Wednesday, September 12, 2012

AL-FARRABI; Sang Bapak Filsafat


Biografi Al-Farrabi                                      
Nama asli beliau adalah Abu Nashr Ibnu Audagh bin Thorhan Al-Farabi. Ia dilahirkan dikota Farrab tahun 257 H (870 M). sejak kecil Al-Farabi adalah anak yang tekun dan rajin dalam belajar . dalam berolah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan yang luar biasa dan menguasai bahasa Iran, Turkistan, dan Kurdistan.  Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Suryani, yaitu bahasa-bahasa ikmu pengetahuan pada masa itu.
Setelah besar Al-Farabi dalam memulai karirnya pertama-tama beliau hijrah dari kota kelahirannya kekota Baghdad yang saat itu menjadi pusat ilmu pengetahuan. Dia belajar disana selama kurang lebih dua puluh tahun. Ia  menimba ilmu pengetahuan kapada : Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta Ibn Yunus untuk belajar ilmu manthiq (logika). Nampaknya pertama datang di Baghdad, hanya sedikit bahasa Arab yang telah dikuasainya. Ia sendiri mengatakan bahwa ia belajar ilmu nahwu
Dari situ Ia mencoba pergi ke Harran yang saat itu menjadi  salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Disana ia berguru kepada Yohana Ibn Hailan, namun tak lama kemudian ia meninggalkan kota ini dan kembali ke Baghdad. Disini ia kembali memperdalam ilmu Filsafat, Ia juga mampu mencapai ahli dalam ilmu Manthiq (logika).[1]

Pemikiran Al-Farrabi
Al-Farabi mempunyai pengetahuan yang luas. Ia mendalami berbagai macam ilmu yang ada pada masanya termasuk filsafat. Ia mendefinisikan filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada (Al-Ilmu Bil Maujudaat Baina Hia Al-Maujudat). Filsafatnya yang terkenal adalah filsafat emanasi. Dalam filsafat emanasi ini ia menerangkan bahwa segala yang ada memancar dari zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah sepuluh.[2] Alam materi dikontrol oleh akal yang sepuluh itu. Ia juga membahas soal jiwa dan akal manusia. Akal menurutnya mempunyai tiga tingkat yaitu : Al-Hayulani (materi) Bi Al-Fiil (aktuil) dan Al-Mustafad (adeptus, aquired). Akal pada tingkat terakhir ini lah yang dapat menerima pancaran yang dikirimkan Tuhan melalui akal-akal tersebut.[3]
Al-Farabi berpendapat bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan. Karena Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya, jadi ilmunya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahui-Nya. Bagi Tuhan cukup dengan mengetahui zat-Nya yang menjadi sebab adanya alam maka akan tercipta alam. dengan demikian, maka keluarnya alam (Mahkluk )dari Tuhan terjadi tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah pekerjaan akal semata-mata. Akan tetapi wujud alam tidak memberi kesempurnaan bagi Tuhan, karena wujud-Nya bukanlah karena lainnya. Dan emanasi itu timbul karena pengetahuan (‘Ilmu) terhadap zat-Nya yang satu. Dan Tuhan itu Esa sama sekali.
Al-Farabi banyak mengeluarkan pemikirannya dalam  bidang filsafat. Misalnya Filsafatnya mengenai politk kenegaraaan yang menyatakan bahwa masyarakat terdiri dari tiga macam tingaktan yaitu : Dunia seluruhnya, sebagian dunia atau suatu territorial dan masayarakat kecil yang terdiri satu kota. Dan masyrakat itu sendiri Ia bagi menjadi dua macam yaitu masyarakat sempurna dan tidak semprna. Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Sedangkan masyarakat tidak sempurna adalah masyarakat yang tidak lengkap unsur-unsurnya. Perkembangan dari tidak sempurna menjadi sempurna menurut Al-Farrabi bertingkat-tingkat. Mula-mula masyarakat manusia berupa masyarakat yang tersebar, lalu menjadi masyarakat desa dan kampong, kemudian menuju kemasyarakat kota yang sempurna berpemerintahan.Pokok filsafat politik kenegaraan Al-Farrabi ialah  autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur Negara.[4]
Suatu keistimewaan yang diraih oleh Al-Farrabi adalah usaha yang Ia lakukan dalam mengkompromikan perbedaan faham antara Plato dan Aristoteles. Plato mengatakan bahwa alam nyata yang kita lihat ini adalah tiruan semata dari alam idea, sedangkan Aristoteles mengatakan sebaliknya, bahwa alam idea hanyalah bayangan (pantulan) saja dari alam materi. Kita melihat beberapa benda (materi). Lalu dari pantulan penglihatan itu barulah kita dapat menyimpulksn suatu rumusan pendapat (konsep) tentang benda itu.dan konsepsi itulah menurut Aristoteles yang dinamakan idea. Kalau Plato mengatakan bahwa alam dunia ini adalah baru (hadis) dan tidak abadi, maka sebaliknya Aristoteles mengatakan bahwa alam dunia ini Qadim (azali) sudah ada sejak semula dan abadi selama-lamnya. Untuk kedua hal tersebut Al-Farrabi mengatakan bahwa semua filasfat itu memikirkan kebenaran . dan karena kebenaran itu hanyalah satu macam dan serupa hakikatnya, maka semua filsafat itu pada prisipnya tidak berbeda. Begitu juga antara filsafah dan agama. Filsafat memikirkan kebenaran, sedangkan agama juga memikirkan kebenaran maka tidak ada perbedaan antara filsafat dan agama. Dan kedua pertentangan diatas janganlah dianggap sebagai pertentangan yang mutlak dan prinsipil, tetapi haruslah dianggap sebagai pertentangan yang relative dan hanya soal rincian saja.
Demikian usaha yan gdilakukan Al-Farrabi unutk mengkompromikan dua pendapat yan gmenurut anggapan banyak orang saling bertentangan. Banyak karangan yang ditinggalkan oleh Al-Farrabi, tetapi karangan-karangan tersebut tidak banya dikena seperti karanga–karangan  Ibnu Sina. Boleh jadi karena karangankarangan Al-FArrabi hanya berupa risalah (karangan pendek), dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karangannya telah hilang, dan yang masih tersisa hanya sekitar 30 buah saja yang ditulis dalam bahasa Arab.[5]
Pada abad pertengahan, Al-Farrabi menjadi sangat terkenal sehingga orang yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangannya. Banyak pula yang disalin kedalam bahas Ibrani. Sampai sekarang salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa, disamping salinan-salina dalam bahasa latin, baik yang langsung dari bahas Arab maupun dalam bahasa Ibarani.
Sebagian besar karangan Al-Farrabi terdiri atas ulasan dan penjelasan tehadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenus, dalam bidang-bidang logika, fisika etika dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulasnya, Ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles. Ibnu Sina pernah mempelajari buku Metafisika karangan Aristoteles lebih dari 40 kali, tetapi belum juga mengerti maksudnya. Setelah Ia membaca buku karangan Al-Farrabi yang berjudul Intisari Buku Metafisika, baru ia mengerti apa yang selama ini dirasakannya sukar.[6]



