Saturday, October 6, 2012

MASA DEPAN AGAMA DAN AGAMA MASA DEPAN



فَأَ قِم وَجهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَالنَّاسَ عَلَيهَا لاَتَبدِيلَ لِخَلقِ اللهِ ذَالِكَ الدِّينُ القَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكثَرَ النَّاسِ لاَيَعلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
(Al-Qur’an, 30 : 30)

Pendahuluan
Agama adalah hal yang sudah menjadi sarapan pagi bagi orang-orang yang taat beragama terutama bagi penganut agama Islam, yang tiap bangun pagi mereka diperintahkan untuk mengingat Tuhan mereka. Bahkan dalam agama Islam, “kalau bisa” mereka harus ingat Tuhan mereka dimanapun mereka berada.
Kata agama dalam bahasa sansekerta berasal dari A – kesini, gam=gaan, go, gehen,-berjalan-jalan. Sehingga dapat berarti peraturan-peraturan tradissional, ajran-ajaran, kumpulan hukum-hukum, pendeknya apa saja yang turun temurun dan ditentukan oleh adat-kebiasaan.[1]
Dalam agama Hindu “Agama” mengandung pengertian Satya (kebenaran absolut), Arta (dharma atau perundang-undangan), Diksa (penyucian), Tapa (semua perbuatan suci) Brahma (do’a atau mantra-mantra), dan Yajna (kurban)[2]. Pengertian yang lain adalah:
“Dharma atau kebenaran abadi yang mencakupu seluruh jalan kehidupan manusia. Agama adalah keprcayaaan hidup pada ajaran-ajaran suci yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi yang kekal dan abadi.”[3]
Dalam agama Budha adalah suatu kepercayaan dan persujudan atau pengakuan manusia akan adanya gaya-pengendalian yang istimewa dan terutama daru suatu manusia yang harus diataati dan pengaruh pemujaan tadi atas perilaku manusia.[4]
Dalam agama kristen Katholik agama adalah segala bentuk hubungan manusia dengan yang suci.
Dalam agama Islam agama menurut haji agus salim dalam buku kecilnya, tauhid, mengatakan: “agama ialah ajaran tentang kewajiban terhadap atura, petunjuk, perintah, yang diberikan Allah kepada manusia lewat utusan-utusan-Nya. Dan oleh rasul-rasul-Nya diajarkan kepada orang-orang dengan pendidikan dan tauladan.[5]
Menurut Psikologi Agama, agama adalah pengakuan pribad terhadap yang dihayati sebagai “yang adi isani/super human” yang menggejala dalam penghayatan dan tingkah laku orang yang bersangkutan lebih-lebih kalau usahanya untuk menyelaraskan dengan yang insani itu.[6]
Semua agama menginginkan atau mengharapkan pemeluk agama mereka menjadi pemeluk yang taat, lalu bagaimana dengan masa saat ini dimana teknologi telah mencapai yang tak terbatas dimana segala mitos-mitos dapat digantikan atau dibuktikan oleh teknologi.
 dari berbagai sudut dan aspek teknologi mulai mengerogoti agama dan teknologi mulai menjadi sebuah Tuhan yang baru bagi para pemuja teknologi dan mulai meninggalkan agama mereka, karena menurut logika mereka ini lebih jelas dan dapat dilihat oleh mreka. Pada kesempatan kali kami memcoba membahas sedikit tentang masa depan agama dan apa itu agama masa depan?

