuan Polri yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan masyarakat
6.      Meningkatkan upaya konsolidasi kedalam (internal Polri) sebagai upaya menyamakan Visi dan Misi Polri kedepan.
7.      Memelihara soliditas institusi Polri dari berbagai pengaruh external yang sangat merugikan organisasi.
8.      Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah konflik guna menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
9.      Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari masyarakat yang berbhineka  tunggal ika.
Reformasi Polri merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan yang juga memiliki jalinan interidependensi dengan reformasi di sektor lain.
POLISI SIPIL
Pemisahan struktur Polri dari TNI perlu diikuti dengan upaya membentuk Polri berwatak sipil. Mewujudkan Polisi sipil adalah agenda utama reformasi kepolisian dalam masyarakat yang demokratis. Kata sipil dalam istilah polisi sipil mengandung beberapa pengertian antara lain:
·         Polisi Sipil menghormati hak-hak sipil; Masyarakat demokratis membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai ini telah dirumuskan dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif negara (the guardian of civilian values).
·         Polisi Sipil mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Karakter sipil secara luas dikaitkan dengan nilai-nilai peradaban (civilization) dan keadaban (civility). Pada polisi sipil melekat sikap sikap budaya yang sopan, santun, ramah, tidak melakukan kekerasan, dan mengedepankan persuasi menjadi ciri utamanya.
·         Pengertian sipil secara diametral jauh dari karakteristik  militer, sejalan dengan definisi yang diangkat dalam perjanjian hukum internasional yang meletakkan kedudukan polisi sebagai kekuatan yang tidak terlibat perang (non-combatant),  sementara militer didesain untuk berperang (combatant). Fungsi kepolisian ditujukan untuk menciptakan keamanan dalam negeri, ketertiban dalam masyarakat, pelayanan dan bantuan kepada masyarakat, penegakan hukum dan pemolisian masyarakat (community policing). Dan kualitas polisi sipil diukur dari kemampuannya untuk menjauhkan diri dari karakter militer dan  mendekatkan diri kepada masyarakat.
·         Polisi Sipil juga berbeda dengan Polisi Rahasia. Polisi sipil mengabdi kepada kepentingan masyarakat yang merupakan pemilik kedaulatan. Mempunyai karakteristik sebagai polisi masyarakat, yaitu polisi yang menjadi pelindung dan pengayom bagi masyarakat. Dalam karakter ini, polisi harus mewujudkan pola kerja yang menyalami, merangkul dan menyayangi masyarakat (police who  cares), mengedepankan penggunaan komunikasi kepada masyarakat, tidak mengandalkan peluru tajam. Kebalikannya Polisi Rahasia adalah polisi yang taat, patuh dan mengabdi kepada kepentingan politik penguasa yang sering berbeda dengan kepentingan masyarakat. Sebagai komponen yang penting dalam sistem pemerintahan yang otoriter, polisi rahasia sering dilekatkan dengan tindakan yang represif, pengekangan kebebasan kepada masyarakat, penangkapan semena-mena, bahkan penyiksaan. Konsepsi tentang polisi rahasia juga sering dilekatkan dengan konsepsi tentang polisi negara (state police).[7]
Satu upaya untuk menegaskan jalan bagi Polri menjadi polisi sipil dan melepas paradigma yang masih berbau militer adalah dengan mengembangkan pemolisian masyarakat (community policing) di kepolisian. Gagasan ini muncul sebagai pendekatan terhadap konsep pemolisian tradisional.

REFORMASI POLRI
Secara historis penggabungan Polri dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI/TNI) melalui Keppres No 290/1964 telah membuat  Polri berada dalam posisi yang lemah karena menjadi subordinasi
satu institusi militer yang secara prinsipiil memiliki watak dan fungsi yang bertentangan dengan kepolisian sebagai institusi sipil. Struktur Polri yang berada di bawah ABRI juga mengakibatkan Polri tidak maksimal menjalankan tugasnya karena keputusan-keputusan dalam menghadapi beragam kasus sosial-politik cenderung dipengaruhi bahkan diselesaikan oleh ABRI sebagai organisasi induknya.