Daftar Pustaka
·         Atjeh Abubakar, Sejarah Filsafat Islam, Semarang, 1970
·         Umar Farukh, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, Beirut, A962. Halaman 225
·         Filsafat Umum, Pustaka Setia, Bandung, 1997.
·         Mustofa A.H.Drs, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997.
·         Ahmad Tafsir,Dr., Filsafat Umum, Rosdakarya, Bandung, 1990.
·         Abu Hanifah, Rintisan Filsafat, Jakarta , 1950.
·         Bakri Hasbullah,H., Sistematika Filsafat, Solo, 1961.
·         Soemardi Soejabrata, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, 1970.

[1] Mustofa A.H.Drs, Filsafat Islam, 1997.Pustaka Setia.
[2] Akal yang sepuluh terdiri atas intelegensi pertama dan sembilan intelegensi planet dan lingkungan yang semuanya berputar menelilingi intelegnsi yang pertama. Taip lingkungan mempunyai intelegensi dan ruh yang merupakan asal gerak yang diatur oleh intelegensi kesepuluh. Akal pertam adalah bumi. Akal kedua adalah langit pertama. Akal ketiga adalah langit kedua. Akal keempat adalah planet saturnus. Akal kelima adalah panet yupiter. Akal keenam adalah planet mars. Akal ketujuh adalah matahari. Akal kedelapan adalah plnet venus . akal kesembilan adalah planet merkurius. Akal kesepuluh adalah bulan.
[3] Filsafat Umum,1997, pustaka setia.
[4] H.Syadali Ahmad, Drs dan Mudzakir,Drs., Filsafat Umum untuk  IAIN, STAIN, PTAIS.,Pustaka Setia, Bandung
[5] ibid
[6] ibid

No comments:

Post a Comment