Masa depan agama
Agama menurut Racdliffe Brown, salah seorang ahli antropologi adalah “ekspresi suatu bentuk ketergantungan pada kekuatan diluar diri kita sendiri, yakni kekuatan yang dapat kita katakana sebagai kekuatan Spritual atau kekuatan moral”[7] yang hampir serupa dengan pendapat Durkheim yaitu: “agama dalah system yang menyetu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda sacral, yang mempersatukan semua orang yang menganutnya kedalam suatu komunitas moral”[8] dan masih banyak lagi yang lainnya yang hamper semuanya mempunyai inti pemikiran yang sama dengan schuon yaitu: “keprcayaan terhadap suatu kekuatan yang berada diluar nalar manusia” menurutnya semua agama secara Esoteris adalah beda yang berbeda hanya pada tatanan eksoterisme.[9]
wacana tentang agama dan kehidupan beragama selalu muncul baik dalam forum ilmiah maupun percakapan popular. Dalam masyarakat barat yang sekuler sekalipun, sekarang ini mudah di jumpai pusat-pusat studi agama yang diselenggarakan secara profesional, yang merupakan bagian integral dari berbagai universitas prestegious. apalagi bagi kalangan yang taat beragama sering terjadi banyak perdebatan meski masalah agama dan Tuhan seringkali dianggapa tidak begitu penting, krena persoalan iman dilihatnya sebagai masalah kepercayaan. Perdebatan akademis rasional tentang agama tak lebih sebagai upaya apologi untuk melindungi pilihan imannyayang berada diatas kemampuan penalaran manusia.iman memiliki logika sendiri yang berbeda dari logika ilmu pengetahuan, yang keduanya tidak mungkin disejajarkan. Oleh karena itu meskipun secara teoritis orang bisa beradu argumentasi dalam bidang teologi, namun apa yang diputuskan oleh akal kritis tidak mesti menjadi acuan untuk menentukan pilihan iman seseorang.
Mengingat motivasi dan pengalaman iman seseorang tidak selalu sama. Maka merupakan konsekuensi yang niscaya bahwa kberagamaan bagi umat manusia mau tidak mau bersifatpluralistik yang karenanyan bisa melahirkan banyak peristiwayang bersidat problematik. Pluralis ini semakin eksplisit dan semakin lestari ketika masing-masing agama yang ada menawarkan doktrin dan teologi yang berbeda-beda, yang kesemuanya mempunyai klaim sebagai agama yang sahih dan punya hak hidup dan semuanya menawarkan jalan keselamatan absolut. Dan harapan akan adanya satu pemahaman antara agama yang satu dengan agama yang lain sangat tidak mungkin untuk diharapkan, jangankan menghilangkan perbedaan dan konflik antar agama, sedangkan perbedaan intern suatu agama saja tidak mudah untuk dihilangkan. Sebab menghilangkannya berarti menghilangkan kehidupan manusia itu sendiri. Jadi dalam bahasa lain, kenyataan itu merupakan “kehendak ilahi” yang tidak bisa tidak harus diterima oleh umat manusia.
Mengingat keberagamaan adalah pilhan dan refleksi kebebasan seseorang untuk mencari dan menghayati iman, maka pada akhirnya keyekinan beragama berada pada bililk kebebasan yang paling dalam pada diri seseorang yang orang lain tidak mungkin bisa merenggutnya dan mencampurinya.

Walaupun iman bersifat amat pribadi, tetapi karena iman memiliki pesan dan dorongan etis, maka merupakan tuntutan dan konsekuensi mral bagi orang yang beriman untuk bersikap konsisten dalam meperjuangkan prinsip-prinsip moral dalam realitas sosial. Sejalan dengan itu hukum agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dalam bentuk ritual kegamaan cenderung bersifat pribadi dan tak terjangkau oleh penegak hukum positif. Tetapi pelaksanaan hukum agama yang bersifat soisila-eksoterik, pelaksanaannya diserahkan pada manusia dalam konteks khidupan bermasyarakat dan bernegara sesuai dan berdasarkan kontrak sosial yang disepakati dalam suatu masyarakat.
Dengan demikian maka dimasa depan semua agama akan dihadapkan pada otonomi manusia untuk menentukan pilihan jalan dan imannya msing-masing dengan mempertimbangkan tertib sosial dan hak-hak orang lain untuk juga menentukan pilihannya sendiri. Terleih lagi ketika intelektualitas manusia semakin meningkat sementara klaim kenabian psaca-Muhammad secara historis dan sosiologis tidak menunjukkan keberhasilan maka berbagai spekulasi intelektual tentang agama dan pengembaraaan spiritual manusia dalam menghayati imannya semakin leluasa dilakukan orang.[10]

