Friday, September 28, 2012

Perbandingan Sistem Kepolisian Amerika Serikat, Jepang Dan Indonesia; Sistem Kepolisian Ideal Di Indonesia


Latar belakang
Sistem Kepolisian suatu Negara sangat dipengaruhi oleh Sistem Politik serta control social yang diterapkan. Kepolisian Negara RI berdiri semenjak 1 Juli 1946 yang berbentuk Jawatan tersendiri berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 11/S.D Kepolisian beralih status menjadi Jawatan tersendiri dibawah langsung Perdana Mentri. Ketetapan Pemerintah tersebut menjadikan kedudukan Polisi setingkat dengan Departemen dan kedudukan Kepala Kepolisian Negara (KKN) setingkat dengan Menteri. Dengan Ketetapan itu, Pemerintah mengharapkan Kepolisian dapat berkembang lebih baik dan merintis hubungan vertical sampai ketingkat kecamatan-kecamatan. Kepolisian Republik Indonesia sebelumnya telah mengeluarkan Proklamasi Kepolisian untuk menyatakan sikap setia kepada Proklamasi Bangsa Indonesia 1945.
Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden. Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.[1]
Sampai periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio. Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).[2]
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karir Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959. Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional. Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak). Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang. Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969. Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai tanda TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan Polisi.
Saat ini, setelah adanya Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April 1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri dan TNI karena dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil society. Untuk sementara, waktu itu, Polri masih diletakkan di bawah Menteri Pertahanan Keamanan.  Akan tetapi,  karena pada waktu itu Menteri dan Panglima TNI dijabat orang yang sama (Jenderal TNI Wiranto),  maka praktis pemisahan tidak berjalan efektif. Sementara peluang yang lain adalah Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan secara nyata adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya diikuti pula oleh Ketetapan MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri secara tegas. Sementara itu, sebelum ketetapan-ketetapan tersebut di atas digulirkan, pada HUT Bhayangkara 1 Juli 2000 dikeluarkan Keppres No. 89/2000 yang melepaskan Polri dari Dephan dan menetapkan langsung Polri di bawah presiden.[3]
Kendati Keppres ini sering disoroti sebagai bahaya karena Kepolisian akan digunakan sewenang-wenang oleh presiden, namun sesungguhnya ia masih bisa dikontrol oleh DPR dan LKN (Lembaga Kepolisian Nasinal) yang merupakan lembaga independen. Adapun tantangan yang dihadapi Polri dewasa ini dan ke depan, terutama adalah perubahan paradigma pemolisian yang sesuai dengan paradigma baru penegakan hukum yang lebih persuasif di negara demokratis, di mana hukum dan polisi tidaklah tampil dengan mengumbar ancaman-ancaman hukum yang represif dan kadang kala menjebak rakyat, melainkan tampil lebih simpatik, ramah, dan familier.
Reformasi Polri yang dimulai sejak tahun 1998 dikukuhkan dengan TAP MPR No. VI dan VII tahun 1999 dan sangat penting adalah UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai landasan operasional dan pembinaan Polri yang mengatur fungsi, tugas pokok, tugas-tugas dan wewenang  yang harus dilaksanakan setepat mungkin dan sebaik mungkin.

Kerangka Berpikir
Keberadaan lembaga kepolisian dalam suatu negara mutlak diperlukan. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak mempunyai lembaga kepolisian. Namun demikian, antara satu lembaga kepolisian pada suatu negara belum tentu menggunakan sistem kepolisian yang sama pula dikarenakan adanya pengaruh dari faktor sistem politik/pemerintahan yang dianut serta mekanisme sistem kontrol sosial yang berlaku dalam negara tersebut. Bahkan dengan sistem pemerintahan yang sama-sama menganut paham demokratis pun, belum tentu menggunakan sistem kepolisian yang sama.
William Doener dan M.L. Dantzker, dalam bukunya ” contemporary Police Organization and Management, Issues and Trends“, menyatakan bahwa “Ketika pengamat membandingkan Sistem Kepolisian Amerika bagaimana penegakaan hukum dijalankan di lain Negara, satu kunci perbedaan segera dapat dilihat bahwa Kepolisian Amerika sangat terpisah, desentralisasi organisasi. Sebagai contoh, banyak Negara mengadopsi satu organisasi,biro, atau departemen untuk menegakkan hukum secara nasional.”
Pemahaman Konsep Sistem, adalah suatu kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan bagian-bagian yang saling berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama berdasarkan aturan tertentu, untuk mencapai tujuan dari system. ( Prof. Djoko Sutono, C.W. Churchman, Matheus, Lempiro). Di dunia ada 3 ( tiga ) kelompok sistem yaitu:
1.      Fragmented System of Policing ( Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri) Disebut juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.
2.      Centralized System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpusat) . Berada langsung dibawah kendali pemerintah. Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.
3.      Integrated System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpadu), disebut juga system desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system control yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut hal ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, Inggris dan Indonesia.
