Thursday, January 3, 2013

Hubungan Agama Islam Dan Agama-Agama Selain Islam


Berbicara tentang agama Islam, kita tak kan pernah lupa dengan orang yang pertama membawa agama ini kedalam dunia ini. Orang yang menjadi contoh utama dalam segala hal dalam kehidupan, baik hubungan antara manusaia atau dengan Tuhan itu sendiri. Dia adalah Nabi Muhammad Saw. Beliau adalah seorang di antara manusia teragung yang dikenal oleh sejarah peradaban manusia. Kita sebagai penganut agama Islam dituntut untuk menghayati ajaran beliau, Sebagaimana di Firmankan Allah SWT dalam Al-qur’an

Artinya: sungguh telah ada dalam diri Rasulullah suri tauladan yang baik (uswatun hasanah)

Kita bukan hanya dituntut bukan hanya menghayati ajaran beliau tetapi memantapkan cinta dan penghargaan kita atas jasa-jasa serta pengorbanan beliau Karena kalau kita tidak mampu mengakui dan memberi penghoramatan kepada para tokoh, maka kepada siapa lagi penghormatan itu kita berikan? Kalau kita enggan memberi hak-hak manusia agung, maka, mungkinkah kita bersedia memberi hak orang-orang kecil? Justru karena jasa dan pengorbanan Nabi Muhammad Saw, serta atas dasar pemberian hak penghormatan itulah sehingga Allah SWT, dan para malaikat mencurahkan rahmat dan memohonkan maghfiroh untuk beliau serta menganjurkan ukmat Islam untuk menyampaikan shalawat dan salam sejahtera kepada Nabi Muhammad Saw. Dan segenap keluarga beliau.
Kedudukan utama Nabi Muhammad Saw, tercermin antara lain dalam Firman Allah yang artinya:
            Dan kami telah tinggikan namamu
Dalam arti pengakuan kenabian Nabi Muhammad Saw. Nama beliau juga disandingkan dengan nama Tuhan dengan pengakuan akan ke-Esaan Allah SWT dalam dua kalimat Syahadat:

Artinya: aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Alla.

Hal ini juga berarti kepatuhan kepada beliau identik dengan kepatuhan kepada Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah SWT:

Artinya: siapa taat kepada Rasul, maka dia telah taat kepada Allah. Barang siapa yang berpaling dari ketaatan itu, maka kami tidak mengutusmu menjadi pemelihara mereka (QS An-Nisa : 80)

Seorang muslim yang baik bukan hanya patuh kepada Rasulullah tetapi juga kagum kepada beliau dengan kekaguman berganda: sekali ketika memandang beliau dengan hati menggunakan kaca mata iman dan menemukannya sebagai Nabi dan Rasul, dan kali lain ketika memandang beliau dengan nalar dan aneka tolok ukur objektif, yang menemukan pada diri beliau, budi luhur serta karya-karya agung.
Kedua hal itulah yang mengukir dan membentuk citra nabi Muhammad Saw. Dalam pikiran dan hati seorang muslim. Oleh karena itu sebagaimana ditulis oleh seorang sarjana jerman Annemarie Schimmel dalam bukunya And Muhammd is his messenger  “dalam keadaan darurat, seorang Muslim mungkin menyangkal keyakinannya kepada Allah, tetapi sekali-kali ia tidak akan bersedia mengutarakan kata-kata rendah apalagi penghinaan terhadap Nabinya, walau diancam dengan kematian sekalipun”[1]
Keluhuran Nabi Muhammd Saw, bukan hanya dinyatakan Allah, dan hanya diyakini umat Islam, berdasar Firman-Nya:

Artinya: sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS Al-Qalam :4)

Tetapi juga diakui oleh kawan dan lawan. betapa tidak, cetusan paling buruk dalam percakapannya adalah: “semoga dahinya berlumuran Lumpur”, ketika diminta untuk mengutuk, beliau menjawab: “Aku bukan diutus sebagai pengutuk, tetapi Aku diutus sebagai pengajak kepada kebaikan dan penyebar rahmat.”[2]
Beliau menjenguk orang-orang sakit, mengikuti iring-iringan jenazah, dan mematuhi undangan walau dari seorang budak. Saat berjabat tangan beliau tidak menarik tangannya sebelum tangan mitranya ditarik. Beliau tidak melewati kelompok tanpa senyuman yang menghiasi wajahnya, disertai ucapan lembut lagi bijak. Sopan-santun beliau kepada orang-orang besar, keramahan pada orang cilik dan sikapnya yang terpuji terhadap orang-orang yang sombong, menyebabkan beliau dihormati dan dijunjung tinggi. dalam kesibukannya memimpin, beliau menerima dengan lapang dada, dan tangan terbuka siapa pun yang datang walau seorang badui yang tak mengenal basa-basi.
Komitmen beliau terhadap waktu amat tinggi, tidak saja dalam menyelesaikan tugas atau memenuhi sebuah janji, tapi juga dalam mengisi waktu itu sendiri. Tidak heran, karena memang ajaran Ilahi yang diterimanya berpesan:

Artinya: Apabila engkau telah menyelesaikan satu pekerjaan, maka kerjakanlah yang lain hingga engkau letih, dan  hendaklah kepada Tuhanmu engkau mengharap. (QS An-Nashrah: 7-8)

Kebersihan yang diperagakan dalam diri, rumah dan lingkungannya amat menonjol, karena beliau yakin bahwa kebersihan adalah manifestasi iman, dank arena menurut beliau: menyingkirkan kotoran atau gangguan dari jalan adalah bagian terendah dari keimanan.
Kita tidak mampu mengurai segala keagungan dan kepribadian Nabi Muhammad Saw., yang menjadi teladan bagi aneka tipe manusia. Baik tipe seniman, ilmuwan, pekerja dan tipe manusia yang memiliki kecenderungan kuat beribadah kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Kita juga tidak mampu merinci keteladanan beliau sebagai ayah, suami, teman, negarawan, panglima perang, dan lain sebagainya. Batas pengetahuan tentang beliau adalah sesungguhnya beliau sebaik-baik mahkluk Tuhan seluruhnya.[3]
Menyadari kedudukan beliau sebagai panutan dan teladan, menuntut kita tidak terpaku dalam formalitas lahiriah dan melupakan esensi ajarannya. Kita sadari bahwa ajarannya berorientasi kepada usaha persatuan dan kemanusiaan, sebagaiman Firman Allah:

Artinya: wahai seluruh ummat manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu berasal dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan kami adikan engkau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal (Bantu membantu). Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha mengtahui lagi maha mengenal (QA Al-Hujurat : 13)

Namun ajaran yang diajarkan tidak melebur perbedaan, tapi tetap menghormati perbedaan. Karena setiap kelompok telah memilih jalan dan tatanan hidup mereka, sehingga mereka harus berpacu mencapai prestasi kebajikan. Sebagaimana firmannya:

Artinya: untuk tiap-tiap umat diantara kamu , kami berikan aturan dan jalan terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. (QS Al-Ma’idah: 48)

Disamping itu kaum muslim ditugasi mengusahakan perbaikan antara manusia, dan menjadi penengah yang adil untuk menjadi saksi dan patron-patron hidup ditengah-tengah umat manusia. Kita juga di tuntut berlaku adil terhadap terfadap siapapun sebagaimana firman Allah AWT:

Artinya: janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menjadikanmu tidak berlaku adil. (QS Al-Maidah)

Masalah pluralisme agama, dalam bukunya yang berjudul “Agama Masa Depan: Filsafat Prenial”, salah seorang cendekiawan muslim indonesia Prof. Dr. Komaruddin Hidayat menyatakan “bahwa substansi suatu agama adalah tidak terbatas dan satu, mereka sama menyembah sesuatu yang berada di luar akal dan kekuatan manusia”. Dari sini dapat kita ambil kesipulan bahwasannya semua agama di dunia mempunyai seubstansi yang sama. Mereka sama-sama menyembah suatu kekuatan yang berada diluar batas nalar manusia. Suatu kekuatan yang menjadikan manusia begitu kecil dan tak berharga dibanding kekuatan tersebut. Dengan kata lain semua agama di dunia adalah benar dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mendekati yang satu. Bahkan beliau menambahkan: ”seandainya agama Islam adalah agama yang paling benar, kenapa Tuhan tidak menggunakan kekuasaannya untuk menjadikan/memberikan Hidayah kepada semua umat agama yang lain agar menyakini ajaran Islam dan Beriman kepadanya”[4] itulah sebabnya beliau berpendapat semua agama adalah benar dan baik bagi siapapun yang menganutnya, Tanpa harus merendahkan agama yang lain. Dalam menghadapi masyarakat global beliau menyatakan bahwasannya semua manusia akan mengalami yang namanya Kematian dan setiap orang akan dimintai pertanggung jawaban dari apa-apa yang telah dia kerjakan selama hidupnya.[5] Dalam keadaaan masyarakat yang penuh dengan kemajemukan ini beliau hanya memberikan peringatan bahwasannya kita tidak akan selamanya ada dalam dunia ini. Jadi jangan anda forsir apa yang anda miliki hanya untuk menjadi judge terhadap yang lain dan beranggapan anda tidak ada yang benar. Apa yang anda yakini adalah benar tanpa harus menyalahkan keyakinan orang lain. Sebagaimana firman Allah SWT tentang keyakinan suatu agama dalam surat Al-Kafirun: 6