Penggabungan Polri dan TNI juga berimplikasi pada tidak profesionalnya Polri karena terjadinya tumpang tindih peran, tugas dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan dengan Polri sebagai kekuatan keamanan dalam negeri dan ketertiban di bawah ABRI.
Penggabungan telah membentuk kultur Polri yang militeristik tertanam dalam sistem pendidikan dan manajemen Polri, sehingga mengakibatkan kerentanan terlibat dalam pelanggaran hukum dan HAM, baik dalam menjalankan tugas-tugas polisionilnya maupun bersama-sama TNI sebagai alat pemerintah Orde Baru. Begitupun dalam penyediaan anggaran, sistem pendidikan, peralatan, keuangan dan kebutuhan lainnya tidak berbeda dengan apa yang berlaku bagi TNI.
Sebagai bagian dari ABRI, juga terjadi penyimpangan fungsi Polri sebagai alat stabilisasi politik rejim Orde Baru. Sebagai akibatnya, Polri juga kehilangan kepercayaan dari masyarakat karena bertindak represif, melanggar hukum dan HAM sebagaimana TNI. Gerakan Reformasi 1998 berhasil menurunkan Soeharto sekaligus membawa perubahan terhadap watak rezim yang berkuasa paska Orde Baru. Termasuk didalamnya adalah reformasi Polri melalui TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
Terkait dengan peran Polri, BAB II Pasal 2 TAP MPR No. VII Tahun 2000 menyatakan;
·         Kepolisian negara merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
·         hukum, memberikan pengayoman, dan perlindungan masyarakat. Dalam menjalankan perannya Polri wajib memiliki keahlian dan keterampilan profesional
Berdasarkan kedua TAP MPR tersebut kemudian disusun kebijakan operasional Polri yaitu Undang-undang No 2 Tahun 2002 Tentang Polri yang merumuskan perubahan paradigma kepolisian dengan harapan dapat memantapkan kedudukan, peranan serta pelaksanaan tugas Polri.
Namun, perubahan yang ada tidak serta merta mengubah pandangan publik terhadap Polri. Publik belum percaya sepenuhnya kepada Polri karena institusi ini dilihat masih mewarisi watak militeristik dengan citra “having force and power”. Pandangan ini seiring dengan masih munculnya kasus kekerasan, pelanggaran HAM, serta belum adanya penegakan hukum yang berkeadilan dan akuntabel atas pelanggaranpelanggaran yang melibatkan aparat Polri.
Kedudukan Polri di bawah Presiden juga menjadi kontroversi. Dari sudut pandang Polri kedudukan ini mendorong independensi dan otonomi Polri, yang menjamin profesionalisme Polri. Sementara organisasi masyarakat sipil, politisi dan militer melihat struktur polisi seperti itu tidak lazim di negara demokrasi. Posisi Polri dikhawatirkan mendorong institusi kepolisian memasuki wilayah politisasi Presiden.
Sesuai dengan prinsip demokrasi, seharusnya reformasi  Polri ditujukan untuk membangun perpolisian yang mempunyai karakter sipil, berdasar pada norma demokrasi yaitu keterbukaan (openness) dan akuntabilitas (accountability).
Keterbukaan berarti polisi adalah bagian dari masyarakat, berintegrasi dengan masyarakat dan memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Polisi adalah mitra sejajar masyarakat dalam melawan tindak kriminal dan tidak diskriminatif terhadap kelompok tertentu baik dalam kepolisian maupun dalam pelaksanaan tugasnya, dan polisi adalah institusi sipil yang profesional. Akuntabilitas artinya polisi harus dapat mempertanggungjawabkan semua perilakunya secara hukum, meminimalisir pelanggaran HAM. Begitupun dalam konteks anggaran, polisi harus dapat mempertanggungjawabkan penggunaan anggarannya kepada masyarakat dan pemerintah.