Agama masa depan; sebuah karakteristik
Sejarah barat sangat banyak memberikan pelajaran berhargabagi bangsa yang beragama. Kita bisa saksikan sejak menjelang abad ke-15 masehi, orang barat sudah tidak percaya lagi dengan agama. Sejak saat itu orang barat beralih keprcayaan dari agama kristen gereja ke ilmu pengetahuan yang relah membuktikan kecanggihannya melalui teknologi. Maka sejak itulah ailmu pengetahuan diyakini bagaikan “agama baru” yang mampu menjawab berbagai kebutuhan manusia.
Aspek metafisika yang sakral karenanya hilang dan segala sesuatu dipandang hanya materi belaka. Disinilah inti modernisme yang ditolak kaum tradisional, yaitu suatu pandangan yang hanya mempercayai materi. Segala sesuatu dipanandang sebatas benda yang bisa dilihat secara indrawi saja. Berbeda dengan masyarakat tradisional, bahwa segala sesuatu itu memiliki hakikat, hakikat itulah yang sebenarnya realitas.
Dalam perjalannanny agama banyak mengalami perubahan dan berkembang sesuai dengan perjalanan sejarah. Bisa saja seseorang mempertahankan nama sebuah agama tradisional dengan bangunan teologinya yang telah mapan. Tetapi kita sulit mengelak suatu kenyataan bahwa pemikiran dan pemahaman orang tentang agama itu selalu berkembang dalam sejarah. Bahkan tidaklah terlalu susah untuk mengatakan bahwa gama yang kita pahami dan anut sekarang ini adalah agama sebagai produk sejarah.
Menurut para ahli psikologi, kapasitas penalaran manusia yang teraktualisasi belum mencapai 13 persen bahkan mayoritas manusia masih di bawah 5 persen. Artinya, Cara pandang manusia terhadapa agama, alam, terhdapa dirinya, terhadap sejarah serta paham agama yang dianutnya akan selalu mengalami evolusi dan bahkan lompatan paradigma.
Dan hal itu telah terbukti dalam sejarah. Betapa banak dalil ilmu pengetahuan lama telah dipatahkan dan diganti dengan rumus baru yang lebih valid. Juga berapa banyak agama-agama kuno yang telah hilang dan tidak lagi muncul, sementara berbagai keprcayaan agama yang masih bertahan dihadapkan pada gempuran proses demi-tologisasi dan sekulerisasi.
Maka kita tidak boleh marah jika terdapat ilmuwan yang secara sinis mengatakan bahwa orang  beragama sering memposiisikan tuahan sebaga sandara terakhir. Ketika nalar tidak sampai untuk memahami misteri dan kompleksitas realitas semesta maka disitulah Tuhan dihadirkan untuk menentramkan kebingungan kita. Tetapi ketika sebagian teke teki tersebut terpecahkan maka posisi Tuhan lalu digeser lagi.
Menurut Ibn Al-arabi, Tuhan akan hadir dan menyapa manusia sesuai dengan persepsi manusia tentang-Nya. Bagi para mistikus, jalan masuk kepada tuhan yang dipilihnya adalah pintu kasih, sehingga tuhannya para mistikus adalah Tuhan Snag Kekasih. Adapun bagi para filsuf Tuhan hadir sebagai Dia Yang Maha Cerdas dan Kreatif.
Penutup
Agama adalah hal yang sangat luas dan penuh dengan problema yanga tak kan pernah habis untuk kita bahas dan kita diskusikan. Masa depan dan agama masa depan adalah hal yang harus kita wujudkan dengan kekuatan dan harapan kita masing-masing. Karena keberadaan agama dan agama itu bagaimana hanya dapat kita ketahui dan kita yakini dengan sudut pandang kita masing-masing.
Demikianlah makalah ini kami buat, kami mohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dalam penyajian makalah ini. Dan kami mohon kritik dan saran yang membangun terhadap makalah ini untuk memperbaiki pada pembuatan
makalah kami yang selanjutnya.



[1] Drs. Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Hal. 1-2.
[2] Ibid
[3] Gede Pudja, M. A., S. H., Weda Parikarna, Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu, Depag. RI, Jakarta, tt., hal. 24.
[4] Drs. Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Hal. 3.

[5] Ibid hal.4
[6] Ibid hal 5-6
[7] Betty R. Scharf, Sosiologi Agama; edisi kedua, Prenada Media, Jakarta, 2004, Hal.34
[8] ibid
[9] Frithjop schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, Pustaka Firdaus,1987 hal. X-XI
[10] Komaruddin Hidayat. M. Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial, PT SUN, Jakarta, 2003, Hal 151-156


Daftar Pustaka
·         Betty R. Scharf, Sosiologi Agama; Edisi Kedua, Prenada Media, Jakarta, 2004,
·         Frithjop schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, Pustaka firdaus, 1987
·         Komaruddin Hidayat. M. Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial, PT SUN, Jakarta, 2003
·         Drs. Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
·         Gede Pudja, M. A., S. H., Weda Parikarna, Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu, Depag. RI, Jakarta, tt.

No comments:

Post a Comment