Artinya: untukmulah agamamu. Dan untukkulah agamaku

Kalau kita perhatikan dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menekankan kepada kita bahwasannya tidak ada Pluralisme dengan umat yang lain, tapi disatu pihak kita diperintahkan untuk bertoleransi terhadap umat yang lain seperti ayat-ayat yang telah tertera diatas. Perlu digaris bawahi bahwasannya Islam adalah agama yang paling menjunjung masalah toleransi terhadap agama yang lain, terutama dalam masalah ahklak (tingkah laku) orang Islam terhadap siapapun, baik itu terhadap saudara, tetangga, teman dan lain sebagainya. Bahkan terhadap umat yang lain. Oleh karena itu, wajar ketika suatu hari Nabi Muhammad pernah Bersabda: “aku diutus untuk menyempurnakan kesempurnaan Akhlak” . pernah pada suatu ketika Nabi dan para sahabat sedang duduk-duduk bersama, dilewati oleh rombongan orang yang meninggal, lalu salah seorang sahabat mengatakan kepada Nabi “ya Rasulullah dia (yang meninggal) adalah orang Yahudi” Nabi hanya menjawab: “bukankah ia manusia”. Disini dapat kita simpulkan bahwasannya Nabi sangat menghormati agama yang lain entah apapun agama mereka.  karena walau bagaimanapun meraka adalah sama-sama manusia yang diciptakan Tuhan dan mempunyai keyakinan tersendiri tentang Tuhan meraka. Dan terhadap ayat-ayat yang agak ektrimis itu hanya berlaku dalam masalah yang berkaitan dengan Akidah seorang musliam, dalam masalah akidah tidak ada kerjasama dan tidak ada persamaan sebagai mana telah dijelaskan dalam Al-Qura’an dalam surat Al-kafirun ayat 1-6. yang menolak kerjasama terhadap kafir quraisy yang ingin bekerja sama dalam menyembah Tuhan dan berhala-berhala mereka.
Yang menjadi halangan dalam umat Islam dalam menjalin hubungan terhadap Umat  yang lain. Adalah kesombongan umat Islam yang terlalu memandang tinggi agama Islam dan memandang rendah agama yang lain tanpa pernah tahu apa itu agama yang mereka yakini. Seperti contoh kecil,  pada awalnya tidak ada pembatasan antara agama-agama di dunia ini tapi karena kesombongan Islam kita memberikan batasan terhadap hal itu dengan cara membagi umat beragama kepada dua yaitu: Islam dan Non-Islam. Kita beranggapan bahwasannya agama Islam itu sama besarnya dengan semua agama selain Islam apabila semua agama tersebut disatukan dengan nama kelompok, Non-Islam. padahal pada kenyataannya kebesaran Islam tidak sebesar agama Kristen saat ini. Ini adalah factor internal dalam Islam dalam menjalin hubungan dengan agama-agama yang lain, factor eksternal adalah adanya perang salib yang terjadi antara umat Islam dan Kristen yang menjadikan Islam sangat sulit menjalin hubungan dengan agama Kristen, bahkan dengan agama yang lainpun mengalami kesulitan, apalagi di Indonesia karena pada pada awalnya Negara indeonesia adalah sebuah kumpulan kerajaan yang pada awalnya adalah daerah-daerah yang dikuasai oleh agama Hindu, hingga hal ini mungkin mempengaruhi hubungan Islam dengan agama Hindu di Indonesia.[6] Dan masih banyak lagi hal yang mempengaruhi hubungan Islam dengan agama-agama yang lain di Indonesia.
Kita harus mengembalikan masalah Pluralisme Agama kepada ajaran Nabi Muhammad Saw, karena itu, pluralisme positif dan kemajemukan yang membawa keserasian sosial, merupakan salah satu hakikat ajaran Nabi Muhammad Saw. Kita harus bersyukur karena mata dunia tertuju kepada kita dengan penuh penhargaan bahwa ajaran Nabi Muhammad terpancar dalam kehidupan umat islam diseluruh dunia. Tapi kita fokuskan pembahasan ini pada kehidupan islam di Indonesia.
Islam Indonesia menurut dunia luar menunjukkan wajahnya yang menarik dan karakternya yang memikat sebagai rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam, seluruh umat manusia), jauh dari radikalisme dan ekstremitas yang melanda dunia masa kini. bukan saja umat Islam di belahan timur dunia yang mengagumi pendekatan keagamaan kita, dunia barat sekalipun yang tidak luput dari ekstremitas keagamaan menunjuk Indonesia sebagai model alternative bagi perwujuddan kerukunan antarumat beragama dipermukaan bumi ini.
Prestasi bangsa dalam melaksanakan kerukunan, sungguh mendapat simpati dunia luar. Keberhasilan ini walau terkadang diselingi oleh gesekan-gesekan kecil, tidak dapat dipisahkan dari peran aktif mayoritas umat Islam yang berusaha meneladani toleransi Rasul Saw. Fazlur Rahman, cendekiawan muslim terkemuka meramalkan bahwa Islam yang sejuk dan menarik, dan yang menghidupkan kembali nilai-nilai luhur toleransi dan modernisasi Nabi Muhammad, menyingsing dari bumi Indonesia. Demikian pula Dr. Lawrence Sullivan, yang mengepalai pusat pengkajian agama-agama dunia pada universitas ternama dan tertua di Amerika, Harvard, secara terbuka menyatakan Indonesia secara kreatif telah mewujudkan pendekatan baru dalam menciptakan kehidupan keagamaan yang harmonis, yang tidak dijumpai di Negara-negara Eropa dan Amerika.[7]
Indonesia tandasnya “is a model of religius tolerance that other countries could do well to emulate” (Indonesia merupakan contoh dalam toleransi keagamaan yang patut ditiru oleh dunia). Tidak heran, karena menurut Prof. Mahmud Ayoub, Profesor universitas temple Philadelphia: “pengamalan agama dalam masyarakat Indonesia dibanding dengan mayarakat lainnya merupakan model yang paling dekat dengan nilai Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhmmad Saw”.
Jika kita menengok dari dunia luar, kita akan tahu dan sadar betapa besar nikmat Tuhan yang dilimpahkan kepada bangsa kita. Nilai luhur bangsa yang seiring dengan ajaran toleransi Nabi Muhammad Saw, telah berakar dalam jiwa, berkat kearifan dan jasa para pendahulu, yang dilestarikan oleh pemimpin-pemimpin bangsa dewasa ini. Dalam konteks teristimewa masa kini bahkan akhir-akhir ini. Coba perhatikan firman Allah SWT:
Artinya: janganlah kamu menjadi seperti seorang oerempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat dan bercerai berai (QS Al-Nahl: 92)