KINERJA POLRI
Kata kinerja berasal dari kata “kerja”yang artinya perbuatan melakukan sesuatu; sesuatu yang dilakukan (diperbuat). Kinerja merupakan faktor-faktor manifest dalam perilaku. dasar dasar teori yang akan dikemukakan tentang pemahaman kinerja sebagai berikut:
menurut WJS Purwodarminto:kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. menurut Drs Paustino Cardoso G:kinerja adalah hasil kerja yang didapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya untuk mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legai tidak melanggar hukum dan sesuai dengan etika. menurut Bernadin dan Russel Memberikan batasan mengenai kinerja atau performance sebagai berikut:“in the record of outcomes produced on a specifid job function or activity during a specifiet time periode”.“pengeluaran yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama suatu periode waktu tertentu”.
kinerja berasal dari kata” to perform” mempunyai istilah sebagai berikut: 1). melakukan, menjalankan, dan melaksanakan, 2). memenuhi atau menjalankan kewajiban dalam suatu permainan, 3). menggambarkan suatu karakter dalam suatu organisasi, 4). menggambarkan dengan sarana alat music, 50. melaksanakan atau menyempurnakan tangguang jawab, 6). melakukan usaha kegiatan dalam suatu permainan, 7). melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin. Jadi kinerja dapat diartikan perencanaan yang dilaksanakan untuk kelompok atau individu untuk mencapai tujuan atau hasil yang diharapkan sesuai dengan perencanaan[8].
Kinerja Polisi setelah reformasi adalah:
a.      KOD sebagai penjabaran Desentralisasi Administratif Polri.
Kepolisian Indonesia bukan Kepolisian yang total sentralistis. Semenjak 20 tahun yang lalu, Polri melakukan desentralisaai administrative dengan menetapkan Polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar ( KOD), yaitu kesatuan yang paling dekat berhubungan dengan masyarakat bertugas sepenuhnya bertanggung jawab atas seluruh tugas pokok Kepolisian.. Sedangkan Polsek adalah Kesatuan terkecil yang setingkat dengan Kecamatan / Desa, yang bertugas untuk mengemban seluruh tugas pokok Kepolisian samapai ke tingkat Desa, terutama untuk melindungi dan melayani masyarakat. Desentralisasi Administrratif akan memberi lebih banyak otoritas kekuasaan kepada Polres. Kejahatan sekarang sudah semakin canggih, tidak mengenal batas wilayah, bahkan Negara ( transnasional crime), Maka ada kejahatan yang ditangani oleh Polda samapi Mabes Polri secara berjenjang. Tetapi fungsi utama dari kesatguan atasan adalah memberikan bantuan tekhnis kepada satuan bawah untuk menerbitkan petunjuk tekhnis dan petunjuk lapangan karena dalam sistem peradilan pidana kita, sesuai deliknya, tindak pidana hanya dapat ditangani dengan menyesuaikan tempat kejadian perkaranya ( locus delicti).
Desentralisasi ini diatur Pasal 10 UU No.2/2002, yang mengatur konsep tentang pendelegasian wewenang Polri yang menganut pengertain “desentralisasi administrative“. Pasal 10 (1) ini mengatakan bahwa : “Pimpinan Negara Republik Indonesia di daerah hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat(2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan weweang kepolisian secara hierarkhie. Dalam rangka menetapkan strategi dan kebijakan pembangunan kekuatan untuk meningkatkan kemampuan operasional satuan kewilayahan agar mampu melaksanakan tugas pokoknya secara professional, maka Mabes Polri dijadikan pusat pengembangan dan penetapan kebijakan strategis secara nasional, polda seabagi kesatuan yang memiliki kewenangan penuh,polres sebagai basis pelayanan masyarakatdan polsek sebagai ujung tombak operasional yang langsung mengendalikan anggotanya di lapangan sebagai pengemban diskresi kepolisian.