Masing-masing sistem kepolisian tersebut memiliki kelebihan serta kelemahan tersendiri sehingga memang benar apabila disebutkan bahwa ”tidak ada satu sistem kepolisian yang sempurna”. Oleh karena itulah dalam praktik kepolisian dipandang perlu untuk menelaah lebih lanjut terkait dengan berbagai kelemahan maupun kelebihan dimaksud melalui suatu metode perbandingan antar sistem kepolisian dalam rangka mendapatkan pemahaman secara integral tentang perbedaan yang terdapat antara suatu sistem kepolisian pada suatu negara tertentu dengan sistem kepolisian negara lain.
Outcome yang hendak dicapai dari hasil perbandingan sistem kepolisian dimaksud antara lain agar dapat diambil suatu manfaat dari suatu sistem kepolisian negara tertentu bagi negara lainnya, antara lain berupa penataan dan pengembangan organisasi (organizational development) serta pengembangan potensi kerjasama kerjasama antar lembaga kepolisian beberapa negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis hendak menulis tentang perbandingan sistem kepolsian di Amerika Serikat, Jepang dan Indonesia, dalam rangka menelaah berbagai kelebihan serta kelemahan yang terdapat pada sistem kepolisian yang di ketiganegara tersebut dan selanjutnya mengambil manfaat-manfaat terutama yang terdapat dalam sistem kepolisian Amerika Serikat dan Jepang guna dijadikan sebagai faktor pembanding terhadap sistem kepolisian di Indonesia. Manakala faktor pembanding dimaksud dipandang dapat diterapkan pada sistem kepolisian di Indonesia serta memiliki prospek positif dalam peningkatan profesionalisme lembaga kepolisian di Indonesia, maka dapat diupayakan suatu strategi terkait dengan aplikasinya.
Permasalahan
Kedudukan sistem Kepolisian Indonesia saat ini dapat dikategorikan sebagai Integrated System of policing telah menjadikan posisi Kepolisian menjadi kekuatan yang bersifat Nasional sebagai intstitusi namun juga berkapasitas fragmented ( kedaerahan). Apakah sistem yang sekarang ini merupakan sistem Kepolisian yang tepat untuk diterapkan di Indonesia?

Sebelum kita membahas system apa yang terbaik bagi negara kita, sebelumnya kita akan membahas system yang digunakan oleh beberapa negara, diantaranya adalah Amerika Serikat.
Sistem Kepolisian di Amerika Serikat
Sistem kepolisian di Amerika Serikat menggunakan paradigma Fragmented System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpisah atau berdiri sendiri, disebut juga sebagai sistem desentralisasi yang ekstrim atau tanpa sistem. Oleh karena itu di dalam sistem tersebut terjadi kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi polisi yang otonom sehingga dalam penerapan paradigma sistem dimaksud senantiasa diiringi dengan dilakukannya pembatasan kewenangan polisi. Negara-negara yang menganut sistem ini selain Amerika Serikat, antara lain : Belgia, Kanada, Belanda dan Swiss.
Sistem kepolisian dengan paradigma tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain yaitu :
a)      Kewenangan yang dimiliki lembaga kepolisian bersifat terbatas, yaitu hanya sebatas pada daerah di mana suatu badan kepolisian berada. Hal ini dikarenakan secara umum lembaga kepolisian di setiap daerah di Amerika Serikat, baik di tingkat negara bagian sampai dengan tingkat propinsi maupun kabupaten, memang dibentuk oleh pemerintah daerah setempat dan diatur dengan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat pula sehingga tugas pokok dan wewenang lembaga kepolisiannya pun  hanya menjangkau daerah tersebut. Oleh karena itu, guna menangani kasus-kasus tindak pidana tertentu, terutama yang melibatkan lebih dari satu yurisdiksi maupun yang termasuk dalam kategori transnational crime, Amerika Serikat membentuk badan-badan kepolisian federal dengan wewenang meliputi seluruh daerah di Amerika Serikat, seperti halnya FBI, DEA maupun US Homeland Security.
b)      Pengawasan terhadap lembaga kepolisian sifatnya lokal, artinya yaitu pengawasan yang dilakukan  terhadap pelaksanaan tugas-tugas serta wewenang kepolisian dilakukan oleh tiap-tiap struktur lokal yang ditentukan dalam suatu lembaga kepolisian, termasuk dalam hal ini pengawasan terutama dilakukan secara melekat oleh publik daerah setempat dimana suatu lembaga kepolisian tersebut berada.  Hal ini cenderung memang dipengaruhi oleh basic model penerapan hukum yang dianut di Amerika Serikat, yaitu model anglo saxon atau common law yang memang dalam sistem tersebut lembaga kepolisian tumbuh dari adanya kepentingan dalam masyarakat sendiri sehingga representasi polisi dalam model tersebut dapat dikatakan sebagai representasi dari masyarakat itu sendiri atau dengan kata lain bahwa polisi adalah sebagai milik masyarakat karena munculnya lembaga kepolisian pada awalnya bukan dikarenakan oleh adanya kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat, sebagaimana filosofi yang dikemukakan oleh Sir Robert Peel, yaitu ”The police are the public and the public are the police; the police being only members of the public who are paid to give full time attention to duties which are incumbent on every citizen in the interests of community welfare and existence[4].
