Wednesday, September 5, 2012

KEJAHATAN KORPORASI DALAM BENCANA LUMPUR LAPINDO


Pendahuluan
Secara konsep kebijakan pembangunan sudah memasukkan faktor kelestarian lingkungan sebagai hal yang mutlak untuk dipertimbangkan, namun dalam implementasinya terjadi kekeliruan orientasi kebijakan yang tercermin melalui berbagai peraturan yang terkait dengan sumber daya alam. Peraturan yang dibuat cenderung mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tanpa perlindungan yang memadai, sehingga membuka ruang yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal.[1]
Tidak adanya peraturan yang jelas terhadap para pemilik modal menimbulkan adanya eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Dampak dari eksploitasi alam secara besar-besaran sebagai akibat kekeliruan implementasi kebijakan pembangunan tersebut mulai dirasakan rakyat Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Berbagai bencana terjadi silih berganti, mulai dari bencana yang diakibatkan oleh dampak fenomena alam seperti Tsunami di Aceh, tanah longsor dan banjir di berbagai daerah sampai pada bencana yang diakibatkan adanya faktor kelalaian manusia dalam usaha mengeksploitasi alam tersebut seperti kasus Teluk Buyat di Sulawesi, Freeport di Papua sampai dengan yang sekarang menjadi bencana nasional yaitu kasus semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur.
Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.[2]
Dampak dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur sejak 27 Mei 2006 ini telah mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas  sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan jumlah ini akan terus bertambah bila penanganan terhadap semburan lumpur tidak secara serius ditangani. Lumpur gas panas Lapindo selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar semburan lumpur. Tulisan lingkungan fisik diatas adalah untuk membedakan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatannya, dimana dalam kasus ini mengalami gangguan Daud Silalahi menganggap hal ini sebagai awal krisis lingkungan karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.[3]

Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker.4 Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.[4]
Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Perpecahan warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh Lapindo,6 rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran (menggunakan snubbing unit) dan  (pembuatan relief well) mengalami kegagalan. Akhirnya, yang muncul adalah konflik horisontal. Berdasarkan hal tersebut, “Apakah dalam kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. ini telah terjadi tindak pidana kejahatan korporasi?”. Untuk mendapatkan jawabannya maka dilakukan sebuah studi penelitian hukum normatif-kualitatif dan hasilnya menunjukkan bahwa dilihat dari aturan-aturan hukum yang berlaku, Lapindo Brantas Inc. telah melakukan pelanggaran hukum tindak pidana kejahatan korporasi. Diharapkan agar segera melakukan perbaikan kondisi lingkungan hidup dan aparat penegak hukum melakukan tindakan penegakkan hukum lingkungan.


Penyebab terjadinya lumpur lapindo
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) sampai mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung. Setidaknya ada 3 aspek yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas tersebut:
Pertama, adalah aspek teknis. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur (liquefaction) adalah gempa (sudden cyclic shock) Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen.[5]
Kedua, aspek ekonomis. Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saat ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur.[6] Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga “sengaja menghemat” biaya operasional dengan tidak memasang casing. Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah satu pemegang saham wilayah Blok Brantas, dalam surat bernomor MGT-088/JKT/06, telah memperingatkan Lapindo untuk memasang casing (selubung bor) sesuai dengan standar operasional pengeboran minyak dan gas. Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak memasang casing, sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur yang ada di perut bumi menyembur keluar tanpa kendali.[7]
Ketiga, aspek politis. Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam.[8]
Poin inilah yang paling penting dalam kasus lumpur panas ini. Pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai kebijakannya. Alhasil, seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana ekosistem. Di Jawa Timur saja, tercatat banyak kasus bencana yang diakibatkan lalainya para korporat penguasa tambang migas, seperti kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban, milik Devon Canada dan Petrochina (2001); kadar hidro sulfidanya yang cukup tinggi menyebabkan 26 petani dirawat di rumah sakit. Kemudian kasus tumpahan minyak mentah (2002) karena eksplorasi Premier Oil.18 Yang terakhir, tepat 2 bulan setelah tragedi semburan lumpur Sidoarjo, sumur minyak Sukowati, Desa Campurejo, Kabupaten Bojonegoro terbakar. Akibatnya, ribuan warga sekitar sumur minyak Sukowati harus dievakuasi untuk menghindari ancaman gas mematikan. Pihak Petrochina East Java, meniru modus cuci tangan yang dilakukan Lapindo, mengaku tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran.
Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari persoalan kepemilikan. Dalam perspektif Kapitalisme dan ekonomi neoliberal seperti di atas, isu privatisasilah yang mendominasi.