Terkait dengan otonomi daerah, strategi pembinaan kekuatan sangat berhubungan erat dengan kemampuan operasional kewilayahan polda, polres dan polsek yang berada di lapangan untuk melakukan tindakan kepolisian secara penuh dan jelas. Penggunaan kekuatan ini sangat tergantung kepada kemampuan professional anggota Polri di lapangan. Ketika hal ini terjadi, dimana sejak otonomi daerah dijalankan, dan Pemda memiliki kewenangan penuh atas penegakan hukum perda melalui Polisi pamong prajanya dan dishub untuk penertiban parkir, Polri terbentur dengan perbedaan pendapat dan paham masalah penegakan hukum perda dengan peraturan nasional ( undang-undang)
Dalam konteks ini, Polri sudah harus memberikan sedikit dari sekian banyak wewenangnya, kepada para perusahaan penjual jasa keamanan ( dalam konteks ini adalah perusahaan-perusahaan yang mampu secara kuantitas dan kualiatas) untuk turut serta menjaga aset-aset yang ada di wilayah operasional polsek, dengan demikian maka pelaksanaan bidang oprasional bisa lebih fokus dalam pencapaian program-program mabes Polri yang berkelanjutan misalnya melalui operasi-operasi kepolisian yang bersifat umum dan khusus. Polres dan Polda sendiri, saat ini sudah dapat melakukan operasi Kepolisian mandiri kewilayahan sendiri, yaitu jenis operasi kepolisian khusus, yang dapat dilakukan oleh kekuatan polres atau polda, disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan dalam hal keamanan dan perkembangan situsi di wilayahnya masing-masing, misalnya operasi kepolisian mandiri adalah di Polda Sumatera Selatan melakukan operasi kepolisian yang dilakukan dengan target sasaran kebakaran hutan baik yang disengaja maupun yang tidak. Hal ini tentunya disesuaikan dengna karakteristik wilayah sumatera selatan, yang pada musim kemarau seringkali terjadi kebakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan-perusahaan perkebunan yang mengakibatkan terjadi polusi udara yang parah sampai merepotkan Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Selain itu, dapat dilakukan kerjasama dengan pihak pemerintah daerah setempat, ketika dalam periode pemilihan umum daerah yang sejak masa pentahapan sudah harus diproses dan membutuhkan keamanan, maka polda atau polres dapat membantu secara mandiri ataupun meminta backup bantuan dari kesatuan yang ada di atasnya dalam rangka terciptanya kondisi keamanan yang stabil dan menjamin agar proses tersebut berjalan dengan lancara. Namun dalam hal ini, seringkali terbentur oleh masalah penggunaan kekuatan yang tidak seimbang karena terbatasnya angagran, sehingga yang terjadi adalah seringkali pihak otonomi daerah di pemda yang mempunyai kekuasaan dan ingin juga terlibat sebagai calon dalam pemilukada ( incumbent), melakukan upaya-upaya agar pihaknya diberikan privilege, atau keleluasaan bergerak dan perlindungan khusus, dimana mereka dapat melakukan praktek-praktek yang sebenarnya tidak boleh dilakukan atau bahkan melanggar tata tertib pemilihan umum daerah , namun mereka seringkali menawarkan dan pengamanan yang cukub besar untuk, sehingga resikonya terjadi ketidak objektifan target pengamanan pemilukada.
b.      Kinerja Polri di bawah Presiden
Sesuai dengan pengalaman 10 tahun pemisahan dengan ABRI, Polri terus membenahi diri. Sudah sekitar 6 tahun Polri melakukan tugasnya mereformasi diri, dan kesempatan untuk kembali dibawah presiden. Sebagai privilege yang luar biasa, kedudukan KaPolri di bawah Presiden telah menjadikan Polri lebih oprtimal dan maksimal dalam menjalankan tugasnya. Hal ini disebabkan karena posisi KaPolri yang langsung mengetahui permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, keamanan dan politik melalui rapat dalam sidang Kabinet sehingga dapat menyampaikan juga permasalahan Polri yang ada saat ini.