c)      Penegakan hukum dilaksanakan secara terpisah atau berdiri sendiri, maksudnya yaitu bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum tersebut, suatu lembaga kepolisian pada daerah tertentu tidak bisa memasuki wilayah hukum daerah yang lain. Hal ini disebabkan karena setiap  lembaga kepolisian di Amerika Serikat diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan tersendiri yang ditentukan oleh pemerintah daerah setempat, termasuk dalam hal teknis pelaksanaan penegakan hukumnya, berbeda halnya dengan negara yang sistem kepolisiannya menggunakan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), seperti di Indonesia, dalam pelaksanaan penegakan hukum dilaksanakan tidak secara terpisah atau berdiri sendiri tetapi secara menyeluruh sebagai suatu lembaga kepolisian yang terpusat sebagaimana ditentukan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Tentunya dalam penerapan sistem kepolisian dengan paradigma Fragmented System of Policing tidak lepas dari kelebihan dan kelemahan yang dimilikinya. Kelebihan dimaksud, antara lain :
a)      Polisi relatif dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
b)      Polisi otonom di dalam hal melakukan pengaturan terhadap segala kegiatannya, baik dalam bidang administrasi maupun operasional sesuai dengan struktur masyarakatnya.
c)      Kecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan organisasi polisi oleh penguasa secara nasional dikarenakan sifat pengawasannya lokal[5].
d)     Birokrasinya bersifat praktis, dalam arti lebih pendek, terutama dalam hal pengusulan dana atau anggaran operasional kepolisian karena langsung ditujukan kepada pemerintah daerah setempat.
Sementara itu, kelemahan yang dimiliki dalam Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing)  , antara lain :
a)      Pelaksanaan penegakan hukum yang dilaksanakan secara terpisah atau berdiri sendiri serta terbatasnya kewenangan lembaga kepolisian hanya sebatas pada daerah dimana lembaga kepolisian tersebut berada atau lokal saja.
b)      Tidak adanya suatu standar profesionalisme di bidang kepolisian akibat dari terjadinya fragmentasi sistem kepolisian di masing-masing daerah.
c)      Pengawasan yang bersifat lokal menyebabkan tidak terlaksananya mekanisme kontrol dengan baik karena pengawasan hanya terjadi dalam satu level organisasi, tidak terdapat kontrol lagi diatasnya dengan wewenang yang lebih tinggi dalam hal pengawasan.
Sistem Kepolisian di Jepang
Sistem kepolisian di Jepang menggunakan paradigma Integrated System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpadu atau sering disebut juga sistem desentralisasi moderat atau sistem kombinasi (Terri, 1984) atau sistem kompromi (Stead, 1977), artinnya bahwa dalam sistem kepolisian yang demikian terdapat sistem kontrol /pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan tujuan agar dapat dihindari berbagai penyalahgunaan organisasi polisi nasional serta guna mencapai efektivitas, efisiensi dan keseragaman dalam hal pelaksanaan pelayanan kepada publik. Negara-negara yang menganut sistem kepolisian tersebut selain Jepang, antara lain : Inggris, Australia dan Brasilia (Bayley, 1985). Oleh karena itu, terkait dengan kelebihan maupun kelemahan yang terdapat dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing) dapat berasal baik dari Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing) dan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing). Polisi Jepang banyak menggunakan teknologi komunikasi baik kabel, radio dan satelit untuk komando dan kendali saling tukar informasi. Teknologi maju juga diterapkan dalam mengidentifikasi penjahat seperti : sidik jari, analisa modus operandi dan identifikasi sasaran. Kepolisian Jepang disusun dengan struktur organisasi yang terdiri dari NPA (sebagai badan koordinasi dan pembuat kebijaksanaan kepolisian) dan Badan Kepolisian Prefektur (sebagai kesatuan penegak hukum). Sistem kepolisian Jepang utamanya mengedepankan Kepolisian Prefektur. Untuk menjamin netralitas politik dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi maka dibentuk Komisi Keselamatan Publik pada tingkat nasional dan prefektur.
Di Jepang terdapat sistem ”koban”. Koban didasari pada prinsip bahwa keselamatan seluruh bangsa didasarkan pada keselamatan dan ketenteraman masing-masing warga. Sistem ini terdiri dari dari ”Police Boxes/koban kota” di mana petugas polisi warga masyarakat bekerja dalam perondaan shift dan ”Police Boxes (Chuzoisho)/ tempat tinggal”. Di Jepang terdapat kira-kira 15.000 Koban dan Chuzoisho di seluruh negeri. Sistem ini berperan besar dalam pemeliharaan keselamatan publik karena petugas polisi terbiasa hadir di tengah-tengah warga yang menimbulkan kepercayaan dari warga masyarakat kepada polisi. Pertangungjawaban dan tugas polisi di Jepang adalah melindungi kehidupan, orang dan harta benda individu dan melakukan pencegahan, penanggulangan, dan penyidikan kejahatan dan lainnya yang berkaitan dengan pemeliharaan keselamatan dan ketertiban masyarakat. Kegiatan kepolisian dibatasi secara ketat. Sesuai dengan undang-undang Jepang dalam melaksanakan tugas polisi harus memegang prinsip tidak berpihak, tidak berprasangka dan adil, tidak menyalahgunakan kewenangan dengan berbagai cara yang melanggar HAM dan kemerdekaan individu. Prinsip-prinsip tersebut dikuatkan dalam bentuk ”Sumpah Polisi”.
