Tuesday, September 25, 2012

KINERJA POLISI DALAM MENCAPAI PROFESIONALISME


Latar belakang
“Polisi itu yang penting adalah tugas di lapangan, bukan teori-teori di sekolah. Fakta di lapangan sangat berbeda dengan apa yang diajarkan di kelas. Polisi tugasnya adalah menegakkan hukum, benar atau salah sudah ditentukan dan jelas aturannya. Sekolah dan belajar itu secukupnya ..…… Keberhasilan polisi lebih ditentukan hasil praktek di lapangan, bukan dari teori-teori “.
Pernyataan tersebut masih sering kita dengar, dan diperdebatkan oleh para petugas kepolisian, yang membuat kita bertanya-tanya : Apa peran dan fungsi polisi dalam masyarakat? Tugas Polisi merupakan Profesi atau craft? Jika tugas polisi merupakan profesi berarti polisi harus profesional dan para petugasnya memerlukan keahlian atau ketrampilan tertentu. Bagaimana kalau polisi tidak profesional dalam melaksanakan tugasnya? Apa dampaknya?
Dari pertanyaan tersebut juga dapat dipertanyakan mengapa polisi harus profesional? Dan bagaimana menjadikan polisi profesional? Masih banyak pertanyaan yang dapat dikembangkan untuk mempertanyakan keberadaan, dan fungsi polisi baik sebagai institusi, maupun sebagai petugas dalam melaksanakan pemolisiannya dalam masyarakat.
Dalam masyarakat yang modern untuk dapat bertahan hidup, tumbuh berkembang dituntut adanya produktivitas. Bagi yang tidak dapat melakukan produktivitas akan menjadi beban atau benalu bagi orang lain. Dan dalam proses produktivitas tersebut ada berbagai masalah sosial yang dapat mengganggu, menghambat bahkan mematikan produktivitas tersebut. Untuk melindungi warga masyarakat dalam melaksanakan produktivitasnya diperlukan hukum, norma, aturan-aturan untuk mengatur tata kehidupan dalam masyarakat tersebut. Untuk menegakkannya dan mengajak warga masyarakat mentaatinya diperlukan institusi yang bertugas untuk menangani, salah satunya adalah polisi (lihat Friedman:1992, Bayley :1994, Suparlan: 1999, Rahardjo: 2002). Menurut Profesor Parsudi Suparlan (2004: 34):
“Dalam sebuah masyarakat yang otoriter maka fungsi polisi adalah melayani atasan atau penguasa untuk menjaga kemantapan kekuasaan otoriter pemerintah yang berkuasa. Sedangkan dalam masyarakat madani yang demokratis yang modern dan bercorak majemuk, seperti Indonesia masa kini yang sedang mengalami reformasi menuju masyarakat madani yang demokratis, maka fungsi polisi adalah juga harus sesuai dengan corak masyarakat dan kebudayaan Indonesia tersebut. Jika tidak maka polisi tidak hanya tidak akan berfungsi sebagaimana seharusnya tetapi bahkan tidak akan memperoleh tempat dalam masyarakat Indonesia sebagai pranata yang otonom yang dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat Indonesia”.
Untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat adalah suatu masalah yang kompleks dan saling terkait dan saling mendukung dalam suatu sistem (holistik dan sistemik). Salah satu faktor penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya adalah adanya rasa aman dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitasnya. Masalah keamanan inilah yang menjadi tugas dan tanggung jawab utama Polisi atau petugas kepolisian dalam struktur kehidupan masyarakat, yang berfungsi sebagai pengayom masyarakat, penegak hukum. Yaitu untuk melindungi harkat dan martabat manusia, memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap pelaku kejahatan maupun dalam bentuk upaya pencegahan kejahatan dengan tujuan warga masyarakat dapat hidup dan bekerja maupun melaksanakan aktivitasnya dalam keadaan aman dan tentram (Bachtiar 1994; 1, lihat Suparlan : 2000).