Secara Politik, Polri bisa langsung menyampaikan kebutuhan-kebutuhan institusi dalam rangka menjalankan tugasnya . Dalam hal ini, diperlukan pemimpin yang sangat professional dalam hal ini KaPolri, yang dapat memisahkan kepentingan, antara kepentingan Negara maupun kepentingan pribadi. Hal ini menjadi bias, karena apabila hasil dari demokrasi mejadikan seorang pemimpin Negara yang otoriter / diktator, maka secara politik, kaPolri akan langsung dibawah kendali seorang diktator dan menjadikan institutional sebagai alat kekuasaan. Hal ini bisa saja terjadi karena dalam proses politik, untuk hal ini pemilihan presiden, semua hal bisa terjadi dan tidak ada hal yang tidak mungkin dalam politik.
c.       Pelaksanaan UU No.2 tahun 2002
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kepolisian, perlu ditata dahulu rumusan tugas pokok, weweang Kepolisian RI dalam Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
1.      Fungsi Kepolisian
Pasal 2 :” Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat”. Sedangkan Pasal 3: “(1) Pengemban fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian khusus, b. pegawai negri sipil dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. (2) Pengemban fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,b, dan c, melaksanakan fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum masing-masing.
2.      Tugas pokok Kepolisian
Pasal 13: Tugas Pokok Kepolisian Negara Rrepublik Indonesia dalam UU No.2 tahun 20002 adalah sebagai berikut:
1.      Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2.      Menegakkan hukum
3.      Memberikan perlindungan,pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. “, penjabaran tugas Kepolisian di jelaskan lagi apada Pasal 14 UU Kepolisian RI.
3.      Kewenangan Kepolisian
Pada Pasal 15 dan 16 UU Kepolisian RI adalah perincian mengenai tugas dan wewenang Kepolisian RI, sedangkan Pasal 18 berisi tentang diskresi Kepolisian yang didasarkan kepada Kode Etik Kepolisian.
Sesuai dengan rumusan fungsi, tugas pokok, tugas dan weweang Polri sebagaimana diatur dalam UU No2.tahun 2002, maka dapat dikatakan fungsi utama kepolisian meliputi :
1.      Pre-emtif
2.      Preventif
3.      Represif
Fungsi utama itu bersifat universal dan menjadi ciri khas Kepolisian, dimana dalam pelaksanaannya Polri lebih mengutamakan Preventif dari pada represif. Adapun perumusan dari fungsi utama tersebut adalah :
a)      Tugas Pembinaan masyarakat (Pre-emtif)
Segala usaha dan kegiatan pembinaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan. Tugas Polri dalam bidang ini adalah Community Policing, dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat secara sosial dan hubungan mutualisme, maka akan tercapai tujuan dari community policing tersebut. Namun, konsep dari Community Policing itu sendiri saat ini sudah bias dengan pelaksanaannya di Polres-polres. Sebenarnya seperti yang disebutkan diatas, dalam mengadakan perbandingan sistem kepolisian Negara luar, selain harus dilihat dari administrasi pemerintahannya, sistem kepolisian juga terkait dengan karakter sosial masyarakatnya. Konsep Community Policing sudah ada sesuai karakter dan budaya Indonesia ( Jawa) dengan melakukan sistem keamanan lingkungan ( siskamling) dalam komunitas-komunitas desa dan kampong, secara bergantian masyarakat merasa bertangggung jawab atas keamanan wilayahnya masing-masing. Hal ini juga ditunjang oleh Kegiatan babinkamtibmas yang setiap saat harus selalu mengawasi daerahnya untuk melaksanakan kegiata-kegiatan khusus.
b)      Tugas di bidang Preventif
Segala usaha dan kegiatan di bidang kepolisian preventif untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselematan orang, benda dan barang termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan , khususnya mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Dalam melaksanakan tugas ini diperlukan kemampuan professional tekhnik tersendiri seperti patrolil, penjagaan pengawalan dan pengaturan.