Pemerintah Nasional Jepang membentuk organisasi ”Polisi Pusat” untuk mengontrol dan melayani organisasi ”Polisi Prefektur”. Undang-Undang Kepolisian menetapkan bahwa Pemerintah Nasional akan memberdayakan masing-masing prefektur untuk melaksanakan tugas sebagai perlindungan kehidupan, orang, benda milik individu dan pemeliharaan keselamatan dan ketertiban warga masyarakat dalam yurisdiksi prefektur.
A. Organisasi Kepolisian Nasional/National Police Organization (NPO)
Di Jepang terdapat organisasi kepolisian yang berskala nasional yaitu National Public Safety Commission (NPSC) dan National Police Agency (NPA).
NPSC (National Public Safety Commission)
Merupakan suatu badan pemerintah yang bertanggung jawab di bidang supervisi administratif terhadap NPA. Meskipun NPSC ini berada di bawah Perdana Menteri namun Perdana Menteri tidak berwenang untuk memerintah atau mengendalikan langsung komisi keselamatan publik nasional ini. Komisi bersifat otonom dan menjamin netralitas Polisi. Komisi ini bertanggung jawab terhadap semua operasional dan kegiatan kepolisian berkenaan dengan keselamatan publik, latihan komunikasi, identifikasi penjahat, statistik kriminil dan peralatan serta berbagai hal yang berkaitan dengan administrasi kepolisian. Komisi hanya dapat melakukan supervisi terhadap NPA, tetapi tidak berwenang melaksanakan supervisi terhadap Polisi Prefektur karena kepolisian prefektur memiliki aturan sendiri yang diawasi oleh komisi keselamatan publik prefektur. Anggota NPSC terdiri atas 1 orang ketua yang merangkap sebagai menteri negara ditambah 5 orang anggota yang ditunjuk oleh Perdana Menteri dengan persetujuan Dewan. NPSC dalam melaksanakan tugasnya memelihara hubungan yang erat dengan PPSC (Prefectural Public Safety Commission) sebagai komisi keselamatan publik di tingkat prefektur.
NPA (National Police Agency)
Organisasi ini di bawah supervisi dari NPSC. Kepala NPA adalah seorang Commissioner General of NPA yang ditunjuk dan diberhentikan oleh NPSC dengan persetujuan Perdana Menteri. Commissioner General (CG) bertanggung jawab terhadap subjek supervisi NPSC, mengendalikan urusan-urusan NPA, menunjuk dan memberhentikan personel bawahannya, mengontrol dan mengawasi kinerja urusan masing-masing Biro Lokal maupun Tingkat Pusat. NPA bertanggung jawab terhadap perencanaan perundang undangan kepolisian, standart kegiatan Polisi dan sistem kepolisian. NPA melakukan koordinasi kegiatan serta memberikan dukungan kepada Polisi Prefektur baik hardware maupun softwarenya.
Organisasi NPA di tingkat regional adalah ”Regional Police Bureau” (RPB). RPB ini berada di bawah NPA yang bertugas melaksanakan fungsi kepolisian di masing-masing regio. Ditempatkan di kota-kota besar kecuali Tokyo dan Hokkaido. Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo mempunyai fungsi khusus dikarenakan karakteristik wilahnya. Demikian juga di Hokaido di mana Markas Besar Kepolisian Prefektur Hokkaido mempunyai yurisdiksi seluruh wilayah Hokkaido. Direktur Jenderal dari masing-masing Regio bertanggung jawab terhadap tugas-tugas Regio dan supervisi personel Regio. Direktur Jenderal Regio juga melakukan kontrol dan supervisi Markas Besar Prefektur yang ada di bawah yurisdiksinya atas perintah Commissioner General NPA. Di samping Tokyo Metropolitan Police Department dan Hokkaido Prefectural Police Department di Jepang terdapat 7 RPB lainnya yaitu Tohoku RPB, Kanto RPB, Kinki RPB, Chubu RPB, Chugoku RPB, Shikoku RPB dan Kyushu RPB.
B. Organisasi Kepolisian Prefektur
Berdasarkan Undang-Undang Kepolisian Kota Jepang bahwa masing-masing pemerintahan prefektur mempunyai kesatuan/organisasi kepolisian sendiri yang mengemban tugas-tugas kepolisian di wilayahnya. Di tingkat prefektur terdapat Komisi Keselamatan Publik Prefektur/ Prefectural Public Safety Commission (PPSC) dan Markas Besar Kepolisian Prefektur termasuk Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo.
PPSC (Prefectural Public Safety Commission)
PPSC adalah badan pemerintah prefektur yang bertanggung jawab supervise administrative terhadap Kepolisian Prefektur. Walaupun PPSC berada di bawah yurisdiksi Gubernur Prefektur tetapi Gubernur tidak berwenang untuk memerintah dan mengendalikan secara langsung komisi ini. Komisi PPSC ini melakukan supervise terhadap Kepolisian Prefektur utamanya berkenaan dengan operasi kepolisian, tetapi bukan pengendalian terhadap penanganan kasus-kasus atau kegiatan penegakan hukum khusus. Komisi ini membuat peraturan-peraturan tentang hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya seperti delegasi wewenang menurut undang-undang, peraturan-peraturan. PPSC terdiri dari 5 anggota untuk prefektur besar dan 3 anggota untuk prefektur kecil. Anggota PPSC ditunjuk oleh Gubernur dengan persetujuan Dewan Prefektur yang masa jabatannya selama 3 tahun dan dapat dipilih kembali.