Untuk memelihara hal tersebut ada dua hal yang harus digaris bawahi :
Pertama, kita harus mampu mensosialisasikan semangat ajaran serta keteladanan Nabi Muhammad Saw. Toleransi dan moderasi yang beliau ajarkan harus senantiasa menjadi acuan dan pedoman dalanm interaksi kita dengan umat agama lain. Kita seyogyanya tidak terpengaruh oleh pendapat dan pendekatan umat Negara lain yang telah dibebani oleh sejarah konflik dan permusuhan yag ikut mewarnai budaya mereka. Konflik yang berkepanjangan, apalagi kontak fisik yang mengorbankan jiwa, tidak pernah terjadi di negri kita. Oleh karena itu kedamaian dalam sejarah hubungan antar umat beragama di Indonesia harus tercermin dalam interaksi kita. tidak saja dituntu untuk bersama-sama mengoreksi citra dan kesan keliru yang boleh jadi tergambar dalam benak masing-masing, tapi lebih Dari itu kita harus memberi contoh dalam upaya menjalin kerja sama kontruktif, jauh dari perdebatan teologis doctrinal yang selalu berakhir dengan jalan buntu. Sebagaimana firman Ilahi:
Artinya: katakanlah: “hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah” jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS Ali Imran: 64)
Diantara sekian banyak contoh yang ditunjukkan oleh Nabi dalam menjalin hubungan keakraban, adalah kelapangan dada beliau mengizinkan delegasi Kristen Najran yang berkunjung ke Madinah untuk berdo’a di kediaman beliau, sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Islam Ali bin BUrhanuddin Al-Halaby Al-Syafi’i dalam bukkunya Al-Shirah[8]
Sebaliknya pada saat-saat kritis dalam perjuangan Nabi di Makkah, Raja Abissynia atau Ethiopia, yaitu raja Najasyi atau Negus, yang beragama Kristen melindungi Umat Islam, sampai-sampai ketika wakil masyarakat Arab Jahiliyah meminta untuk mengektradisi dan mengembalikan pengikut Nabi ke Mekkah, Negus menolak seraya berkata: “apakah engkau meminta aku menyerahkan pengikut Muhammad, seorang yang telah didatangi malaikat Jibril? Demi Tuhan, Ia (Muhammad) benar, dan ia akan mengalahkan musuh-mushnya “. Dalam pada itu, saat Nabi menjadi penguasa  di Madinah berpesan: siapa yang mengganggu umat agama samawi, maka ia telah menggangguku.
Kedua, yang perlu digaris bawahi adalah kita semua sebagai bangsa, diharapakan mampu untuk memahami kepekaan  masing-masing menyangkut kecintaan serta ikatan batin masing-masing dengan para panutannya. Sebagaimana halnya umat Islam, demikian pula uamt agama lainya. Syogyanya tidak terpengaruh oleh sejarah konflik yang pernah terjadi di dunia luar. Menurut  Norman Daniel: “sekian banyak bentuk penilaian negatif terhadap pribadi Nabi Muhammad yang telah dilontarkan dunia barat pada abad pertengahannya, masih terdengar gaungnya dimasa kini”. Nabi Muhammad Saw., yang telah meluncurkan salah satu gerakan agama yang membuahkan peradaban yang paling sukses di bumi ini, dicerca, dihina, dengan kata-kata yangtidak pantas. Sejarah konflik antar umat beragama dunia luar, yang telah membuahkan kesalahpahaman, rasa curiga dan bahkan permusuhan harus dibuang jauh dari bumi kita. Kita semua dituntut untuk memperdalam semangat persaudaraan. Semangat persaudaraan ini pernah dicontohkan oleh Theodore Abu Qurrah, seorang uskup dari Harran-Mesopotamia, yang lahir pada 740 M. tanpa mengorbankan keimanannya beliau menempatkan Nabi Muhammad Saw pada posisi para Nabi dan menyatakan Bahwa Muhammad Saw telah menempuh jalan para Nabi.[9] Wajar jika dalam salah satu ayat Al-Qur;an ditemukan pujian kepada kelompok tertentu umat Kristen yang menjalin hubungan baik dengan Kaum Muslim:

Artinya: sesungguhnya kamu pasti dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “sesungguhnya kami ini orang nasrani.” Yang demikian itu disebabkan karena diantara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib. Juga karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. (QS Al-Maidah: 82)

Namun harus diingat bahwa betapapun keras usaha setiap kelompok keagamaan dalam menjalin hubungan dengan kelompok lain, konflik intern yang melanda tubuh suatu umat pasti akan merupakan kendala yang menggerogoti keutuhan umat itu sendiri, sehingga pada gilirannya akan menghambat tercapainya suasana dialogis dan kerja sama dengan umat lain. Komunitas agama  di Indonesia dengan prestasinya dalam mewujudkan suasana dialogis harmonis selama ini diharapakan tidak terperangkap oleh konflik-konflik intern yang sering disebabkan oleh kekurangan pemahaman tentang inti ajara masing-masing Disatu pihak. atau oleh pengaruh factor eksternal politis yang sedang melanda dunia Islam.
Jadi segala sesuatu harus kita kembalikan kepada inti ajaran kita masing-masing dan semua yang ada adalah kebenaran menurut penganutnya masing-masing. Kembalikan semua hal ke dalam ajaran agama Islam yang sangat indah dan penuh dengan kasih Tuhan.


Salam sejahtera semoga damai selalu menyertai kita semua. Amin.


Referensi
Ø  Dr Syihab Alwi, Islam Inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama, cetakan ke-V, 1999, Mizan
Ø  Prof. Dr Komaruddin Hidayat, Filsafat Perenial: Agama Masa Depan
Ø  Prof. Drs Musrifah Darajah. Sejarah Peradaban Islam Klasik
Ø  Sejarah Kebudayaan Islam, Depag RI untuk MAK kelas II tahun 1997
Ø  Prof. Dr Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian


[1] Dr Syihab Alwi, Islam Inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama, cetakan ke-V, 1999, Mizan Jakarta hal Hal. 333
[2] Ibid
[3] Ibid Hal. 334
[4] Prof. Dr Komaruddin Hidayat, Filsafat Perenial: Agama Masa Depan
                Sebagai catatan beliau adalah rector terpilih dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang akan menggatikan rector yang sekarang yaitu Prof. Dr. Azyumardi Azra.
[5] Prof. Dr Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian
[6]Prof. Drs Musrifah Darajah. Sejarah Peradaban Islam Klasik
[7] Dr Syihab Alwi, Islam Inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama, cetakan ke-V, 1999, Mizan Jakarta hal. 335
[8] Ibid hal. 337
[9] Ibid hal. 338

No comments:

Post a Comment