c)      Tugas di bidang Represif
Di bidang represif terdapat 2 (dua) jenis yaitu represif justisiil dan non justisiil. UU No. 2 tahun 2002 memberi peran Polri untuk melakukan tindakan-tindakan represif non Justisiil terkait dengan Pasal 18 ayat 1(1) , yaitu weweang ” diskresi kepolisian” yang umumnya menyangkut kasus ringan. KUHAP memberi peran Polri dalam melaksanakan tugas represif justisiil dengan menggunakan azas legalitasbersama unsure Criminal Justice Sistem lainnya. Tugas ini memuat substansi tentang cara penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bila terjadi tindak pidana, penyidik melakukan kegiatan berupa:
1.      Mencari dan menemukan suatu peristiwa Yang dianggap sebagai tindak pidana;
2.      Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan;
3.      Mencari serta mengumpulkan bukti;
4.      Membuat terang tindak pidana yang terjadi;
5.      Menemukan tersangka pelaku tindak pidana.

d.      Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas)
Lembaga Kepolisian Nasional yang disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan di bawah Presiden. Komisi Kepolisian Nasional dalam Undang-Undang Kepolisian No.2 tahun 2002, merupakan akomodasi aspirasi masyarakat yang berkembang tentang perlunya transparansi, pengawasan dan akuntabilitas Kepolisian Negara RI yang dilakukan oleh suatu lembaga independen. Selain itu diharapkan adanya lembaga yang objektif dan konsisten memperhatikan kebijakan-kebijakan untuk Presiden berkenaan dengan tugas pokok Polri.
Menurut UU No.2 tahun 2002 Tugas Kompolnas adalah :
a)      Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia
b)      Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan Pemberhentian KaPolri.
Wewenang Kompolnas sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah : Mengumpulkan dan menganalisa datam seabagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan denganj anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengembangan Sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia. Memberikan saran dan pertimbangan lain Kepada Presiden dalam rangka mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang professional dan mandiri, dan Menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai Kinerja Kepolisian dan menyampaikan ke presiden.
Melihat komposisi tugas dan wewenang Kompolnas, hal ini menjadi jelas dan kelihatan sekali, bahwa pengawasan kinerja Kepolisian dengan indikator keluhan masyarakat sudah resmi dan efisien sebenarnya, namun saat ini Sosialisasi Kompolnas ke daerah-daerah lain tidak maksimal dan kurang diketahuui keberadaannya oleh masyarakat. Masyarakat di kabupaten-kabupaten banyak yang belum mengetahui, karena Kompolnas tidak pernah melakukan sosialisasi dan memberikan keterangan kepada media massa akan keberadaannya. Justru Lembaga-lembaga lain yang sebenarnya boleh dikatakan tidak mempunyai landasan hukum uyang kuat untuk menilai Polri secara objektif seperti lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Survey, yang sering mempublikasikan hasil temuannya di media massa yang terkadang diragukan keobjektifitasannya. Untuk itu, sebaiknya dalam proses pengawasan Polri di masa mendatang, sebaiknya Kompolnas melakukan tugasnya dan berperan dalam pembuatan opini public yang dipercaya dan diterima oleh hukum dan masyarakat. Kompolnas harus selalu terdepan dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan Kinerja Polri dan dapat dijadikan tolak ukur atau indikator keberhasilan pelaksanaan tugas pokok Polri.

PENUTUP
Dengan reformasi internalnya, Polri sudah mengalami kemajuan untuk menjadi polisi sipil bagi mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum dan perlindungan, pengayom, dan pelayan masyarakat. Namun, apa yang dicapai itu masih jauh dari harapan masyarakat yang menginginkan memiliki polisi sipil yang handal, bermoral, profesional, dan sebagai pelayan masyarakat, yang dicintai dan didukung masyarakat, serta menjadi kebanggaan rakyat.
Peningkatan moralitas, etika, dan mensensitifkan hati nurani menjadi kunci pokok dalam mewujudkan harapan masyarakat. Untuk itu, setiap anggota Polri perlu bertanya pada diri sendiri “sudah patutkah saya menjadi polisi harapan masyarakat?” Bertanyalah pada hati nurani sendiri, seandainya saya anggota masyarakat biasa, apa harapan anda kepada Polri? Sudah memadaikah apa yang saya lakukan selama ini? Hal-hal seperti itu perlu dilakukan agar perilaku dan kinerja polisi tidak jauh berbeda dengan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap Polri.