Di setiap prefektur terdapat Kepolisian Prefektur. Organisasi Kepolisian yang terdapat di prefektur terdiri dari “Departemen Kepolisian Metropolitan” (MPD) dan “Markas Besar Kepolisian Prefektur”(PPH). Kepolisian Prefektur bertanggung jawab terhadap tugas-tugas di wilayah prefektur. Kepolisian Prefektur berada di bawah supervise dari PPSC. Departemen Kepolisian Metropolitan dikepalai oleh seorang Superintendent General yang diangkat dan diberhentikan oleh NPSC dengan persetujuan Perdana Menteri, sedangkan Markas Besar Kepolisian Prefektur dikepalai oleh seorang Chief Respectively yang diangkat dan diberhentikan oleh NPSC dengan persetujuan PPSC.
MPD dan PPH dibagi ke dalam wilayah distrik yang masing-masing merupakan Yurisdiksi Police Station (PS). Kepala Polisi PS di bawah perintah dan kendali Superintendent General MPD dan Chief Respectievly PPH. Sebagai unit terdepan di masing-masing prefektur PS melaksanakan tugas dan menjalin hubungan yang erat dengan masyarakat. Police Boxes (Koban) dan Residental Police Boxes (Chuzaisho) berada di bawah PS. Koban dan Chuzaisho ditempatkan di dalam yurisdiksi PS dan berperan sebagai pusat keselamatan masyarakat bagi penduduk setempat.
Masing-masing badan kepolisian prefektur merupakan suatu badan yang otonom yang satu sama lain dapat saling berhubungan. Bila kepolisian prefektur tidak mampu menangani kasus-kasus tertentu maka dapat meminta bantuan NPA atau kepolisian prefektur lainnya. Dalam menghadapi kejahatan terorganisir antar Polisi Prefektur dapat melakukan kerjasama dengan cara meningkatkan patroli malam, meningkatkan fasilitas, memperbaiki perlengkapan dan kerjasama yang erat antara Polisi dan Masyarakat.[6]

Sistem Kepolisian di Indonesia
KOD sebagai penjabaran Desentralisasi Administratif Polri.
Kepolisian Indonesia bukan Kepolisian yang total sentralistis. Semenjak 20 tahun yang lalu, Polri melakukan desentralisaai administrative dengan menetapkan Polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar ( KOD), yaitu kesatuan yang paling dekat berhubungan dengan masyarakat bertugas sepenuhnya bertanggung jawab atas seluruh tugas pokok Kepolisian.. Sedangkan Polsek adalah Kesatuan terkecil yang setingkat dengan Kecamatan / Desa, yang bertugas untuk mengemban seluruh tugas pokok Kepolisian samapai ke tingkat Desa, terutama untuk melindungi dan melayani masyarakat. Desentralisasi Administrratif akan memberi lebih banyak otoritas kekuasaan kepada Polres. Kejahatan sekarang sudah semakin canggih, tidak mengenal batas wilayah, bahkan Negara ( transnasional crime), Maka ada kejahatan yang ditangani oleh Polda samapi Mabes Polri secara berjenjang. Tetapi fungsi utama dari kesatguan atasan adalah memberikan bantuan tekhnis kepada satuan bawah untuk menerbitkan petunjuk tekhnis dan petunjuk lapangan karena dalam sistem peradilan pidana kita, sesuai deliknya, tindak pidana hanya dapat ditangani dengan menyesuaikan tempat kejadian perkaranya ( locus delicti).
Desentralisasi ini diatur Pasal 10 UU No.2/2002, yang mengatur konsep tentang pendelegasian wewenang Polri yang menganut pengertain “desentralisasi administrative“. Pasal 10 (1) ini mengatakan bahwa : “Pimpinan Negara Republik Indonesia di daerah hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat(2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan weweang kepolisian secara hierarkhie. Dalam rangka menetapkan strategi dan kebijakan pembangunan kekuatan untuk meningkatkan kemampuan operasional satuan kewilayahan agar mampu melaksanakan tugas pokoknya secara professional, maka Mabes Polri dijadikan pusat pengembangan dan penetapan kebijakan strategis secara nasional, polda seabagi kesatuan yang memiliki kewenangan penuh,polres sebagai basis pelayanan masyarakatdan polsek sebagai ujung tombak operasional yang langsung mengendalikan anggotanya di lapangan sebagai pengemban diskresi kepolisian.