Konsep Profesional Dan Kepolisian
Profesionalisme Orang sering menyebut, baik dalam tulisan maupun pidato tentang profesionalisme Polri tanpa memahami hakiki makna dan aplikasinya dilapangan. Sehingga pengertian dasarnya kabur karena membentuk bentangan spektrum yang luas mulai dari pengertian yang ekstrim sulit sampai dengan yang sederhana saja. Untuk itu, kami akan mengemukakan beberapa pendapat mengenai pengertian profesional agar dapat membantu dalam memahami makna serta penggunaan yang tepat dilapangan. Kata profesionalisme mempunyai ciri dan kriteria sebagai berikut: 1) Keterampilan yang didasarkan atas pengetahuan teoritis, 2) Memperoleh pendidikan tinggi dan latihan kemampuannya diakui oleh rekan sejawatnya, 3) Adanya “ Organisasi Profesi “ yang menjamin berlangsungnya budaya profesi melalui persyaratan untuk memasuki organisasi tersebut, yaitu : ketaatan pada “ kode etik profesi”, 4) Adanya nilai khusus, harus diabadikan pada kemanusian.
Kata “polisi” dalam bahasa indonesia merupakan kata pinjaman dan jelas berasal dari kata belanda “politie”. Adapun kata Belanda “politie” didasarkan atas serangkain kata Yunani Kuno dan Latin yang berasal dari kata Yunani-Kuno “polis”.Kata tersebut berarti “kota” atau “negara kota”. Atas dasar perkembangan itu maka kata “polis”, mendapat pengertian “negara” dan dalam bentuk-bentuk perkembangannya masuk unsur “pemerintah” dan lain sebagainya. Kata Yunani kuno tersebut masuk kedalam bahasa Lain sebagai “poliyia” dan kata itulah yang diduga menjadi kata dasar kata “police” (Inggris), “ politie” (Belanda), “polisi” (Indonesia).
Bilamana secara tepat kata “polisi” mendapat arti yang kini digunakan, sulit dipastikan. Namun demikian, perkembangan sebagimana dicatat di inggris, yang dicatat penggunaan kata “police” sebagai kata kerja yang berarti “memerintah” dan “mengawasi” (sekitar tahun 1589). Selanjutnya sebagai kata benda diartikan “pengawasan”, yang kemudian meluas dan menunjukkan “organisasi yang menangani pengawasan dan pengamanan” (tahun 1716). Di Indonesia, istilah polisi ‘ digunakan dalam pengertian “organisasi pengamanan” pada abad ke-19 dalam interregum Inggris dari 1811 – 1817. wilayah Indonesia saat itu merupakan bagian dari wilayah yang dipimpin “bupati” masing-masing diserahi tugas pengamanan terib hukum dan polisi bertanggungjawab pada bupati setempat itu. Secara historis, posisi kelembagaan kepolisian sebagaimana dipaparkan oleh Harsja Bahtiar dalam bukunya Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang baru, bahwa pada masa penjajahan Hindia Belanda Kepolisian berada di bawah Procedur General (Jaksa Agung), baik itu Besturs Politie (Polisi Pamong Praja) maupun Algeneu Politie (polisi umum). Pada masa revolusi tanggal 19 agustus 1945, Kepolisian merupakan bagian dari Departemen Dalam Negeri.