Pengertian kejahatan korporasi
Kejahatan korporasi dalam pengertian gramatikal merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Pengertian lain mengenai kejahatan korporasi juga dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary, Any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime”. Bahwa kejahatan korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh dan karenanya dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), dan kejahatan ini sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.
Suatu tindak pidana dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana  atau criminal liability. Terkait dengan kejahatan korporasi, maka timbul pertanyaan mengenai bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan atau naturlijkee person. Selain daripada itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberikan sanksi, siapa yang akan bertanggungjawab, apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurus korporasi tersebut.
Didalam KUHP memang hanya ditetapkan bahwa yang menjadi subyek tindak pidana adalah orang perseorangan. Meskipun seharusnya pembuat undang-undang dalam merumuskan delik juga harus memperhitungkan bahwa manusia  juga melakukan suatu tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan oleh karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Dan berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga, KUHP saat ini tidak dapat menjadi landasan untuk  memperoleh pertanggungjawaban pidana dari sebuah korporasi, karena hanya dimungkinkan pertanggungjawabannya oleh pengurus korporasi.
Meskipun saat ini KUHP tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda mengenai arti “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, sebagaimana undang-undang yang disebutkan dibawah ini :
  1. UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi;
  2. UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan; dan
  3. UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.21 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan lain-lain.
  4. UU No. 5 Tahun 1999[9]
Di Indonesia sendiri, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat berdasarkan isi Pasal 46 Bab IX mengenai ketentuan  pidana yang mengadopsi doktrin vicarious liability.
Terhadap hal-hal diatas baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, memang sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. Di Indonesia sendiri, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia.[10]




Analisa
Melihat fakta-fakta dilapangan serta bila dihubungkan dengan unsur-unsur terjadinya kejahatan lingkungan oleh korporasi, dimana dalam hal ini korporasi tersebut adalah Lapindo Brantas Inc sebagai pemegang kuasa pertambangan ekplorasi dan eksplotasi migas di Blok Brantas Kec. Porong Sidoarjo dari BP Migas, maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, baik melalui unsur kesengajaan atau pun kelalaian. Kedua unsur tersebut dapat digunakan untuk menjerat korporasi kedalam pembebanan tanggungjawab pidana. Dalam UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga terdapat pasal yang menerangkan apabila dilakukan karena kelalaian korporasi tersebut dapat juga dijadikan pelaku dalam kejahatan lingkungan hidup.
Perbuatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok Brantas yang telah terjadi selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya pelanggaran terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan terjadinya kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari semburan lumpur tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun korban serta lingkungan yang rusak terus bertambah besar dan luas jumlahnya, tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti menenggelamkan Kec. Porong dan  sekitarnya. Yang sangat jelas terlihat saat ini adalah Lapindo Brantas/EMP sebagai pemegang hak eksploitasi dan eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal 45 undangundang tersebut. Namun tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan atau kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi hukuman. Dan hal ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilan akan terkoyak. Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas, penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan Lapindo sebagai pelaku kejahatan korporasi lingkungan.[11]
Berbeda dari sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan dalam pembuktian sebuah perbuatan pidana, dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak, hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa, yang artinya adalah dalam melakukan perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui atau menyadari potensi hasil dari perbuatannya dapat merugikan pihak lain, maka keadaan ini telah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana kepadanya. Hal ini tentu saja dapat dilakukan oleh hakim sebagai living interpretator yang dapat menangkap semangat keadilan yang hidup ditengahtengah masyarakat dan hakim juga dapat mematahkan kekakuan normatif prosedural undang-undang karena seiring dengan perkembangan hukum dan beradabnya negara-negara di seluruh dunia, hakim tidak lagi sekedar hanya mulut atau corong undang-undang
Melihat kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini, mustahil bahwa Lapindo sendiri tidak menyadari bahwa lingkungan sekitar daerah penggalian migas adalah merupakan pemukiman penduduk dan pabrik-pabrik kecil milik warga. Polisi sendiri, telah memeriksa setidaknya 6 orang tersangka yang berasal dari karyawan Lapindo sendiri dan karyawan dari PT. Medici Citra Nusa sebagai pemegang sub kontrak Drilling (pengeboran) dari pihak Lapindo, pihak berwenang mengatakan, para tersangka untuk saat ini diancam dengan Pasal 188 KUHP dan Pasal 41 dan Pasal 42 ayat 1e dan 2e UUPLH No.23 Tahun 1997126. Adapun isi dari Pasal 188 KUHP adalah sebagai berikut :
”Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika karena timbul bahaya umum bagi barang, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya mengakibatkan matinya orang.”
Bahwa kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. Merupakan tindak pidana kejahatan korporasi, karena :
1.      Penyebab luapan lumpur diakibatkan karena kesalahan dan kelalaian Lapindo Brantas Inc. Dalam melakukan pengeboran. Dan juga karena telah melanggar peraturan mengenai tata ruang dan peraturan lingkungan hidup.
2.      Dampak yang diakibatkan adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas yang dilakukan di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc. Telah mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di sekitar wilayah Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur. Dampak kerusakan tersebut telah mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik, lumpuhnya sector ekonomi pertanian dan industri, kerugian social dan budaya masyarakat, serta penurunan kualitas kehidupan masyarakat terdampak seperti yang selama ini kita lihat.