Terkait dengan otonomi daerah, strategi pembinaan kekuatan sangat berhubungan erat dengan kemampuan operasional kewilayahan polda, polres dan polsek yang berada di lapangan untuk melakukan tindakan kepolisian secara penuh dan jelas. Penggunaan kekuatan ini sangat tergantung kepada kemampuan professional anggota polri di lapangan. Ketika hal ini terjadi, dimana sejak otonomi daerah dijalankan, dan Pemda memiliki kewenangan penuh atas penegakan hukum perda melalui Polisi pamong prajanya dan dishub untuk penertiban parkir, Polri terbentur dengan perbedaan pendapat dan paham masalah penegakan hukum perda dengan peraturan nasional ( undang-undang)
Dalam konteks ini, Polri sudah harus memberikan sedikit dari sekian banyak wewenangnya, kepada para perusahaan penjual jasa keamanan ( dalam konteks ini adalah perusahaan-perusahaan yang mampu secara kuantitas dan kualiatas) untuk turut serta menjaga aset-aset yang ada di wilayah operasional polsek, dengan demikian maka pelaksanaan bidang oprasional bisa lebih fokus dalam pencapaian program-program mabes polri yang berkelanjutan misalnya melalui operasi-operasi kepolisian yang bersifat umum dan khusus. Polres dan Polda sendiri, saat ini sudah dapat melakukan operasi Kepolisian mandiri kewilayahan sendiri, yaitu jenis operasi kepolisian khusus, yang dapat dilakukan oleh kekuatan polres atau polda, disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan dalam hal keamanan dan perkembangan situsi di wilayahnya masing-masing, misalnya operasi kepolisian mandiri adalah di Polda Sumatera Selatan melakukan operasi kepolisian yang dilakukan dengan target sasaran kebakaran hutan baik yang disengaja maupun yang tidak. Hal ini tentunya disesuaikan dengna karakteristik wilayah sumatera selatan, yang pada musim kemarau seringkali terjadi kebakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan-perusahaan perkebunan yang mengakibatkan terjadi polusi udara yang parah sampai merepotkan Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Selain itu, dapat dilakukan kerjasama dengan pihak pemerintah daerah setempat, ketika dalam periode pemilihan umum daerah yang sejak masa pentahapan sudah harus diproses dan membutuhkan keamanan, maka polda atau polres dapat membantu secara mandiri ataupun meminta backup bantuan dari kesatuan yang ada di atasnya dalam rangka terciptanya kondisi keamanan yang stabil dan menjamin agar proses tersebut berjalan dengan lancara. Namun dalam hal ini, seringkali terbentur oleh masalah penggunaan kekuatan yang tidak seimbang karena terbatasnya angagran, sehingga yang terjadi adalah seringkali pihak otonomi daerah di pemda yang mempunyai kekuasaan dan ingin juga terlibat sebagai calon dalam pemilukada ( incumbent), melakukan upaya-upaya agar pihaknya diberikan privilege, atau keleluasaan bergerak dan perlindungan khusus, dimana mereka dapat melakukan praktek-praktek yang sebenarnya tidak boleh dilakukan atau bahkan melanggar tata tertib pemilihan umum daerah , namun mereka seringkali menawarkan dan pengamanan yang cukub besar untuk, sehingga resikonya terjadi ketidak objektifan target pengamanan pemilukada.
Kinerja Polri di bawah Presiden
Sesuai dengan pengalaman 10 tahun pemisahan dengan ABRI, Polri terus membenahi diri. Sudah sekitar 6 tahun Polri melakukan tugasnya mereformasi diri, dan kesempatan untuk kembali dibawah presiden. Sebagai privilege yang luar biasa, kedudukan Kapolri di bawah Presiden telah menjadikan Polri lebih oprtimal dan maksimal dalam menjalankan tugasnya. Hal ini disebabkan karena posisi Kapolri yang langsung mengetahui permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, keamanan dan politik melalui rapat dalam sidang Kabinet sehingga dapat menyampaikan juga permasalahan Polri yang ada saat ini.
Secara Politik, Polri bisa langsung menyampaikan kebutuhan-kebutuhan institusi dalam rangka menjalankan tugasnya . Dalam hal ini, diperlukan pemimpin yang sangat professional dalam hal ini Kapolri, yang dapat memisahkan kepentingan, antara kepentingan Negara maupun kepentingan pribadi. Hal ini menjadi bias, karena apabila hasil dari demokrasi mejadikan seorang pemimpin Negara yang otoriter / diktator, maka secara politik, kapolri akan langsung dibawah kendali seorang diktator dan menjadikan institutional sebagai alat kekuasaan. Hal ini bisa saja terjadi karena dalam proses politik, untuk hal ini pemilihan presiden, semua hal bisa terjadi dan tidak ada hal yang tidak mungkin dalam politik.
Pelaksanaan UU No.2 tahun 2002
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kepolisian, perlu ditata dahulu rumusan tugas pokok, weweang Kepolisian RI dalam Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
1.      Fungsi Kepolisian
Pasal 2 :” Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat”. Sedangkan Pasal 3: “(1) Pengemban fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian khusus, b. pegawai negri sipil dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. (2) Pengemban fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,b, dan c, melaksanakan fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum masing-masing.
2.      Tugas pokok Kepolisian
Pasal 13: Tugas Pokok Kepolisian Negara Rrepublik Indonesia dalam UU No.2 tahun 20002 adalah sebagai berikut:
1.      Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2.      Menegakkan hukum
3.      Memberikan perlindungan,pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. “, penjabaran tugas Kepolisian di jelaskan lagi apada Pasal 14 UU Kepolisian RI.