Kinerja Kepolisian dalam mencapai profesionalisme
Pandangan Masyarakat terhadap Kinerja Polri Kinerja Polri dari hari ke hari telah menampakkan kemajuan yang berarti walaupun belum dapat memenuhi harapan masyarakat. Banyak prestasi yang telah dicapai oleh Polri dalam menemukan penjahat dalam waktu yang relatif tidak lama. Namun, juga masih banyak harapan masyarakat akan dapat ditangkapnya para koruptor besar yang sampai saat ini belum berhasil ditangkap. Keberhasilan Polri melumpuhkan komplotan teroris di Batu-Malang (Jawa Timur) dan menewaskan Dr. Azahari sangat menggembirakan masyarakat. Juga ditemukannya sejumlah bahan peledak dan bom rakitan seperti di Ngebel-Ponorogo dan Bojonegoro, Jawa Timur (Kompas, 12-13 Nov. 2005). Polri pula yang berhasil membongkar dan menangkap produsen Narkoba. Dalam penggrebekannya di desa Cemplang-Serang (Banten) itu Polri menangkap 13 tersangka pelaku termasuk pemilik pabrik, serta menyita sejumlah barang bukti (Republika, 12 Nov. 2005). Konon, pabrik Narkoba itu merupakan terbesar ketiga di dunia dengan omset mencapai kurang lebih satu triliun rupiah setiap minggu (Pelita, 15 Nov. 2005). Keberhasilan-keberhasilan itu diakui oleh masyarakat sebagai prestasi Polri yang membanggakan dan pantas mendapat pujian.
Namun, harus diakui juga bahwa harapan masyarakat untuk memiliki polisi yang benar-benar baik dan bersih masih belum menjadi kenyataan. Masih banyak oknum polisi yang melakukan pelanggaran etika kepolisian, memeras, bahkan melakukan kejahatan Narkoba, penadah perampasan taksi seeperti belum lama berselang (Kompas, 17 Nov. 2005). Masih banyak lagi kejadian kejahatan yang melibatkan polisi dan sering dapat dibaca atau ditonton dalam berita di media massa. Masyarakat juga banyak bergonjing tentang adanya polisi yang menghentikan kendaraan truk terutama di luar kota di mana pengemudinya sudah menyiapkan kotak korek api untuk diberikan kepada oknum polisi itu. Tentu saja kotak itu tidak berisi korek api karena bukan itu yang diminta oleh polisi. Pengurusan Surat Ijin Mengemudi dan surat-surat lainnya pun menjadi “ladang” yang subur bagi pemasukan uang bagi polisi (Indo Pos, 15 Nov. 2005). Masih banyak lagi “ladang” lainnya yang dapat menjadi tempat korupsi polisi, tetapi bukan terhadap uang negara. Korupsi itu korupsi terhadap uang masyarakat secara perseorangan. Hal itu sulit dibuktikan, namun bagi masyarakat dianggapnya bukan rahasia lagi. Hal ini menyebabkan masyarakat belum merasa “menjadi satu” sebagai mitra polisi, pada hal perkara ini sangat penting dalam mendukung tugas polisi. Masyarakat masih takut atau segan berhubungan dengan polisi karena berbagai sebab yang pada umumnya takut “kehilangan” uang. Menjadi saksipun kalau bisa dihindari, demikian pula melaporkan kejadian kehilangan barangnya saja masih ada yang tidak merasa perlu karena pesimis akan manfaatnya, dan bisa jadi ujung-ujungnya akan “kehilangan” uang.
Perilaku menyimpang polisi disebabkan oleh banyak faktor, antara lain pengaruh lingkungan yang mengakibatkan ingin menjalani gaya hidup hedonisme, gaji yang relatif kurang, sikap mental yang buruk, dan diberikannya kekuasaan polisi oleh hukum untuk mengambil tindakan dalam situasi tertentu menurut “pertimbangan sendiri” atau disebut kekuasaan diskresi-fungsional yang menempatkan pribadi-pribadi polisi sebagai faktor sentral dalam penegakan hukum . Jadi, diskresi merupakan kebijakan, keleluasaan atau kemampuan untuk memilih rencana kabijakan atau mempertimbangkan bagi diri sendiri atau suatau kebijakan berdasarkan keleluasaannya untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya. Oleh karena itu, diskresi tidak terlepas dari ketentuan hukum, artinya diskresi itu dilakukan dalam kerangka.
Dari pengertian di atas itulah, maka pribadi-pribadi polisi mendapat peran yang sangat penting dan sentral dalam penegakan hukum. Polisi merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan tegaknya hukum. Namun, jika polisi tidak memiliki integritas moral yang tinggi dan kuat, maka dengan kekuasaan diskresi-fungsional tersebut justru memberi peluang untuk menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan pribadinya sendiri yang tidak untuk tegaknya hukum dan keadilan dengan melakukan tindakan yang bernuansa pemerasan atau intimidasi ataupun rekayasa dan kolusi dalam penanganan suatu perkara.
Untuk mencegah digunakannya kekuasaan diskresi-fungsional yang tidak proporsional, maka masalah peningkatan moral, etika dan berfungsinya hati nurani menjadi sangat penting. Moral dan etika akan menjadi pendorong untuk menjadi polisi yang baik, yang menuntun sikap, tindakan, dan perilaku polisi. Moralitas adalah norma atau standard tingkah laku manusia yang didasarkan atas pertimbangan benar-salah, dan baik-buruk. Etika merupakan nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah. Menghidupkan berfungsinya hati nuarani juga sangat penting karena sesungguhnya hati nurani tidak pernah bohong. Hati nurani yang sensitif (tidak tumpul) dapat mengarahkan pada hal-hal yang baik dan terpuji.
Pentingnya peningkatan moral dan etika serta mensensitifkan hati nurani itu juga berkaitan dengan prinsip bahwa “yang legal belum tentu bermoral.” Kalau berdasarkan legal saja maka seperti jawaban Eichman (Nazi Jerman) ketika dalam proses peradilan ditanya” mengapa dia tega membunuh puluhan ribu manusia” yang dengan entengnya dijawabnya “saya tidak bersalah karena saya taat”. Orang yang berpikir hanya berdasar legalitas saja akan cenderung seperti Machiavellis yang berprinsip “tujuan menghalalkan cara” yang menumpulkan hati nurani. Di samping itu, ada masalah keseharian polisi yaitu persoalan menggunakan hukum. Apabila hukum digunakan oleh polisi secara semestinya niscaya kedilan akan mendukung terwujudnya keadilan dan citra polisi akan membaik. Mungkin ada aturan hukum yang tidak sempurna, tetapi akan menciptakan kebaikan jika penegak hukumnya baik. Sebaliknya, hukum yang baik tidak menjamin akan terciptanya keadilan, keteriban atau kebaikan jika aparat penegak hukumnya buruk. Disini lagi menunjukkan pentingnya moral, etika dan hati nurani diketengahkan.
Sikap dan perilaku anggota Polri terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara R.I. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya anggota Polri harus dapat mencerminkan kepribadian Bhayangkara Negara seutuhnya. Anggota Polri juga harus menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya seperti dirumuskan dalam Kode Etiknya yang merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila (Kansil, 2003: 152-153). Kode Etik tersebut bukan hanya untuk dihafalkan tetapi harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam melaksanakan tugasnya.
Untuk mewujudkan tugas pokok tersebut tentunya perlu dukungan dari masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum adalah sangat penting. Partisipasi itu bisa terwujud apabila masyarakat merasa memiliki dan mencintai Polri. Hal itu bisa terwujud jika Polri dapat merebut hati masyarakat, dekat dengan masyarakat dengan menunjukkan sikap, perilaku, dan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Pengungkapan masalah-masalah tersebut di atas mungkin dirasakan “pahit” bagi Polri, tetapi kebanyakan obat adalah pahit. Anggaplah itu sebagai obat yang pahit yang perlu bagi polisi untuk memperbaiki diri. Yang jelas pengungkapan ini tidak bermaksud memojokkan Polri, tetapi didasari oleh kecintaan pada Polri dan keinginan memiliki polisi sipil yang bersih, berwibawa, bermartabat dan bermoral, yang benar-benar dapat menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat yang baik. Di negara manapun, keinginan masyarakat adalah seperti itu.
Harapan Masyarakat terhadap Kinerja Polri Harapan masyarakat sudah banyak disebutkan pada perbincangan sebelumnya, yang pada intinya masyarakat ingin agar Polri dapat mewujudkan tugas pokoknya dengan baik, yang dilandasi oleh moralitas, profesionalisme sebagai polisi sipil, dan memiliki kedekatan dengan rakyat yang positif. Harapan itu sebenarnya tidak berlebihan. Untuk itu, setiap anggota Polri juga harus memperhatikan beberapa hal, yaitu: 1) Mengenal diri, artinya tahu dan paham, dan menghayati benar siapa dirinya (sebagai anggota polisi sipil), paham dan menghayati tugasnya dan bagaiman melakukan tugas dengan baik, serta memahami apa yang menjadi keharusan dan larangannya, 2) Integritas pribadi, artinya bersikap jujur, adil, dan amanah dalam melakukan tugas, 3) Pengendalian diri, yang berarti dapat menunda gratifikasi dan bertindak secara proporsional serta tidak emosional, 4) Komitmen dan konsistensi, artinya memiliki tekad yang kuat untuk menjadi polisi yang baik sebagai pelindung, pengayom,dan pelayan masyarakat, 5)Kepercayaan diri, artinya dalam melaksanakan tugas tidak bersikap ragu-ragu, tegas tetapi tetap terukur dan tetap sopan santun, 6) Fleksibel, berarti tidak bersifat kaku dalam bertindak. Di samping itu, perlu diperhatikan bahwa masyarakat berharap Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak berpolitik praktis seperti ditegaskan dalam pasal 28 Undang-Undang tentang Kepolisian Negara R.I. Jangan lagi karena kepentingan sesaat Polri terlibat dalam politik praktis seperti dalam kampanye dengan memobolisasi para purnawirawannya, karena jika hal itu terjadi akan merugikan Polri dan menjauhkan Polri dari masyarakat yang sangat majemuk dan bermacam paham politik.