Penutup
Lumpur lapindo adalah sebuah kejadian yang patut kita cermati sebaik mungkin karena sudah banyak dampak kerugian yang dialami oleh masyarakt sekitarnya, serta tidak adanya tanggung jawab dari pihak LAPINDO semakin menjadikan masyarakt berada dalam kesulitan yang disebabkan oleh Lumpur LAPINDO. Dengan demikian perlu adanya tindakan hukum yang jelas terhadap LAPINDO, baik secara persero maupun terhadap perorangan yang bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut.



Daftar Pustaka
1.      Koesnadi Hardjasoemantri, Pentingnya Payung Hukum dan Pelibatan Masyarakat dalam Buku Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, 2005
2.      Wikipedia Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006
3.      Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung. Penerbit Alumni. 1996.
4.      Kompas, 19 Juni 2006
5.      Hot Mud Flow in East Java, Indonesia, Blog
6.      Wikipedia Indonesia, Lapindo Brantas, dan lihat website BPMIGAS
7.      Lumpur, Kesengajaan atau Kelalaian?” di ambil pada tanggal 15 Februari 2012 dari:  http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/060719_lumpur_li/
8.      Cabut PSC Lapindo, Solusi Terhadap Ancaman Bencana Bagi Masyarakat di Sekitar Blok Brantas, diambil pada tanggal 13 Februari 2012 dari: http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/industri/060728_psclapindo_rep/
9.      Kosparmono Irsan,  “Kejahatan Korporasi; BAB IV”, Jakarta 2007
10.  Kejahatan Korporasi, diambil pada tanggal 15 februari 2012 dari: http://www.tanyahukum.com/perusahaan/114/kejahatan-korporasi/
Fredrik.J. Pinakunary, Advocates pada Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, Lapindo dan Pidana Mutlak, Koran Kompas, Des 2006.


[1] Koesnadi Hardjasoemantri, Pentingnya Payung Hukum dan Pelibatan Masyarakat dalam Buku Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, 2005, Hal XVI.
[2] Wikipedia Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006
[3] Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung. Penerbit Alumni. 1996. Hal 9
[4] Kompas, 19 Juni 2006
[5] Hot Mud Flow in East Java, Indonesia, Blog
[6] Wikipedia Indonesia, Lapindo Brantas, dan lihat website BPMIGAS
[7]Lumpur, Kesengajaan atau Kelalaian?” di ambil pada tanggal 15 Februari 2012 dari:  http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/060719_lumpur_li/
[8] Cabut PSC Lapindo, Solusi Terhadap Ancaman Bencana Bagi Masyarakat di Sekitar Blok Brantas, diambil pada tanggal 13 Februari 2012 dari: http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/industri/060728_psclapindo_rep/
[9]Kosparmono Irsan,  “Kejahatan Korporasi; BAB IV”, Jakarta 2007
[10]“ Kejahatan korporasi” diambil pada tanggal 15 februari 2012 dari: http://www.tanyahukum.com/perusahaan/114/kejahatan-korporasi/
[11] Fredrik.J. Pinakunary, Advocates pada Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, Lapindo dan Pidana Mutlak, Koran Kompas, Des 2006.

No comments:

Post a Comment