3.      Kewenangan Kepolisian
Pada Pasal 15 dan 16 UU Kepolisian RI adalah perincian mengenai tugas dan wewenang Kepolisian RI, sedangkan Pasal 18 berisi tentang diskresi Kepolisian yang didasarkan kepada Kode Etik Kepolisian.
Sesuai dengan rumusan fungsi, tugas pokok, tugas dan weweang Polri sebagaimana diatur dalam UU No2.tahun 2002, maka dapat dikatakan fungsi utama kepolisian meliputi : 1)Pre-emtif, 2) Preventif, dan 3)Represif.
Fungsi utama itu bersifat universal dan menjadi ciri khas Kepolisian, dimana dalam pelaksanaannya Polri lebih mengutamakan Preventif dari pada represif. Adapun perumusan dari fungsi utama tersebut adalah :
·         Tugas Pembinaan masyarakat (Pre-emtif): Segala usaha dan kegiatan pembinaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan.
·         Tugas di bidang Preventif: Segala usaha dan kegiatan di bidang kepolisian preventif untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselematan orang, benda dan barang termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan , khususnya mencegah terjadinya pelanggaran hukum.
·         Tugas di bidang Represif: Di bidang represif terdapat 2 (dua) jenis yaitu represif justisiil dan non justisiil. UU No. 2 tahun 2002 memberi peran Polri untuk melakukan tindakan-tindakan represif non Justisiil terkait dengan Pasal 18 ayat 1(1) , yaitu weweang ” diskresi kepolisian” yang umumnya menyangkut kasus ringan.

Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas)
Lembaga Kepolisian Nasional yang disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan di bawah Presiden. Komisi Kepolisian Nasional dalam Undang-Undang Kepolisian No.2 tahun 2002, merupakan akomodasi aspirasi masyarakat yang berkembang tentang perlunya transparansi, pengawasan dan akuntabilitas Kepolisian Negara RI yang dilakukan oleh suatu lembaga independen. Selain itu diharapkan adanya lembaga yang objektif dan konsisten memperhatikan kebijakan-kebijakan untuk Presiden berkenaan dengan tugas pokok Polri.
Menurut UU No.2 tahun 2002 Tugas Kompolnas adalah : 1) Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan 2) Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri.
Wewenang Kompolnas sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah : Mengumpulkan dan menganalisa datam seabagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan denganj anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengembangan Sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia. Memberikan saran dan pertimbangan lain Kepada Presiden dalam rangka mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang professional dan mandiri, dan Menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai Kinerja Kepolisian dan menyampaikan ke presiden.
Melihat komposisi tugas dan wewenang Kompolnas, hal ini menjadi jelas dan kelihatan sekali, bahwa pengawasan kinerja Kepolisian dengan indikator keluhan masyarakat sudah resmi dan efisien sebenarnya, namun saat ini Sosialisasi Kompolnas ke daerah-daerah lain tidak maksimal dan kurang diketahuui keberadaannya oleh masyarakat. Masyarakat di kabupaten-kabupaten banyak yang belum mengetahui, karena Kompolnas tidak pernah melakukan sosialisasi dan memberikan keterangan kepada media massa akan keberadaannya. Justru Lembaga-lembaga lain yang sebenarnya boleh dikatakan tidak mempunyai landasan hukum uyang kuat untuk menilai Polri secara objektif seperti lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Survey, yang sering mempublikasikan hasil temuannya di media massa yang terkadang diragukan keobjektifitasannya. Untuk itu, sebaiknya dalam proses pengawasan Polri di masa mendatang, sebaiknya Kompolnas melakukan tugasnya dan berperan dalam pembuatan opini public yang dipercaya dan diterima oleh hukum dan masyarakat. Kompolnas harus selalu terdepan dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan Kinerja Polri dan dapat dijadikan tolak ukur atau indikator keberhasilan pelaksanaan tugas pokok Polri.
Dari penjelasan diatas Sistem kepolisian di Indonesia menggunakan paradigma Centralized System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpusat / sentralisasi di mana sistem kepolisian berada di bawah kendali atau pengawasan langsung oleh pemerintah pusat. Sistem ini dahulunya dianut oleh sistem pemerintahan yang totaliter seperti Jerman pada era Nazi. Negara-negara yang menganut sistem kepolisian ini selain Indonesia, antara lain : Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark dan Swedia. Kelemahan dari sistem ini, antara lain :
a)      Cenderung dijauhi / kurang didukung masyarakat karena cenderung lebih memihak kepada penguasa.
b)      Birokrasinya juga terlalu panjang, mulai dari level paling bawah hingga paling atas terletak dalam satu rangkaian sistem birokrasi.
c)      Kurang dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, karena panjang dan gemuknya rentang struktural dalam sistem kepolisian tersebut.
d)     Terdapat kerentanan yang tinggi terhadap munculnya intervensi penguasa serta penyalahgunaan organisasi maupun wewenang kepolisian untuk kepentingan penguasa.
Sedangkan kelebihan dari sistem kepolisian terpusat tersebut, antara lain yaitu :
a)      Mudahnya sistem komando dan pengendalian karena dapat dilaksanakan secara terpusat.
b)      Wilayah kewenangan hukumnya lebih luas dibandingkan dengan sistem desentralisasi, karena kewenangan tersebut bersifat nasional.
c)      Terdapat standarisasi profesionalisme, efisiensi dan efektivitas baik dalam bidang administrasi maupun operasional.
d)     Ruang lingkup pengawasan dalam sistem ini sifatnya lebih luas dibandingkan dengan sistem desentralisasi karena pengawasan tidak hanya pada tataran lokal tapi secara berjenjang sampai dengan level nasional.