Penutup
Dengan reformasi internalnya, Polri sudah mengalami kemajuan untuk menjadi polisi sipil bagi mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum dan perlindungan, pengayom, dan pelayan masyarakat. Namun, apa yang dicapai itu masih jauh dari harapan masyarakat yang menginginkan memiliki polisi sipil yang handal, bermoral, profesional, dan sebagai pelayan masyarakat, yang dicintai dan didukung masyarakat, serta menjadi kebanggaan rakyat.
Peningkatan moralitas, etika, dan mensensitifkan hati nurani menjadi kunci pokok dalam mewujudkan harapan masyarakat. Untuk itu, setiap anggota Polri perlu bertanya pada diri sendiri “sudah patutkah saya menjadi polisi harapan masyarakat?” Bertanyalah pada hati nurani sendiri, seandainya saya anggota masyarakat biasa, apa harapan anda kepada Polri? Sudah memadaikah apa yang saya lakukan selama ini? Hal-hal seperti itu perlu dilakukan agar perilaku dan kinerja polisi tidak jauh berbeda dengan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap Polri.

Daftar Pustaka
Harsja w. Bachtiar, Ilmu Kepolisian; Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan Yang Baru, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994
Parsudi suparlan, Ilmu Kepolisian, Jakarta, YPKIK, 2008
Wik Djatmika, Kurikulum Sejarah Kepolisian Pada Pendidikan Polri, Jakarta, 2010
__________, Sejarah Kepolisian Di Indonesia, Jakarta, Mabes Polri, 1999

No comments:

Post a Comment