Sebab, membangun wacana ini dalam masyarakat yang masih bersikap reaktif emosional, peran pengemban profesi hukum yang profesional dan proporsional akan sangat menentukan. Jika tidak mampu mencitrakan diri dan jati dirinya, masyarakat akan terpengaruh untuk tidak patuh dan taat akan hukum. Karena yang kita perlukan adalah para pengemban profesi hukum yang bisa memerankan unsure idealisme dan realistisnya dalam mengaplikasikan setiap kinerjanya, sehingga segala bentuk harapan dan kenyataan akan antara moral dan pengabdian dalam kode etik profesi hukum akan terwujud dengan sendirinya
Bagi Polri, memenuhi harapan masyarakat yang begitu banyak dan beraneka ragam kepentingan dan kebutuhan bukanlah hal yang mudah, apalagi jika dikaitkan dengan keterbatasan personil, anggaran, dan peralatan yang dimiliki Polri. Namun, mewujudkan harapan itu bukan sesuatu yang mustahil, tergantung pada niat yang kuat dan tulus. Perwujudan harapan itu harus dilakukan dari dua arah baik dari Polri maupun dari masyarakat sendiri. Yang perlu digarap lebih dulu adalah bagaimana menciptakan kondisi dari dua pihak itu untuk menuju kearah harapan itu.





[1] __________, Sejarah Kepolisian Indonesia, ( MABES POLRI, 1999), h. 45
[2] __________, Sejarah Kepolisian Indonesia, ( MABES POLRI, 1999), h. 141

[3] Drs. Kunarto (Jend. Pol. Purn), Merenungi Kritik Terhadap Polri; Polri Mandiri,  (Pt. Cipta Manunggal,1999), Hal. 117
[4] Awaloeddin Djamin, Sistem Administrasi Kepolisian; Kepolisian Negara Republik Indonesia, (YPIK, Jakarta), h. 69-71
[5]  Drs. Kunarto (Jend. Pol. Purn), Merenungi Kritik Terhadap Polri; Polri Mandiri,  (Pt. Cipta Manunggal,1999), Hal. 117
[6] Seri 6 Penjelasan Singkat (Backgrounder), Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, IDSPS (institut for defense scurity and peace study) dan Rights & Democracy Kanada 06/2008
[7] Seri 6 Penjelasan Singkat (Backgrounder), Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, IDSPS (institut for defense scurity and peace study) dan Rights & Democracy Kanada 06/2008

[8] Dali s mora, Profesionalisme Polisi Republik Indonesia Di Mata Masyrakat Sebagai Profesi Hukum, diambil pada tanggal 29 november 2011 dari http://mardalli.wordpress.com/2009/05/23/profesionalisme-polisi-republik-indonesia-di-mata-masyrakat-sebagai-profesi-hukum/




DAFTAR PUSTAKA
1.      __________, Sejarah Kepolisian Indonesia, ( MABES POLRI, 1999)

2.      Drs. Kunarto (Jend. Pol. Purn), Merenungi Kritik Terhadap Polri; Polri Mandiri,  (Pt. Cipta Manunggal,1999)
3.      Awaloeddin Djamin, Sistem Administrasi Kepolisian; Kepolisian Negara Republik Indonesia, (YPIK, Jakarta),
4.      Seri 6 Penjelasan Singkat (Backgrounder), Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, IDSPS (institut for defense scurity and peace study) dan Rights & Democracy Kanada 06/2008
5.      Dali s mora, Profesionalisme Polisi Republik Indonesia Di Mata Masyrakat Sebagai Profesi Hukum, diambil pada tanggal 29 november 2011 dari http://mardalli.wordpress.com/2009/05/23/profesionalisme-polisi-republik-indonesia-di-mata-masyrakat-sebagai-profesi-hukum/





No comments:

Post a Comment