KESIMPULAN
Melalui pemahaman konsep sistem, maka akan didapatkan suatu pandangan tentang suatu kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan bagian-bagian yang saling berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama berdasarkan aturan tertentu, untuk mencapai tujuan dari sistem ( Prof. Djoko Sutono, C.W. Churchman, Matheus, Lempiro). Oleh karena itu, termasuk pula dalam hal perbandingan atas sistem-sistem kepolisian yang digunakan dalam negara-negara demokratis tersebut diatas, maka didapatkan suatu pemahaman bahwa tidak ada suatu sistem kepolisian yang sempurna karena masing-masing sistem kepolisian tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Dengan adanya kelebihan yang dimiliki dalam suatu sistem kepolisian tertentu, maka selayaknya dapat difungsikan sebagai kekuatan (strength) dan peluang (opportunity) yang harus dioptimalkan eksistensinya guna menutupi atau mengeliminasi kelemahan (weakness) yang dimiliki dalam sistem kepolisian tersebut. Kelebihan dimaksud harus dikelola dengan baik sehingga tidak justru menjadikan timbulnya ancaman (threat) tersendiri bagi operasionalisasi sistem kepolisian tersebut karena tidak ada satu pun sistem kepolisian yang paling sempurna di dunia, melainkan setiap siste kepolisian pasti memiliki kelebihan dan kelemahan.
Walaupun semua system tidak ada yang sempurna, akan tetapi, Kepolisian Indonesia saat ini sudah hampir mendekati sistem Kepolisian ideal yang diharapkan oleh anggotanya sendiri maupun masyarakat, kemandirian Polri sudah dilaksanakan dan terpisah dari ABRI, dan sekarang yang perlu dilakukan Polri adalah melakukan peningkatan sumber daya manusianya serta melakukan pembenahan secara maksimal. Program-program yang dilaksanakan dalam tugas kepolisian di kewilayahan sudah dapat dilihat hasilnya, sementara yang perlu dan wajib dilakukan adalah adanya penyederhanaan sistem birokrasi untuk pelayanan kepada masyarakat.
Pelayanan Masyarakat melalui langsung maupun tidak langsung bisa dilakukan dan disederhanakan dengan melakukan efisensi dan efektifitas yang terkait dengan penggunaan tekhnologi Kepolisian yang maksimal dan up to date. Pengawasan juga diperlukan dalam rangka menjaga supaya tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam praktek-praktek kerja di lapangan.






[1] __________, Sejarah Kepolisian Indonesia, ( MABES POLRI, 1999), h. 45
[2] __________, Sejarah Kepolisian Indonesia, ( MABES POLRI, 1999), h. 141

[3] Awaloeddin Djamin, Sistem Administrasi Kepolisian; Kepolisian Negara Republik Indonesia, (YPIK, Jakarta), h. 69-71
[5]     Diakses dari situs : http://www.governance-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=74, pada tanggal 20 November 2011.
Prinsip-prinsip dalam good governance yaitu : Partisipasi Masyarakat, Tegaknya Supremasi Hukum, Transparansi, Peduli pada Stakeholder, Berorientasi pada Konsensus, Kesetaraan, Efektifitas dan Efisiensi, Akuntabilitas dan Visi Strategis.
[6] Yade setiawan ujung, Sistem Kepolisian Jepang, diupload tanggal 07 desember 2011 dari http://ys-ujung.com/?p=84








DAFTAR PUSTAKA
1.      __________, Sejarah Kepolisian Indonesia, ( MABES POLRI, 1999
2.      Awaloeddin Djamin, Sistem Administrasi Kepolisian; Kepolisian Negara Republik Indonesia, (YPIK, Jakarta)
3.      Lutan, Ahwil, Dkk, Perbandingan Sistem Kepolisian di Negara-Negara Demokratis, Materi Kuliah Mahasiswa PTIK, Jakarta, 2000.
4.      Pasaribu, Arman, Perbandingan Sistem Kepolisian : Sistem Kepolisian Ideal di Indonesia, diakses dari situs : http://armanpasaribu.wordpress.com/2009/02/12/108/, pada tanggal 22 November 2011.
5.      http://en.wikipedia.org/wiki/Peelian_Principles, diakses pada tanggal 22 November 2011.
6.      http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/r/robertpee l260231.html, diakses pada tanggal 20 November 2011.
7.      http://www.governance-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1& id=74, diakses pada tanggal 21 November 2011.
9.      Diakses dari situs : http://www.governance-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=74, pada tanggal 20 November 2011.
10.  Diakses dari situs: http://polisikita.wordpress.com/2008/06/24/sejarah-polri/, , pada tanggal 22 November 2011.
11.    Yade setiawan ujung, Sistem Kepolisian Jepang, diupload tanggal 07 desember 2011 dari http://ys-ujung.com/?p=84

No comments:

Post a Comment